Blog

Kanvas Kardus

Suasana sekolah kampung Sanggar Anak Alam (SALAM) yang berada di Nitiprayan mulai riuh meskipun libur belum benar-benar usai. Sejak minggu lalu beberapa anak yang sudah puas berlibur mulai berkumpul di sekolah untuk berlatih, mempersiapkan gelar karya yang akan dihelat beberapa hari lagi. Berlatih koreografi, menata blocking hingga proses recording pun mulai menjadi kegiatan yang dijalani dengan penuh antusiasme.

Foto #salam17tahun.
Foto #salam17tahun.

Tak hanya anak-anak. Orangtua dan para fasilitator juga aktif terlibat mempersiapkan ubo rampe pementasan dan pameran kali ini. Dari sekian banyak hal yang masuk dalam hal-hal yang harus dipersiapkan, kostum menjadi  salah satu yang menjadi pusat perhatian. Masuk akal, karena hampir seluruh anak-anak, mulai dari kelas Kelompok Bermain (KB) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP, SMA), akan tampil di atas panggung. Dari perkiraan awal, jumlah penampil akan mencapai 150-an anak. Sejumlah itulah kostum bertema fabel yang harus dipersiapkan.

Banyaknya jumlah kostum yang harus dibuat serta terbatasnya waktu yang tersedia, membuat kardus menjadi pilihan bahan yang paling tepat. Selain mudah didapat dan ekonomis, kardus adalah material yang mudah digarap. Cukup berbekal lem dan cutter, anak dan orangtua bisa berkreasi bentuk 3 dimensi dalam berbagai rupa.

Foto #salam17tahun.
Foto #salam17tahun.

Tanpa niat menyeragamkan, karya pop-up, kostum, setting panggung hingga properti akan didominasi oleh material ini. Kardus, atau lebih tepatnya kardus bekas, akan menjadi ‘kanvas’ bagi gelar karya kali ini. Kardus secara tersirat menjadi simbol bahwa komunitas ini lebih berposisi ‘memungut yang terbuang’.

Perjalanan 17 Tahun

Dalam sebuah tulisan kritis pada medio akhir 1980-an, Romo Mangun pernah mengemukakan bahwa pendidikan dasar sejatinya adalah tentang bagaimana menumbuhkan jiwa pencari (eksplorator) dan pencipta (kreator) yang integral (utuh) dalam watak dan karakter. Beliau juga menekankan bahwa mendidik adalah bukan tentang membuat siswa menjawab 1000 pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya, namun membuat siswa bertanya 1 pertanyaan yang membawanya menemukan 1000 pengetahuan.

Bagaimana nasib kritik yang usianya hampir 20 tahun itu?

Melihat Indonesia hari ini, kritik itu masih ada. Banyak individu, komunitas dan institusi terus melancarkan kritik yang makin tajam dari hasil membaca, membandingkan, dan mengamati apa yang terjadi di negara lain. Namun sepertinya kebanyakan dari kita hanya berhenti pada ‘membaca’ dalam konteks literasi. Sehingga semua kritik hanya berlangsung dalam tataran ‘tutur’ dan ‘pikir’.

Foto #salam17tahun.
Foto #salam17tahun.

SALAM adalah sebuah komunitas yang mencoba memetik buah pemikiran Romo Mangun dalam tataran yang lebih konkrit yaitu ‘laku’. Karena sebuah ide hanya akan berhenti pada ‘isme’ jika tidak dihidupi.

Tentu saja membangun ‘laku’, terutama di bidang pendidikan dasar bukan hal yang mudah. Jika diibaratkan: laksana berjalan sambil membuat jalan. Alih-alih berdemonstrasi atau ribut-ribut membuat petisi, SALAM bergerak perlahan membangun laku belajar di luar arus utama realitas pendidikan. Berjejaring membangun komunitas dan berdinamika meracik cara belajarnya sendiri,  membuat SALAM, tanpa disadari, berdiri diatas ‘realitas’nya sendiri.

Di Bawah Lampu Sorot

Tak dipungkiri, banyak media baik lokal maupun nasional telah meliput SALAM. Tak jarang pula anak-anak harus ‘bermain drama’ demi tertangkapnya gambar sesuai keinginan para awak media. Namun kali ini, SALAM akan menampilkan dramanya sendiri. Atas kemauannya sendiri. Di atas panggung yang dipilihnya sendiri.

Foto #salam17tahun.
Foto #salam17tahun.

Lalu, apa yang muncul di atas panggung Societet, 22 Juli nanti? Tidak ada komedi karena yang akan tersaji adalah ‘realitas’ SALAM sendiri di 17 tahun terakhir ini. Realitas sunyi yang sesungguhnya adalah kritik atas hiruk pikuk pendidikan Nasional. Namun tak juga muram karena kritik ini akan riuh oleh celoteh dan polah tingkah para bocah.

Maka, terbalut kardus bekas dan teriring berbagai nyanyian, SALAM akan menyajikan sebuah kritik nan puitik. Di bawah lampu sorot.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *