Tuhan memberi kesempatan baik membuka tahun ini; berproses menjadi fasilitator di Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta. saya ditempatkan di kelas 8. Terdapat 15 anak di kelas ini dengan 3 fasilitator yang mendampingi proses belajar mereka, termasuk saya di awal semester ini.
Selama di kelas, sebagai orang baru saya lebih sering memposisikan diri sebagai pengamat untuk memahami pola dan budaya SALAM secara keseluruhan. Mengamati bagaimana anak-anak merespon, mengenal kesepakatan yang ada di kelas, dan tentu mempelajari cara fasilitator mengelola kelas. Saya melihat langsung gambaran fasilitator yang betul-betul memfungsikan kata “fasilitasi” dan mendampingi proses belajar anak. Sebab, semua individu memposisikan diri sebagai pembelajar, termasuk fasilitator yang turut berproses dan belajar di dalamnya.
Saya mengamati kemampuan fasilitator yang begitu lihai dalam menggali pengetahuan yang dimiliki anak dengan memberikan berbagai pertanyaan kritis saat diskusi berlangsung. Selain itu, kesepakatan bersama begitu diutamakan dalam pengambilan keputusan, tidak ada dominasi. Contoh kecilnya, fasilitator menanyakan kepada anak-anak terkait seberapa lama waktu yang mereka butuhkan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Dari sini kita dapat melihat salah satu nilai yang berusaha diterapkan SALAM; partisipatif. Anak-anak terlibat penuh dalam menyepakati durasi yang mereka perlu dan inginkan dalam mengerjakan tugas hingga tuntas.
Begitu pula di jenjang SD, tepatnya di kelas tiga. Saya turut menyaksikan cara fasilitator dalam mengelola kelas selama satu hari berproses di kelas tersebut. Saat membuka kelas, fasilitator meminta anak-anak untuk berkumpul, lalu berdoa sebelum memulai proses belajar. Kemudian, fasilitator bertanya, “Teman-teman, susunan bangku kita enaknya gimana, ya?”. Anak-anak memberi usulan. Hingga memperoleh kesepakatan bangku dibentuk seperti letter O dan semuanya duduk melingkar.
Kemudian, fasilitator menanyakan siapa saja yang mengerjakan PR yang disampaikan kemarin. Adalah menanyakan kepada keluarga di rumah, baik ayah, ibu, nenek, kakek, si mbah, siapapun itu, terkait jenis sabun mandi, sampo, dan sabun cuci yang dipakai di zaman dulu. Beragam informasi disampaikan oleh anak satu per satu. “Kata si Mbah, dulu orang-orang make kuning telur buat sampo, terus mandinya pake daun sirih”, ujar satu anak. Ada juga yang menyebut batu halus dijadikan sabun mandi zaman dulu, sesuai informasi yang ia dapat dari wawancara di rumah. Bahkan ada juga anak yang mengajukan pertanyaan, “Tahu ngga, kapan sabun ditemukan?”, kami menggeleng, “2800 tahun sebelum masehi”, jawabnya bangga. Wah, metode ini berhasil membuat anak mencari tahu lebih dalam, mengaktifkan rasa penasaran, hingga menemukan pengetahuan sendiri.
Aku bersyukur dapat menyaksikan sendiri proses belajar di SALAM yang mengedepankan metode dialog. Pembawaan fasilitator yang tenang dan jauh dari konotasi penghakiman turut mendukung proses belajar anak dalam mendaur peristiwa. Contohnya, ada anak yang memainkan kalkulator saat diskusi berjalan. Alih-alih langsung menegur dan menyuruh anak tersebut menyimpan kalkulatornya, fasilitator justru bertanya dengan lembut,
“Awa, sekarang kita sedang apa ya?”
“Diskusi, Bu”
“Nah, itu Awa ngapain?”
“Mainin ini”, menunjukkan kalkulator mininya.
“Kira-kira sekarang waktunya main tidak ya?”
“Engga, Bu”, jawabnya menunduk.
“Sekarang waktunya diskusi, baiknya kita gimana ya, Wa?”
Awa lantas beranjak ke belakang, lalu menyimpan kalkulator tersebut di dalam tasnya.
Ada lagi yang lain. Beberapa menit ketika diskusi perencanaan riset kelas berlangsung, situasi anak-anak semakin tidak kondusif. Ada yang mengobrol, mengganggu temannya, dan ada juga yang heboh kesana-kemari. Hanya satu-dua anak yang betul-betul mengikuti alur diskusi. Lagi. Alih-alih menegur dan menginstruksikan anak untuk fokus pada kegiatan belajar yang sedang berlangsung, fasilitator justru bertanya,
“Teman-teman, enaknya kita lanjutkan diskusinya atau berhenti saja ya?”
Anak-anak lantas terdiam.
“Kalau mau lanjut, kita lanjutkan. Tapi, kalau mau berhenti juga gapapa. Kita sepakati bersama.”
Sebagian besar bersuara, “Lanjut, Bu.”
“Oke, kalau lanjut. Bisa ngga ya kita sepakat untuk fokus?”
Anak-anak mengangguk. Diskusi pun dilanjutkan dengan lebih kondusif dan aktif.
Usai diskusi dan makan snack, anak-anak dipersilakan untuk bermain selama satu jam. Saya menggunakan spare time tersebut untuk mengobrol dengan fasilitator kelas ini. Di tengah obrolan itu, datang beberapa anak yang melapor. Bahwa ada sedikit keributan yang dipicu satu anak saat bermain di bawah. Lagi, alih-alih menghakimi dan langsung menasehati, fasilitator mengajak anak tersebut berdialog untuk mengolah peristiwa yang terjadi. Hingga si anak menyadari dan memahami sendiri bahwa yang ia lakukan tidaklah baik.
Ajaib. Kemampuan memfasilitasi fasilitator ini terlihat seperti sihir. Sihir yang membuat anak-anak merasa nyaman dan terbuka untuk mengakui kesalahan mereka dan belajar dari kesalahan tersebut. Tentu sang fasilitator tidak menyihir anak-anak ini. Menurut saya, proses ini terjadi melalui cara komunikasi, pemilihan kata, dan teknik bertanya yang baik. Beberapa kemampuan yang kerap dianggap sederhana dan diabaikan, namun sangat berdampak dalam proses pendidikan yang berlangsung di rumah, sekolah, dan dimanapun tempatnya.
Proses yang dilakukan oleh banyak fasilitator SALAM ini, turut memvalidasi seberapa pentingnya metode dialog dalam aktivitas pendidikan, seperti yang diterapkan Bapak Filsafat Barat, Socrates. Proses pembelajaran yang tidak hanya berasal dari satu arah. Proses yang tidak menggurui dan mengajari, yang menyadari serta menghargai bahwa anak juga memiliki kemampuan untuk bernalar. Sebab itu, tugas fasilitator adalah untuk memantik anak memfungsikan nalar tersebut sehingga mereka dapat membangun alur berpikir sendiri. Aku yakin, Socrates pasti akan tersenyum jika melihat sekolah ini.
Relawan SALAM
Leave a Reply