Bulan September 2008 menyaksikan runtuhnya Wall Street, peristiwa yang mencetuskan krisis finansial berkepanjangan yang memengaruhi seluruh dunia. Peristiwa ini, tanpa diragukan lagi, adalah sinyal krusial yang menandakan berakhirnya paradigma yang telah mendominasi dunia ekonomi. Paradigma ini memprioritaskan fiksi finansial di atas kemakmuran riil yang diberikan oleh alam dan manusia, serta mengutamakan laba dan korporasi di atas kepentingan rakyat.
Paradigma ini memunculkan perekonomian yang didasarkan pada ketamakan, di mana seluruh kehidupan diperdagangkan dan dikomodifikasi. Pengetahuan, alam, sumber daya, dan bahkan hak asasi manusia menjadi komoditas yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi. Seiring waktu, semangat keserakahan ini mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang tidak mengenal batas, tanpa pertimbangan serius terhadap dampak lingkungan.
Selama beberapa dekade, tatanan dunia ini hanya bisa bertahan dengan menawarkan jaminan tanpa henti kepada sektor swasta, mengorbankan kemakmuran banyak orang demi menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar, alih-alih mengalokasikan sumber daya ini untuk memulihkan alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin besar dan ketidaksetaraan yang merajalela.
Krisis finansial tahun 2008 adalah pukulan telak bagi paradigma ini. Namun, reaksi yang diambil oleh sebagian besar pemerintah dunia adalah menginjeksikan dana publik yang besar untuk mendukung sektor swasta yang bertanggung jawab atas krisis tersebut. Alih-alih menggunakan krisis ini sebagai momentum untuk mengubah paradigma ekonomi, sebagian besar upaya pemulihan hanya mengintensifkan kekerasan terhadap lingkungan dan rakyat.
Krisis ini mengungkapkan bahwa paradigma ekonomi yang mengesampingkan kebutuhan alam, mengorbankan kesejahteraan masyarakat, dan memprioritaskan kepentingan perusahaan di atas keadilan sosial adalah sebuah kediktatoran perekonomian. Kediktatoran ini memperkuat ketidaksetaraan, menciptakan tekanan lingkungan yang tak terelakkan, dan merampas hak asasi manusia.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita, sebagai masyarakat global, mampu melahirkan paradigma baru yang lebih berkelanjutan dan adil. Paradigma yang menghargai keanekaragaman alam, mengutamakan kesejahteraan seluruh rakyat, dan memandang perusahaan sebagai bagian dari solusi, bukan sebagai pemegang kekuasaan tak terbatas. Paradigma ini membutuhkan kerjasama global, perubahan mendalam dalam pola pikir, dan tindakan nyata untuk mendekonstruksi tatanan dunia lama yang tidak dapat berkelanjutan.
Krisis finansial tahun 2008 adalah belenggu yang telah terkuak. Masa depan kita tergantung pada upaya bersama kita untuk membangun tatanan dunia yang lebih baik, yang menempatkan kepentingan alam dan rakyat di atas kepentingan finansial semata. Itu adalah tugas yang berat, namun juga adalah tugas yang mendesak dan esensial jika kita ingin mewariskan dunia yang lebih baik kepada generasi mendatang.
Pertanyaan tentang apakah “hijau” akan menjadi warna uang atau kehidupan merujuk pada perdebatan yang muncul sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan dan kebijakan lingkungan.
Hijau Sebagai Warna Uang: Dalam konteks ini, “hijau” lebih dilihat sebagai simbol uang atau keuntungan ekonomi. Ini berarti bahwa kebijakan dan praktik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dianggap sebagai cara untuk menciptakan peluang bisnis yang menguntungkan. Hijau di sini merujuk pada keberlanjutan dalam arti yang lebih luas, termasuk energi terbarukan, teknologi ramah lingkungan, dan praktik bisnis yang mengurangi dampak lingkungan. Dalam hal ini, “hijau” menjadi warna uang, yang berarti bahwa praktik bisnis yang berkelanjutan dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan.
Hijau Sebagai Warna Kehidupan: Di sisi lain, “hijau” bisa juga diartikan sebagai simbol kehidupan dan keberlanjutan lingkungan. Dalam perspektif ini, kebijakan dan praktik yang berkelanjutan dilihat sebagai cara untuk mempertahankan alam dan ekosistem kita. “Hijau” dalam hal ini lebih berkaitan dengan menjaga keberlanjutan bumi, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan memastikan bahwa sumber daya alam dapat bertahan untuk generasi mendatang. Dalam hal ini, “hijau” lebih menjadi warna kehidupan dan keberlanjutan.
Idealnya, upaya kita dalam pembangunan berkelanjutan dan kebijakan lingkungan seharusnya mencoba untuk mencapai keseimbangan antara kedua makna “hijau” ini. Menciptakan peluang bisnis yang berkelanjutan seharusnya sejalan dengan menjaga alam dan mempertahankan kehidupan di bumi. Keselarasan antara ekonomi dan ekologi adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua makhluk yang menghuni planet ini.[]
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply