Senin, 26 Februari, seperti yang telah direncanakan sebelumnya, aku bergabung dengan Gara, Faiz, Sakha, dan Angger untuk pergi ke rongsokan Madukismo mencari sepeda bekas yang akan kami perbaiki dan modifikasi. Rencana ini tampaknya menjadi proyek kolaboratif mereka, mengingat Angger dan Gara memiliki minat dalam bersepeda, sedangkan Sakha dan Faiz tertarik pada hal-hal mekanik dan listrik. Ide ini muncul setelah salah satu orang tua SALAM yang lain menyebutkan tentang orang-orang yang memugar sepeda bekas dan menjualnya kembali.
Tidak hanya kami berlima, tetapi Atta, Naka, Rakkai, Ael, dan Rae juga ikut serta dalam perjalanan ini. Kami memilih rute yang berbeda dari biasanya, dengan Sakha sebagai pemandu. Di tengah perjalanan, perhatian kami teralihkan oleh dua biawak yang masuk ke dalam pipa-pipa di jembatan. Keanehan melihat dua biawak sekaligus membuatku bertanya-tanya, “Apakah ada perbedaan antara biawak jantan dan betina?” Angger berpendapat bahwa perbedaan mungkin terlihat dari ukurannya. Pendapatnya ini disetujui oleh teman-teman lain, meskipun belum ada kesempatan untuk mengamati lebih lanjut. Kami menyepakati untuk menyimpan pertanyaan ini untuk diteliti lebih lanjut di lain waktu.
Setibanya di halte, kami duduk bersama sambil menunggu, dan pembicaraan pun bergulir. Ael, yang jarang naik TJ (Trans Jogja), membuka topik yang pernah dibahas sebelumnya tentang alasan harga perjalanan yang hanya 60 rupiah untuk pelajar. Gara terlihat sangat terbiasa dengan TJ dan mulai memeriksa jam kedatangan yang terpasang di tiang dekat halte.
Tetapi, ingatanku terhadap pendapat Mba Faridha dari beberapa hari sebelumnya muncul; dia menyatakan bahwa yang tercantum pada jadwal adalah waktu keberangkatan dari halte awal, bukan waktu kedatangan di halte tertentu. Hal ini terbukti benar ketika waktu kedatangan Bus 6A, yang akan membawa kami ke Halte Madukismo, tidak sesuai dengan yang tertera di jadwal. Kami pun naik ke dalam bus tersebut, dan karena ada tiga anak yang membawa kartu TJ, setiap kartu digunakan untuk membayar perjalanan bagi tiga anak lainnya.
Kami segera melangkah kaki menuju rongsokan Madukismo, melewati rel-rel kecil yang melintasi jalan beraspal. Sambil berjalan, aku melemparkan pertanyaan, “Apakah kalian tahu jenis rel ini?” Teman-teman memberikan jawaban berdasarkan pengetahuan mereka yang pernah mengunjungi tempat tersebut saat melakukan Tugas Akhir mereka, bahwa ini bukanlah rel kereta api, melainkan rel kereta tebu. Kami melihat sejumlah kerangka pengangkut tebu yang diparkir di sekitar sana. Tempat ini tampak menarik bagi beberapa teman yang ikut serta. Selain itu, kami juga melihat lokasi pasar malam Cembengan yang telah dibahas sebelumnya.
Sambil berjalan menyusuri rel dan berusaha menjaga keseimbangan kami, akhirnya kami tiba di rongsokan Madukismo.
Banyak orang yang sedang meneliti barang-barang rongsokan di hari itu. Di bagian depan, terdapat sejumlah kulkas dan televisi bekas, serta sepeda-sepeda rongsok yang telah dikumpulkan. Kami menyusuri tempat tersebut dengan santai, memperhatikan barang-barang yang ditawarkan.
Tiba-tiba, seseorang dengan nada kurang ramah bertanya, “Kalian ini pada ngapain kesini?” Kami menjelaskan tujuan kedatangan kami sambil menanyakan harga sepeda yang terlihat masih dalam kondisi cukup baik. Pria itu berjanji untuk menanyakan kepada ‘bos’ di bagian dalam tempat tersebut, dan kemudian kembali dengan menawarkan harga 160 ribu. Kami memutuskan untuk membahasnya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membelinya secara langsung.
Faiz dan Sakha, yang sedang mencari barang-barang elektronik untuk keperluan riset mereka, memutuskan untuk masuk ke dalam rongsokan untuk mencari speaker dan kipas kecil. Mereka berhasil menemukan barang-barang yang mereka butuhkan. Faiz menemukan beberapa speaker, tetapi akhirnya memilih untuk membeli speaker kecil dengan harga Rp. 2.000. Sementara itu, Sakha menemukan kipas kecil yang akan digunakan untuk baling-baling kapalnya dengan harga Rp. 5.000. Mereka berinteraksi dengan para pekerja dan ‘bos’ dengan lancar untuk menegosiasikan harga barang-barang yang mereka pilih.
Setelah mereka menyelesaikan pembelian barang-barang tersebut, kami duduk sejenak untuk minum dan makan camilan sebelum kami bersiap-siap untuk kembali ke arah halte bus.
Sayangnya, kami melewatkan bus. Ketika kami baru tiba di perempatan pabrik gula, kami melihat bus 6B sudah berbelok dan meninggalkan kami. Itu berarti kami harus menunggu sekitar 35 menit untuk bus berikutnya. Aku, Naka, Rakkai, dan Ael memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan mengunjungi pabrik gula.
Kami mulai berjalan menuju kantor pabrik, namun terhenti oleh pintu portal elektrik yang dijaga oleh petugas di pos satpam. Kami kemudian beralih ke lapangan bola untuk melihat-lihat. Naka tertarik dengan luasnya lapangan sepak bola, yang jauh lebih besar dari lapangan voli yang biasa ia lihat. Di tengah jalan, saat kami duduk sejenak, kami sadar bahwa trotoar berlumut dan banyak rumput serta pohon di sekitarnya yang menjadi tempat banyak semut merah berkeliaran. Kami saling berbagi pengalaman tak menyenangkan kami dengan semut merah.
Ael duduk sejenak karena merasa lelah, sementara Naka dan Rakkai pergi berjalan-jalan ke lapangan terlebih dahulu. Saat aku menyusul mereka, Naka dan Rakkai dengan penuh antusias menceritakan bahwa mereka melihat ‘burung legendaris’ berwarna biru, yang merupakan burung langka. Naka bahkan mencoba mendeskripsikan burung tersebut kepada kami. Sambil berbincang-bincang tentang burung dan ukuran lapangan bola, kami memutuskan untuk berjalan kembali ke arah halte bus.
Destinasi berikutnya adalah parkiran Bank Indonesia di seberang Taman Pintar. Namun, tidak semua dari kami menuju ke sana karena ada yang kembali ke SALAM, dijemput oleh mba Cicik di halte SMKI. Di perjalanan, aku berbincang-bincang dengan Atta, membahas hal-hal kecil seperti mengapa kertas struk TJ begitu panjang karena kami membayar untuk 9 orang sekaligus, dan mengapa itu terasa lebih keras ketika digulung. Kami juga membicarakan tentang seorang putri yang orangtuanya adalah pemain basket dari Cina, dan meskipun baru berumur 13 tahun, tingginya sudah mencapai 190 cm. Topik ini muncul ketika kami melihat seorang turis berkulit putih yang tingginya jauh di atas kami ketika berjalan di kawasan Malioboro.
Kami juga membahas gedung Bank Indonesia yang kita lewati, dan kami melihat pembuangan AC di depan gedung tersebut. Atta menyadari adanya AC tersebut ketika rambutnya tergerai ketika melintas di bawah exhaust tersebut.
Karena bus yang parkir tampak sepi, kami segera menuju halte untuk kembali. Namun, karena tiga dari lima anak masih ingin menjelajah lebih jauh, kami memutuskan untuk terus berjalan melewati halte Malioboro 3 yang terletak di depan pasar Beringharjo dan menuju ke halte Malioboro 2. Tak lama kemudian, bus TJ 6A pun tiba, menandai akhir dari petualangan kami hari ini. []
*** Disunting dari catatan Fasilitator Kelas 4 SALAM
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply