Tulisan ketiga hasil dari evaluasi di SMA SALAM menggali kembali makna dan pentingnya “kesepakatan” dalam berbagai konteks, baik dalam kehidupan sehari-hari. Evaluasi ini mengajak pembaca untuk memahami betapa pentingnya kesepakatan dalam membangun hubungan yang harmonis antar individu, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kesepakatan merupakan fondasi utama dari interaksi sosial yang berjalan lancar. Ketika individu atau kelompok memiliki kesepakatan yang jelas, hal itu memungkinkan untuk menghindari konflik dan kebingungan yang tidak perlu. Misalnya, dalam sebuah persahabatan, kesepakatan tentang saling menghargai, mendengarkan, dan memahami perbedaan pendapat bisa menjadi kunci untuk menjaga hubungan yang baik.
Di lingkungan sekolah, kesepakatan juga sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Ketika guru dan siswa memiliki kesepakatan tentang norma-norma perilaku, tata tertib, serta tanggung jawab masing-masing pihak, proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif. Kesepakatan ini juga membantu menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi seluruh anggota sekolah.
Selain itu, dalam skala yang lebih luas, kesepakatan menjadi kunci dalam proses pengambilan keputusan di tingkat sosial dan politik. Di dalam masyarakat, kesepakatan antara pemerintah dan rakyatnya tentang hak dan kewajiban masing-masing merupakan dasar dari sistem demokrasi yang berfungsi. Tanpa kesepakatan ini, konflik dan ketidakadilan sosial mungkin akan merajalela.
Belajar dari proses refleksi yang dilakukan di SMA SALAM diingatkan akan pentingnya merumuskan dan mematuhi kesepakatan dalam berbagai aspek kehidupan. Kesepakatan bukan hanya sekadar perjanjian formal, tetapi juga sebuah komitmen untuk saling menghormati, mendukung, dan bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, kesepakatan menjadi pondasi yang kokoh bagi hubungan yang sehat dan masyarakat yang beradab. (redaksi)
“Saya ‘Merasa Melanggar’, tapi Bisa Menentukan Sanksi Sendiri”.
Oleh: Elan Satria – Fasilitator SALAM.
Sebelum membaca lebih lanjut, tulisan ini banyak berisikan dengan subjektivitas. Perasaan, penilaian dan pandangan subjektif mengenai kesepakatan kelas, proses pelanggaran, pengabaian, dan fasilitasi untuk menentukan arah kesepakatan berkelindan dengan refleksi. Namun, tulisan yang subjektif ini, sesungguhnya membuka diri terhadap subjektivitas lain.
Bergabung dengan Salam sebagai volunteer fasilitator di paruh kedua proses belajar setahun, kami menentukan kesepakatan terkait hari, jam masuk, dan termasuk jumlah ketidakhadiran tanpa keterangan. Kami sepakat jika tidak hadir sebanyak lima kali tanpa keterangan dalam satu semester, konsekuensinya adalah bertemu dengan Pak Toto.
Berbagai komponen kesepakatan sudah mencapai pemahaman bersama. Hari ke hari, bulan ke bulan ternyata beberapa di antara kami sudah tidak hadir sebanyak lima kali meskipun masih bulan ketiga dalam paruh kedua. Maka tanggal 25 Maret lalu kami duduk bersama baik fasilitator dan murid, ada yang bersila, jegang, dan telungkup untuk membahas pelanggaran dan konsekuensi yang muncul. Melalui proses fasilitasi yang dibuka oleh Mbak Gerna (fasilitator) kami merunut pasal yang berbunyi “Ketidakhadiran sebanyak lima kali tanpa keterangan diharuskan bertemu Pak Toto”
Lalu pertanyaan mengenai bunyi pasal tersebut adalah “Kalau ketemu Pak Toto, memang apa yang mau dilakukan?” dari pertanyaan tersebut kami mengumpulkan konsekuensi lain. Beberapa diantaranya yang muncul adalah mengejar ketertinggalan secara mandiri; pembalakan rambut alias cukur botak; membuat resensi dari satu buku bacaan, untuk dibacakan di depan kelas; menulis refleksi; dan belajar di rumah.
Proses fasilitasi kemudian meninjau usul demi usul dengan pertimbangan keterkaitan antara pelanggaran dan konsekuensinya. Lalu bagaimana pelanggaran tersebut menjadi pelanggaran bersama. Singkatnya, konsekuensi menulis refleksi disepakati bersama. Dengan alur hasil tulisan dikirim ke WhatsApp kelas untuk dibaca yang lain, lalu dikirim ke Pak Toto.
Sesuai judul tulisan ini, kami yang merasa melanggar kesepakatan tersebut juga mempunyai hak yang sama untuk mengusulkan konsekuensi, dan diberi hak untuk memilih juga. Lalu kenapa frasa yang digunakan adalah ‘merasa melanggar’ karena perhitungan lima kali tidak dikuantifikasi dari data meskipun sebenarnya ada, artinya kami yang duduk bersama juga diberi kesempatan untuk mengevaluasi diri sendiri.
Berangkat dari konteks tersebut maka tulisan ini seburuk-buruknya adalah hasil refleksi, dan sebaik-baiknya adalah sikap bertanggungjawab. Ketidakhadiran selama lima hari tanpa keterangan memang memuat cerita alasan. Semoga berkenan untuk membaca.
Dalam tiga hari pertama, alasan tidak hadir adalah mengutamakan kegiatan lain, karena terlibat dengan penelitian di Purworejo yang mengharuskan hadir secara fisik selama beberapa hari. Aktivitasnya kurang lebih adalah berbincang-bincang, menjelajah hutan, dan bermalam di hutan. Kemudian dalam dua kali ketidakhadiran tanpa keterangan berikutnya adalah kondisi kesehatan keluarga.
Terlepas dari aktivitas yang dilakukan. Ketidakhadiran tanpa keterangan pasti memunculkan banyak pertanyaan, bahkan asumsi. Misal, Kenapa tidak menyampaikan pada teman-teman yang lain kalau pada hari tersebut tidak hadir?
Persoalan tidak menyampaikan untuk tidak hadir justru mengarah pada cara berkomunikasi. Pada tahap tertentu, yang ekstrim misalnya, jika hadir tanpa keterangan malahan bisa berdampak untuk orang lain. Dalam kasus ini, saya (fasilitator) tentu saja merepotkan fasilitator lain. Selain itu, murid-murid juga terdampak, karena proses mentoring, kelas, atau sekadar bercerita malah tidak terjadi. Sebaliknya jika dikomunikasikan tentu saja ada strategi lain yang bisa ditambahkan untuk dinamika kelas, mentoring dan ranah yang lain.
Persoalan tidak dikomunikasikan adalah kulit luar yang berlapis, bisa karena teknis, substansi, bahkan pilosopis, bagi saya, waktu itu tidak menyampaikan untuk tidak hadir adalah pelanggaran. Secara personal (lagi) bisa karena alasan malas, tidak terpikirkan, penundaan, atau lupa. Tapi peristiwa ini menjadi catatan secara personal (lagi-lagi) bahwa dalam kondisi yang tidak stabil, terburu-buru atau penuh penundaan jalan keluarnya adalah komunikasi.
Bisa dibilang kasusnya beralih, dari tanpa keterangan, menjadi proses komunikasi. Proses komunikasi melibatkan orang lain, yang tentu saja berubah wujud menjadi saling berkomunikasi. Apa yang dikomunikasikan bisa memuat banyak hal, misal ide, kegelisahan, permintaan maaf, progress dll. Maka, tanpa keterangan adalah perihal komunikasi yang sebaiknya disampaikan.
Perihal ketidakhadiran, menyasar pada kesempatan dan prioritas. Dengan tidak hadir, tentu saja saya kehilangan kesempatan untuk belajar bersama teman-teman, yang seringkali memberi pengalaman menarik. Namun, prioritas jadi soal mendasar kedua setelah komunikasi. Jika sudah sampai berkali-kali artinya berhubungan dengan proses kerja pikiran dan tubuh yang masih acak atau tidak berurutan. Setidaknya begitu yang saya rasakan.
Misal, jika diharuskan hadir secara fisik pada waktu yang bersamaan tapi di dua tempat, tentu saja jawaban membelah diri terkesan imajinatif. Dua tempat yang perlu dihadiri secara fisik perlu dilihat ulang, kenapa harus hadir secara fisik? jika jawabannya karena tanggungjawab, maka tanggungjawab yang mana. Secara pesonal (lagi-lagi-lagi) pengalaman kemarin berhubungan dengan pekerjaan. Keterlibatan di Purworejo memang bukan tugas yang bisa didelegasikan. Sementara, tidak menyampaikan hal tersebut jelas keliru.
Keadaan tidak hadir tanpa keterangan bisa diminimalisir, jika, pertama, sudah merinci detail pekerjaan di dua tempat. Kedua, mencatat progress tiap lini kegiatan dari dua tempat. Ketiga, membuat timeline pribadi yang jelas terkait aktivitas di dua tempat. Dan keempat, menyampaikan kondisi-kondisi tersebut pada partner. Artinya kembali pada persoalan komunikasi.
Sebagai penutup, perlu ditambahkan aksi dari hasil refleksi di atas. Terdapat satu hal yang menantang untuk dilakukan setelah bulan ketiga dalam paruh kedua, pertama adalah intensitas kehadiran pada ruang-ruang pembelajaran, yang tidak sekedar hadir tapi disertai bentuk komunikasi lisan (alias ngobrol-ngobrol). []
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply