KETIKA suratkabar di Indonesia sibuk memberitakan protes terhadap pungutan di sekolah-sekolah dan universitas negeri yang melambung tinggi, koran-koran India malah merayakan anak seorang tukang becak yang berhasil menjadi mahasiswa sekolah kedoktetan.
VAISHALI Wankhede tinggal di kawasan kumuh di Kota Nagpur, India. Ayahnya dan seorang kakak laki-lakinya penarik becak, kakak laki-laki bekerja sebakai tukang tambal ban, dan ibunya tukang cuci. Di tengah kemiskinan itu, Vaishali dinyatakan lolos tes masuk sekolah kedokteran dengan skor 84 persen. Keberhasilan itu merupakan sebuah keajaiban. Sebagai anak orang miskin, Vaishali tidak mungkin mengikuti bimbingan tes yang biayanya melangit, jauh lebih tinggi daripada biaya kuliah itu sendiri.
Persaingan yang ketat untuk masuk perguruan tinggi top di India menyebabkan ketatnya akses golongan bawah ke perguruan tinggi di India. Sekalipun-dibandingkan di Indonesia-biaya kuliah di India terhitung sangat murah dan tersedia beasiswa atau kredit dari bank cukup melimpah.
Sekolah kedokteran memang merupakan perguruan tinggi papan atas di India. Materi dan cara pengajarannya sesuai standar internasional, sehingga lulusannya tak hanya laku di dalam negeri. Di Amerika Serikat, sekitar lima persen dokter yang bekerja di negara itu berasal dari India. Ada sederet perguruan tinggi top di India di bidang teknik, teknologi informasi, dan manajemen, yang reputasinya telah mendunia. Dari sekitar 300 universitas dan “kolesi” yang ada, 13 di antaranya diberi status pusat unggulan nasional oleh parlemen dan dibiayai pemerintah pusat.
Saking ketatnya perebutan bangku kuliah di perguruan tinggi top itu, tamatan SMA yang ingin lolos seleksi masuk harus sejak dini hari ikut pelajaran tambahan. Sulit bisa masuk perguruan tinggi top tanpa ikut bimbingan tes.
Arnav Sinha, mahasiswa Indian Institute of Technology Delhi, mengaku dua tahun mengikuti bimbingan tes sebelum masuk IIT. Perebutan ke IIT sangat ketat. Bangku kuliah yang tersedia di IIT Delhi hanya sekitar 7.000 dan diperebutkan sekitar 170.000 orang. Selama dua tahun, Sinha menghabiskan biaya sekitar 70.000 rupee (atau sekitar Rp 14 juta). Biaya sebesar itu sulit didapatkan oleh masyarakat bawah di India. Padahal, biaya kuliah di perguruan tinggi India tergolong sangat murah. Untuk warga India biaya kuliah setahun hanya berkisar Rp 2 juta sampai Rp 10 juta, sudah termasuk biaya hidup di asrama.
Prof Umesh Chaube, dosen IIT Roorkee di Uttaranchal, mengakui bahwa persentase masyarakat miskin yang bisa masuk IIT makin lama makin menurun. Pada umumnya yang masuk adalah mereka dari golongan keluarga berpenghasilan menengah. Namun, kata Chaube, pendidikan tinggi India tergolong murah. Selain itu tersedia banyak beasiswa. Kalaupun tak berhasil mendapat beasiswa bisa pinjam dari bank.
“Asal punya otak, setiap orang bisa masuk perguruan tinggi,” kata Chaube.
Chaube menuturkan pengalamannya sendiri. Ia masuk IIT Delhi tanpa mengikuti pelajaran tambahan. Karena ia berasal dari desa, pada tahun- tahun pertama nilainya kurang bagus sehingga tidak bisa memperoleh beasiswa. Ia terpaksa meminjam dana dari bank yang dibayar kembali setelah ia lulus dan memperoleh pekerjaan.
Prof Mohammad Miyan, Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Jamia Millia Islamia di New Delhi, juga mengemukakan bahwa pendidikan tinggi di India relatif murah dan terbuka akses untuk golongan bawah.
“Semua orang yang memiliki otak cemerlang, pekerja keras, akan dapat memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan tinggi yang baik di India,” kata Miyan.
KEBIJAKAN jangka panjang yang konsisten untuk mengembangkan pusat- pusat unggulan menjadikan reputasi sejumlah perguruan tinggi India berkibar-kibar. Di bidang teknik, bila Indonesia hanya memiliki dua institut teknik negeri-Institut Teknologi Bandung dan Institut Teknologi 10 November Surabaya-India memiliki tujuh institut teknik. Hanya tiga tahun setelah kemerdekaannya, parlemen India menetapkan Indian Institute of Technology di Karaghpur. Menyusul kemudian IIT Bombay, Kanpur, Madras, Delhi, dan Ghuwati.
IIT terbaru terletak di kota kecil Roorkee. Lima dari tujuh IIT itu mendapat peringkat tiga sampai delapan sebagai universitas terbaik di Asia versi Asiaweek 2000. Sewaktu masih berbentuk universitas, Universitas Roorkee masih mendapat ranking 12 sebagai universitas terbaik di tingkat Asia. Di tingkat nasional, IIT Roorkee menduduki peringkat keempat sebagai pendidikan tinggi teknik terbaik di India.
IIT Roorkee memiliki sejarah panjang sebagai institusi pendidikan teknik. Menurut Direktur IIT Roorkee Dr Prem Vrat, lembaga itu didirikan pada 1847 untuk mencetak tenaga teknik kanal Sungai Gangga. Perguruan tinggi itu berubah statusnya menjadi institut teknologi dan ditetapkan oleh parlemen sebagai salah satu dari 13 pusat keunggulan nasional di India. Perubahan status itu, kata Prem Vrat, besar artinya karena semula lembaga itu merupakan satu di antara 130 perguruan tinggi di India, kini menjadi satu di antara pusat unggulan di India. Perubahan status itu sekaligus berarti dukungan keuangan yang lebih baik karena keuangannya langsung disokong oleh pemerintah pusat.
Tidak satu pun dari tujuh IIT itu yang tidak memiliki reputasi internasional. Pada jurusan-jurusan tertentu, lulusan mereka tidak sulit mendapatkan pekerjaan di Amerika Serikat. Bidang teknik sipil dan manajemen sumber daya air di IIT Roorkee juga telah mendapat nama di tingkat internasional.
Bagaimana India bisa membangun institut teknologi berkelas dunia dan lulusannya laku keras di pasar internasional? Menurut Prof Khusal Sen, salah satu dekan di IIT Delhi, tidak ada hal istimewa yang mereka lakukan. Kuncinya adalah komitmen dari pemerintah. Dengan dukungan dana yang baik, secara bertahap IIT dapat mengembangkan infrastruktur dan tenaga pengajar yang dimilikinya. Di lain pihak, mahasiswa yang masuk adalah anak-anak terbaik di India. Kombinasi keuangan yang baik dan input mahasiswa baik dengan sendiri menjadikan sebuah universitas berkembang dengan baik.
Sebagian besar lulusan IIT, khususnya bidang-bidang yang terkait dengan teknologi informasi, menyerbu pasar kerja di Amerika Serikat.
Sebagian ahli teknologi asal India yang bekerja di Amerika Serikat tersebut, kini mulai kembali ke asalnya, membawa ilmu, kemampuan menciptakan produk, dan gaya hidupnya. Mereka menciptakan kantong-kantong bisnis berteknologi di India, seperti di Bangalore, daerah miskin di India bagian selatan yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan dalam peta bisnis.
Karena itu, bagi para mahasiswa IIT seperti Delhi, Abishek, Kanika, dan Arnav Sinha hampir-hampir tidak ada yang perlu dipikirkan selain belajar dan belajar. Pekerjaan bukan sesuatu yang dirisaukan bagi mereka. Masa depan telah terbuka lebar bagi tiga mahasiswa berumur 22 tahun itu. Hanya dengan predikat mereka sebagai lulusan IIT Delhi, mau melanjutkan kuliah dengan beasiswa, merantau ke Amerika Serikat, atau bekerja di negeri sendiri bukan lagi usaha yang sulit bagi mereka. Dengan bekerja di negeri sendiri, mereka pun bisa langsung masuk ke golongan menengah atas.
Sejumlah profesor asal India yang bekerja di universitas- universitas top di Amerika Serikat dan negara-negara maju di Eropa, mengalokasikan waktunya satu sampai dua bulan dalam satu tahun untuk mengajar di lembaga-lembaga perguruan tinggi di India. Nasionalisme yang tidak sebatas pada penghormatan bendera itu memberikan harapan baru bagi India yang selama ini sering dipersepsikan dengan negara yang dipenuhi orang-orang miskin, kumuh, dan banjir.
Institusi-institusi pendidikan tinggi India yang menghasilkan kaum profesional berkelas dunia itu dari sudut penampilan fisiknya sungguh tidak menarik. Sejumlah bangunan perguruan tinggi yang dijadikan pusat unggulan tidak lebih hebat dari bangunan SD-SD Inpres di Indonesia.
Penampilan dosen dan mahasiswanya pun sangat bersahaja. Amat jarang bisa menemukan dosen bermobil. Mereka memang tinggal di perumahan di dalam kampus. Ke mana-mana mereka biasa naik sepeda atau paling banter naik skuter tua. Pakaian yang mereka kenakan pun tidak bermerek. Akan tetapi, tidak satu pun dosen yang mengajar di kampus itu tidak menyandang gelar PhD.
Menurut Prof Khusal Sen, pengajar pada Jurusan Tekstil IIT Delhi, gelar akademik PhD merupakan syarat mutlak untuk mengajar. Tidak satu pun dosen yang tidak bergelar doktor, bahkan mereka yang berasal dari kalangan profesional sekalipun. Tenaga pengajar di IIT Delhi juga diwajibkan melakukan riset sehingga ilmu yang diberikan kepada para mahasiswanya selalu baru. Gaji dosen-dosennya juga tidak terlalu istimewa. Sekitar 25.000 rupee atau Rp 5 juta sebulan, meski itu merupakan gaji bersih karena mereka tinggal di dalam kompleks kampus sehingga tidak perlu keluar uang untuk perumahan dan ongkos transportasi.
Selain di bidang sains dan teknologi, sejumlah sekolah kedokteran dan bisnis di India juga memiliki reputasi internasional. Perguruan- perguruan tinggi yang bagus itu tersebar di berbagai daerah di India, tidak seperti di Indonesia yang cenderung terpusat di Jawa.
Indian Institutes of Management yang tersebar di Ahmadebad, Kolkata, Bangalore, Lucknow, Indore, dan Kozhikode juga dikembangkan sebagai pusat-pusat pendidikan bisnis dan manajemen terbaik di India. Selain itu ada sejumlah universitas tua yang layak diperhitungkan, seperti Universitas Delhi, Jawaharlal Nehru, Universitas Muslim Aligarh, dan Jamia Millia Islamia.
Jawaharlal Nehru memiliki karakteristik yang unik karena di situ kekuatan kaum kiri cukup kuat. Gambar-gambar Che Guevara, pelawanan terhadap WTO, tuntutan pendidikan gratis dipasang di poster-poster atau bahkan dicat langsung di tembok. India juga memiliki kolese- kolese khusus untuk perempuan, seperti Cummins College of Engineering for Women.
Sejauh bicara pendidikan tinggi, prestasi India cukup gemilang.
Dimuat di Kompas, 21 Agustus 2004
Eks. Wartawan Harian Kompas. Direktur Sekolah Tanpa Batas.
Leave a Reply