Seringkali proses belajar hanya dipahami sebagai proses kognitif dan akademik, yang tujuannya untuk membangun pengetahuan dan memperoleh keterampilan. Namun penelitian telah menunjukkan bahwa proses belajar sebenarnya tidak hanya itu, jauh lebih beragam. Selain proses kognitif, proses belajar juga bersifat fisik, sosial, linguistik, emosional, dan kreatif. Proses belajar pada domain yang berbeda ini sebenarnya tidak berdiri sendiri-sendiri, namun saling terkait. Bermain memungkinkan beberapa domain aktif secara bersamaan.
Banyak bermain, banyak belajar. Benarkah demikian?
Saya mencoba mengingat-ingat pengalaman bermain yang pernah saya dapatkan. Waktu kecil saya suka bermain petak umpet bersama teman-teman. Kami bermain di mana saja. Lingkungan tempat tinggal saya yang berupa perkampungan padat, rasanya justru membawa keasyikan tersendiri, banyak tempat-tempat “nyelempit” untuk bersembunyi.
Karena waktu itu saya adalah anak yang paling kecil (saya berumur 4 tahun, sementara teman-teman berumur antara 6-8 tahun), teman-teman menyepakati saya ikut bermain sebagai “anak bawang” saja. Tentu saja saya senang. “Anak bawang” berarti saya bisa ikut bermain tanpa pernah kebagian berjaga. Walaupun saya ditemukan oleh yang berjaga, saya tetap tak pernah disuruh berjaga. Enak bukan?
Setahun kemudian, saya pun bertambah besar. Sudah masuk TK. Saya mulai bosan jadi “anak bawang”. “Kok aku tidak pernah bersorak seseru mereka ya?” “Kok katanya mereka deg-degan, seperti apa sih rasanya?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengganggu pikiran saya.
Saya mulai berpikir, apa enaknya main tanpa resiko “jadi”? Tidak ada ketegangan, tidak ada kecemasan, dan tanpa rasa takut ditemukan. Habis bagaimana, ditemukan atau tidak, tak ada bedanya. Tidak ada sensasi mindhik-mindhik (berjalan berjingkat dengan sangat pelan). Tak ada dorongan untuk mencari tempat persembunyian baru. Ditambah lagi, siapapun teman yang berjaga, tak pernah antusias untuk berusaha menemukan saya. Sembunyi tanpa dicari dan dirindukan kemunculannya, apa asyiknya?
“Aku boleh ikut bermain tapi yang sungguhan nggak?” tanya saya suatu hari pada teman-teman.
Mereka saling berpandangan. Agak lama. Seperti sedang menimbang-nimbang.
“Tapi kalau ikut beneran, kalau kalah jaga lo,” kata seorang teman.
Saya mengangguk. Sedikit ragu, tapi juga tak jika mau permintaan ini ditolak.
“Nggak nangis lo ya nanti kalau pas giliran jaga,” teman lain mencoba memastikan kesungguhan saya.
Lagi-lagi saya mengangguk ragu. Saya tidak yakin juga tak akan menangis, karena belum pernah mengalami giliran jaga karena kalah.
“Ya sudah sekarang kamu bukan anak bawang lagi. Ayo kita ulang hompipah!”
Sejak hari itu bermain petak umpet bagi saya menjadi lebih seru. Awalnya saya sering kalah dan kebagian berjaga terus. Tempat persembunyian saya mudah tertebak, karena masih di situ-situ saja. Sementara teman-teman punya banyak tempat persembunyian lain yang tidak pernah saya ketahui sebelumya. Kadang-kadang saya kalah lari juga dari mereka. Keduluan “dijekpung”.
Meskipun saya sering kalah, anehnya ada kesenangan yang saya dapatkan. Saya menemukan proses perjuangan di sana. Saya mulai niteni, di mana biasanya teman-teman ini bersembunyi. Ada yang punya pola di kolong, ada yang di balik tembok, ada yang di tong sampah, ada juga yang di atas pohon.
Dari pengalaman berjaga, saya juga mulai bisa memilih strategi yang tepat. Tunggu ngebrok (ditunggu sampai yang bersembunyi keluar), yang biasanya menuai protes teman-teman, atau memilih mencari walau beresiko “dijekpung” duluan. Tunggu ngebrok ternyata tidak asyik juga. Tidak menantang. Sementara berkeliling mencari, meski beresiko, tapi memberikan pengalaman lahir batin yang jauh lebih banyak. Saya akhirnya bisa bersorak girang ketika berhasil menemukan tempat persembunyian seorang kawan. “Oh gini rasanya!” batin saya
Rasanya saya juga makin banyak memakai indera saya dengan maksimal. Saat menutup mata dan menghitung 1-30, saya juga sambil mendengarkan dengan seksama ke mana arah langkah mereka. Saat hitungan selesai, yang pertama-tama saya lakukan adalah mengamati dengan sudut penuh (360 derajat) setiap tempat yang masih bisa terjangkau pandangan. Jejak kaki atau jejak sandal, atau petunjuk lain juga sering saya gunakan, termasuk tercecernya remah-remah jajanan.
Pengalaman bersembunyi sebagai bukan “anak bawang” lagi ternyata juga memberikan pengalaman menyenangkan. Keberadaan saya diakui dengan utuh, tidak lagi ada namun dianggap tiada. Awalnya saya belum mahir bersembunyi, masih di situ-situ saja seperti dulu, yang berujung ditemukan dengan mudahnya. Peristiwa ini membuat saya belajar banyak, bagaimana cara bersembunyi yang benar, bagaimana mencari tempat persembunyian yang sukar ditebak oleh yang sedang berjaga. Saya mencoba memanjat, meringkuk, tengkurap, menahan deru nafas, hingga berhati-hati supaya tidak menimbulkan suara demi bertahan dalam permainan ini.
Melalui ingatan ini saya menjadi paham bagaimana bermain memungkinkan beberapa area aktif terstimulus secara bersamaan. Dari ingatan saya soal petak umpet saja saya menemukan bagaimana semua area perkembangan anak terlatih dengan sendirinya. Area fisik, kognitif, sosial, linguistik, emosional, dan kreativitas semua terstimulus tanpa kurikulum rumit, namun hasilnya bermakna.
Katakan area fisik. Berlari, memanjat, mindhik-mindhik, meringkuk, berjinjit, tentu saja tanpa perlu penjelasan mendalam sudah kita percaya dapat melatih kekuatan dan ketangkasan untuk menyelesaikan tugas perkembangan mereka. Pada area kognitif dan kreativitas, ada proses mengembangkan kesadaran spasial, mengumpulkan data, menganalisis, dan mengambil kesimpulan dan strategi baru dari pengalaman berjaga ataupun bersembunyi, merupakan dasar bagi penyelesaian masalah sehari-hari yang bakal mereka hadapi, bahkan hingga dewasa nanti.
Berinteraksi, berkomunikasi secara verbal dan non verbal, menyatakan kesepakatan atau keberatan, mengelola rasa cemas, takut, merasakan kekalahan, kemenangan, mematuhi atau melanggar kesepakatan, bekerjasama, negosiasi, hingga mengatasi hal-hal yang tak diduga tentu saja menjadi media berharga bagi pengembangan keterampilan linguistik, sosial, sekaligus emosionalnya.
Temuan dari pengalaman pribadi ini membuat saya memahami mengapa Ki Hadjar Dewantara mendudukkan permainan sebagai hal yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak. Atau tentang rumusan beliau yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara permainan anak-anak dengan bertumbuhnya budi pekerti.
Pemahaman ini membuat saya lebih berbahagia melihat anak-anak di kampung yang riuh rendah bermain sepanjang hari dari pada “duduk manis” mengerjakan berlembar-lembar LKS. Tantangan kehidupan tak pernah berhenti dan pengalaman bermain petak umpet jauh lebih banyak memberi bekal ketimbang bertumpuk-tumpuk LKS dan kunci jawabannya. Pada akhirnya saya mengamini pendapat ini : banyak bermain, banyak belajar.
Relawan SALAM Yogyakarta
Leave a Reply