Alkisah, pada tahun 1997 ada sekelompok orang yang ingin memperbaiki suasana keberagaman di masyarakat Israel. Salah satu co founder-nya adalah Leo Gordon.Gordon dan kawan-kawan mempunyai ide yang dianggap nyleneh. Mereka (akan) membangun sekolah dengan sistem yang sama sekali berbeda dibanding yang kala itu berlaku umum di sana.
Sistem yang semula menyekat sekolah menjadi 3, yaitu relijius Yahudi, relijius Arab dan non Yahudi-Arab, dibongkarnya.
Dibangunnya sekolah yang terbuka untuk anak didik berbangsa dan beragama apa pun secara campur. Itulah mengapa sekolah ini, dinamakan Sekolah “Hand in Hand” (Sekolah Bergandengan Tangan).
Misinya membangun inklusivitas dan kesetaraan antar warga Arab Israel dan Yahudi Israel melalui sekolah dan mengembangkan komunitas dwibahasa yang egaliter. Bahasa Arab dan Bahasa Ibrani menjadi pelajaran wajib bagi semua murid, tentunya selain Inggris.
Pada saat dibuka, sekolah hanya mengasuh 50 anak. Saat ini lebih dari 2.000 siswa terdaftar di enam sekolah. Terutama konsentrasi untuk menghapus ancaman terbesar negara itu, yaitu tumbuhnya keterasingan sosial dan kurangnya kepercayaan antara warga Yahudi dan Arab di Israel. Mereka percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah ini. (https://www.handinhandk12.org/about/)
Mereka adalah perintis kehidupan bersama, membina generasi baru Arab dan Yahudi yang siap untuk hidup berdampingan, sebagai mitra dan sahabat, sesama warga negara Israel.
Kurikulumnya didasarkan pada nilai-nilai yang mencerminkan budaya dan bahasa, berorientasi pada multikulturalisme dan kewarganegaraan bersama dan setara.
Tidak hanya pemerintah, masyarakat dan NGO mendukung keberadaan dan kelangsungan “Hand in Hand” habis-habisan.
Tak heran, pada tahun ajaran 2022-2023, sekolah sudah tersebar di kota-kota Yerusalem, Galilea, Wadi Ara, Tel Aviv-Jaffa, Haifa, dan Kfar Saba, dan mendidik lebih dari 2.000 siswa.
Tahun ini, ratusan siswa harus masuk dalam daftar tunggu. Sementara komunitas baru telah terbentuk di seluruh negeri. “Bergandengan Tangan” terus membuktikan bahwa hidup bersama itu mungkin, itu nyata, dan itu terjadi di seluruh Israel sekarang.
Menyimak kisah tentang sekolah “Bergandengan Tangan”, tiba-tiba rasa malu menyergap diri saya. Eksklusivitas dan praktek pecah belah marak terjadi di negara kita, yang konon mempunyai cita-cita membangun perdamaian dunia.
Alih-alih menyatukan dua pihak yang konflik seperti Leo Gordon dan kawan-kawan, ini malah menolak kehadiran tamu sah dan berhak untuk ikut dalam sebuah ajang olahraga yang bertujuan membangun perdamaian dunia. Ironis.
Sekolah “Bergandengan Tangan” mengajarkan bahwa kebencian dan permusuhan tak bisa dihapus dengan kebencian dan permusuhan yang lain. Tak juga bisa dilakukan dengan menyeragamkan perbedaan, karena “Keanekaragaman adalah salah satu sumber energi”.
Perbedaan adalah memperkaya. Menutup diri dengan rasa permusuhan tak akan membuat yang ditutup rugi, justru yang menutup akan mengalami keterasingan.
Menyeragamkan adalah membunuh perbedaan, dus mendegradasi level energi menjadi rendah. Perbedaan yang inklusif tidak hanya membuat kelompok menjadi “hidup”, tapi juga lebih awet dan tahan banting.
“Kita” lebih kuat dibanding “kami”. Toleransi membuat “kita” lebih bermakna dan bermartabat. Menolak pihak lain yang tak berkehendak jahat adalah cara kuno karena malah bisa membunuh diri sendiri.
Inklusif adalah merayakan perbedaan, mengucapkan “selamat datang” kepada semua orang, karena kasih adalah inklusif, bukan eksklusif.
“All are welcome. Love is inclusive, not exclusive”. (Paus Fransiskus) []

SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply