Blog

Mendisiplinkan Bangsa Jajahan: Manipulasi dan Pemusatan Kuasa dalam Konteks Kolonisasi

Konsep disiplin telah lama menjadi pusat perhatian dalam pemikiran sosial dan sejarah. Namun, keberadaan disiplin tidak hanya sebatas pengorganisiran pengetahuan, melainkan juga merentang ke pengorganisiran tubuh dan individu. Michel Foucault dalam kajiannya tentang abad kedelapan belas menyatakan bahwa disiplin menjadi “rumus dominasi” yang tersebar di berbagai lembaga seperti sekolah, rumah sakit, dan organisasi militer. Konsep ini terbukti sangat relevan ketika diterapkan pada konteks kolonisasi, di mana disiplin digunakan sebagai alat manipulasi dan pemusatan kuasa terhadap bangsa jajahan.

Dalam kerangka cara pengetahuan digunakan untuk mendisiplinkan bangsa jajahan, peran pengetahuan adalah sangat signifikan. Pengetahuan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengajarkan kebudayaan pribumi, tetapi juga sebagai sarana untuk memanipulasi dan mengontrol. Salah satu bentuk yang jelas dari manipulasi ini adalah melalui praktik pengecualian, marjinalisasi, dan penolakan. Pengetahuan pribumi seringkali dikecualikan dan diabaikan, mengakibatkan pandangan mereka tentang tanah dan identitas budaya diinjak-injak. Tindakan seperti pengambilan tanah dengan dalih “undang-undang pemberontakan” serta perubahan definisi tanah sebagai “tanah terlantar” atau “tanah kosong” menunjukkan bagaimana pengetahuan digunakan untuk mengokohkan dominasi.

Salah satu metode mendisiplinkan melalui penyertaan—namun, dalam konteks kolonisasi, penyertaan seringkali diikuti oleh eksklusi. Beberapa elemen masyarakat pribumi diikutsertakan dalam sistem kolonial, tetapi ini seringkali diiringi oleh pengecualian, menunjukkan adanya batas-batas yang diatur oleh kolonialisme. Sistem cadangan tanah, contohnya, adalah bentuk penyertaan yang disertai oleh pembatasan. Disiplin juga melibatkan pembagian dan partisi, memisahkan individu-individu serta mengkompartementalisasi ruang. Hal ini memungkinkan pengawasan yang lebih ketat dan penerapan perbedaan antara individu-individu.

Efek disiplin terlihat dalam berbagai aspek, termasuk dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum sering berperan dalam mengarahkan jalur anak-anak pribumi menuju pekerjaan-pekerjaan domestik dan manual, serta dalam mengevaluasi mereka berdasarkan norma-norma kelas menengah kulit putih. Disiplin juga mencakup tataran penilaian, dengan penggunaan tes-tes normatif yang memihak pada kelas menengah kulit putih dan bahasa yang mereka kuasai.

Salah satu aspek yang paling menghancurkan adalah brutalitas yang dialami oleh generasi muda masyarakat pribumi. Dalam sejarah kolonisasi, banyak kasus di mana anak-anak dipaksa diambil dari orang tua mereka dan diadopsi oleh sistem pendidikan kolonial yang menghancurkan bahasa dan budaya mereka. Misalnya, anak-anak Aborigin di Australia dan berbagai suku pribumi di Kanada dipaksa masuk ke sekolah-sekolah asrama yang memiliki tujuan untuk menghapus bahasa dan identitas budaya mereka.

Selain itu, kebijakan dan peraturan paternalistik dan rasis mendukung bentuk-bentuk disiplin ini. Kolonisator memberlakukan aturan-aturan ini dengan tujuan menjadikan komunitas pribumi warga negara dengan mengikuti standar yang ditetapkan oleh kaum kulit putih. Dampak dari disiplin ini bukan hanya dalam aspek fisik, tetapi juga emosi, linguistik, dan budaya. Disiplin ini didesain untuk meruntuhkan cara-cara alternatif dalam mencari pengetahuan dan hidup, serta menghapus identitas dan memori kolektif untuk menjatuhkan tatanan baru yang diinginkan oleh penjajah.

Bahkan pasca Perang Dunia II, era post-kolonial belum mampu sepenuhnya mengatasi dampak disiplin yang diterapkan selama masa kolonisasi. Banyak bangsa pribumi di seluruh dunia masih menghadapi diskriminasi dan marginalisasi, bahkan dalam upaya mereka untuk dikenali sebagai manusia dan warga negara. Efek dari disiplin kolonial terus membisu atau menindas cara-cara pengetahuan tradisional serta bahasa-bahasa pribumi.

Namun, dalam wacana ini juga terdapat harapan untuk mendapatkan kembali suara dan identitas yang pernah dirampas. Masyarakat pribumi tidak hanya menuntut hak-hak mereka, tetapi juga mengupayakan rekonstruksi cara-cara pengetahuan mereka yang telah lama tersembunyi atau ditekan. Proses ini melibatkan klaim kembali atas pengetahuan tradisional, menghubungkan kembali dengan akar budaya, dan merangkul identitas yang pernah ditekan ke dalam bayang-bayang sejarah. Dengan demikian, memahami bagaimana disiplin digunakan dalam konteks kolonisasi membuka jalan untuk menganalisis perjuangan dan perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat pribumi untuk mengembalikan kebenaran dan martabat yang telah lama terlupakan. []

** lebih lengkap baca : Dekolonisasi Metodologi insist press

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *