Sket arsitektur terakhir Romo Mangun Rumah SALAM Lawen
Blog

Jejak Romo Mangun di Lawen

Rumah berlantai dua menyambung dengan bilik kecil di sayap kanannya ini terlihat sederhana tetapi cantik. Dalam keunikannya, bangunan ini berbaur dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Rumah ini juga  menyatu dengan landskap perbukitan dan pepohonan hijau yang menjadi latarnya.

Rumah Salam. Oleh: YB. Mangunwijaya.
Rumah SALAM Lawen.Desain YB. Mangunwijaya.

 Bangunan rumah ini sebagian besar menggunakan material kayu dari Karangdowo-Klaten hadiah dari Eyangnya Wahya dan bahan-bahan yang diperoleh dari desa setempat: bambu, kayu, dan batu bata. Material bambu dominan dipergunakan untuk dinding bilik. Berbeda dengan anyaman bambu tradisional, belahan bambu disusun dalam bidang-bidang menjadi dinding di bagian depan dan samping bilik.

 Bangunan berlantai dua terdiri dinding kaca kotak-kotak dalam bingkai kayu dari lantai hingga langit-langit, membuat ruangan terasa lapang. Dinding kaca itu diselingi tembok batu bata merah tua yang direkatkan membentuk pola garis-garis tanpa cat.

Rumah Jejak Romo Mangun

Ini jejak Romo Mangun (1929-1999), YB Mangunwijaya nama lengkapnya, di desa Lawen, Banjarnegara. Arsitek, budayawan, novelis, pendidik, dan rohaniwan ini memang dikenal dengan karya arsitekturnya yang khas dengan mengeksplorasi bahan bangunan bekas dan material lokal.

   “Desain rumah ini dibuat oleh Romo Mangun tetapi dikerjakan oleh warga di sini,” kata Sri Wahyaningsih yang menjadi tuan rumah bagi Romo Mangun sewaktu berkunjung ke Lawen.

 Desa Lawen berada di wilayah perbukitan yang membelah bagian utara dan selatan Provinsi Jawa Tengah. Perjalanan ke desa ini bisa ditempuh selama sekitar dua jam dengan menggunakan kendaraan beroda empat dari Kota Pekalongan atau Banjarnegara.

Meski tidak lagi sulit dijangkau, perjalanan ke desa ini cukup menantang. Jalannya naik-turun, berkelak-kelok, dengan tikungan tajam. Sepanjang perjalanan kita bisa menyaksikan panorama hutan karet, pinus, perkebunan teh, pepohonan cengkeh yang sudah hilang kejayaannya, dan semak bambu yang kini dipanen untuk bahan baku kerajinan.

Romo Mangun menjadi tamu tetap di Desa Lawen sekitar tahun 1990-an. Ia berkunjung ke Lawen untuk mengunjungi murid dan kadernya, Sri Wahyaningsih. Romo Mangun  terpinspirasi dengan kegiatan pendidikan komunitas yang dilakukan Wahya.

 Di sini cikal-bakal SALAM yang kemudian hijrah ke Yogyakarta dan terus tumbuh dan menyebarkan daya pikat sampai hari ini.

 Saat menyaksikan dari dekat aktivitas pendidikan yang dilakukan Wahya, Romo Mangun mengungkapkan bahwa sekolah macam itulah yang ingin ia bikin.

   “Yo iki sekolah sing arep tak gawe.” Ya inilah sekolah yang ingin aku bikin, kata Romo Mangun sebagaimana ditirukan oleh Wahya.

  Kegiatan SALAM di Lawen  menginspirasi SD Mangunan, sekolah yang didirikan oleh Romo Mangun. Sekolah ini berada di Desa Mangunan di perbatasan timur Kota Yogyakarta. SD Mangunan masih berdiri sampai sekarang dengan arsitektur dan lokasi yang berbeda.

Romo Mangun rupanya kerasan tinggal di Lawen. Di tengah hari ia suka berjalan sendirian dan menyantap bekal makan siang di antara hutan pinus. Romo Mangun jatuh hati pada Desa Lawen sampai-sampai ia kepada Wahya menyatakan niatnya untuk menghabiskan masa pensiun di sana

Beberapa kali Romo Mangun berkunjung ke Lawen. Ia sering membawa buku-buku pada anak-anak – sesuatu yang sangat mewah buat anak-anak desa pada waktu itu. Ia pernah menghadiahkan perangkat kolintang untuk desa itu, berdiskusi dengan ayah mertua Wahya (almarhum Soebarno) bagaimana membuat instalasi mikro hidro, membuat saluran irigasi dan air bersih, serta memperkenalkan kembali pertanian organik.

  Suatu hari Romo Mangun mengirim rumah kayu yang dibawa dengan truk besar. Kedatangan truk besar ini sangat diingat warga SALAM yang kala itu masih kanak-kanak.

“Kami terheran-heran ada truk sebesar itu. Kami bermain memanjat roda-roda truk yang sangat besar,” kata Dede, alumnus SALAM Lawen yang kini mengajar di Sekolah Dasar.

Rumah kayu itu didirikan di dusun Pagiranja. Namun rumah ini sudah dirobohkan karena tanahnya diminta kembali oleh si empunya.

 Suatu kali Romo Mangun dan temannya datang ke SALAM membawa cokelat. Baru pertama kali itulah anak-anak yang berkumpul di SALAM melihat cokelat batangan.

“Ada yang malah dipakai oleh ibunya bikin sambal. Dikira terasi,” kata Udin, alumnus SALAM yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang pertanian.

Rumah yang di depan kediaman mantan Kepala Desa Lawen ini merupakan peninggalan Romo Mangun yang masih bisa dilihat sampai sekarang. Rumah ini sekarang dipergunakan untuk markas dan tempat latihan grup musik “Tarbiyah Cinta” yang seluruh pemain musik dan vokalisnya dari Desa Lawen. Dulu, rumah itu pada malam hari sering dipergunakan tempat anak-anak menginap, perempuan di lantai atas dan laki-laki di lantai bawah.

Tidak jauh dari rumah ini, sekitar 200 meter di pinggir jalan aspal menanjak, berdiri sebuah rumah berlantai dua dengan gaya arsitektur Romo Mangun. Rumah ini mengikuti kontur tanah yang menanjak. Rumah itu memiliki dua pintu depan, lantai bawah dan lantai. Kedua-duanya di pinggir jalan.

Rumah M.Priyanto

Gaya arsitektur Romo Mangun tampak dalam karakter bangunan ini, dari pemanfaatan ruang, motif tembok batu bata, dan penggunaan material bekas. Di bilik tengah yang sempit, bersambung dengan dapur, terdapat sebuah rak menempel di dinding. Rak ini dibuat dari kerangka batu bata pipih dengan bilah-bilah papan. Rak itu dipergunakan anak lelaki sang arsitekur untuk memamerkan koleksi mobil-mobil plastik yang mengusam.

Sang arsitek Priyanto hanya lulusan SMP. Ia sempat berinteraksi dan belajar tentang bangunan pada Romo Mangun. Priyanto berprofesi sebagai tukang sekaligus pemborong bangunan. Ia bahkan telah memiliki perusahaan sendiri.

Romo Mangun memang tidak sempat menikmati masa pensiunnya di Lawen. Kabar kepergiannya sangat mendadak. Meski begitu ada sentuhan Romo Mangun yang masih bisa dirasakan di Lawen dan di SALAM hingga saat ini. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *