Blog

“Mengapa Kita Semakin Terjebak dalam ‘Innumeracy’ atau ‘Numerical Illiteracy’?”

Kita itu hidup dalam zaman di mana bahasa numerik yang telah ada sejak manusia pertama kali melangkah ke dunia ini semakin tenggelam dalam bahasa algoritmik yang lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh kalkulator atau komputer. Bahasa numerik yang kaya dan abstrak yang seharusnya menjadi milik bawaan kita sejak lahir, sejak kita masih bayi, kini semakin terpinggirkan, bahkan sulit dipahami.

Manusia memiliki bahasa numerik asli yang sangat abstrak dan kompleks. Ini adalah sistem non-verbal untuk menghitung objek, yang ditemukan pada manusia sejak awal eksistensi. Bahasa pada dasarnya adalah alat kognisi yang berfungsi di dalam diri kita. Awalnya, bahasa adalah organ kognitif sebelum menjadi alat verbal untuk komunikasi. Tidak hanya manusia, tetapi binatang seperti ikan dan primata juga memiliki cara menggunakan bahasa numerik non-verbal. Kemampuan mereka untuk berinteraksi dalam kelompok adalah hasil dari kemampuan memahami bilangan “seadanya,” “sedikit,” “banyak,” dan “lebih dari sekadar itu.” Mereka memiliki pemahaman numerik yang lebih dalam. Namun, sekarang kita berbicara dalam bahasa algoritmik yang sangat verbalistik dan kurang numerik. Bahasa ini sering kali hanya menjadi kumpulan simbol yang memiliki makna yang sangat sempit. Simbol-simbol ini ditentukan sebelumnya sebagai nilai, yang mengabaikan keberagaman makna yang lebih luas.

Kita semakin terperangkap dalam bahasa deterministik, padahal kehidupan sehari-hari kita penuh dengan unsur non-deterministik. Makna digantikan oleh simbol, dan kata-kata menjadi penentu makna yang lebih dalam. Ini mengakibatkan nilai menjadi kurang efektif dalam menjelaskan. Sebelumnya, kita tahu bahwa “seadanya” adalah cukup. Namun, sekarang, “cukup” telah berubah menjadi “kurang.” Ini adalah tanda bahwa literasi numerik kita telah menurun. Kita kehilangan pemahaman tentang seberapa banyak yang cukup.

Albert Einstein pernah mengingatkan kita untuk “menyederhanakan, tetapi jangan terlalu sederhana.” Sayangnya, kita sering melupakan nasihat ini, dan akibatnya, kita semakin buta bilangan. Bahkan perbedaan antara “satu” dan “esa” atau “tunggal” dan “unity” semakin kabur. Ketika abstraksi yang sangat dalam digantikan oleh abstraksi yang terlalu konkret, kita kehilangan kemampuan imajinasi. Kita hanya bisa menjelaskan sesuatu dengan benda yang sama. “Numerical illiteracy” bukanlah kegagalan dalam berhitung, tetapi kegagalan dalam menggunakan alat dasar berhitung untuk memahami data. Bahkan individu yang terdidik sekalipun dapat menjadi buta bilangan.

Kita semakin buta bilangan, pandai dalam berhitung tetapi lupa tentang pentingnya penyebut. Hubungan antara pembilang dan penyebut kita semakin terbatas, hanya berfokus pada hubungan yang sudah kita ketahui. Kemungkinan lain diabaikan, dan kita hanya terpaku pada probabilitas. Penting untuk mengenali masalah “innumeracy” ini dan kembali ke akar bahasa numerik kita yang kaya dan abstrak. Kita harus mengembalikan makna dalam angka dan memahami bahwa bilangan pada dasarnya berbeda-beda tergantung pada basisnya. Hanya dengan pemahaman yang lebih dalam tentang bahasa numerik kita, kita dapat mengatasi “innumeracy” dan menjadi numerically literate.

Selain itu, kita perlu mengakui bahwa dalam era digital ini, kita sering mereduksi bilangan menjadi sekedar angka. Bilangan yang awalnya memiliki kekayaan dan keragaman dari berbagai basis bilangan di seluruh dunia sekarang disederhanakan menjadi angka yang seragam. Ini menyiratkan bahwa kita kehilangan kemampuan untuk memahami konteks yang berbeda di mana bilangan digunakan. Ketika kita menyadari bahwa bilangan 5 dalam basis 5 berbeda dengan bilangan 5 dalam basis 12, kita mulai memahami pentingnya konteks dalam pemahaman numerik. Ini juga berlaku untuk basis bilangan lain seperti 7, 11, 21, dan banyak lagi yang digunakan oleh berbagai budaya di seluruh dunia.

Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang bahasa numerik dan pengakuan terhadap keragaman basis bilangan, kita dapat mengatasi “numerical illiteracy.” Kita harus kembali menggunakan bahasa numerik asli yang abstrak dan kompleks yang dimiliki manusia sejak lahir, dan tidak hanya bergantung pada bahasa algoritmik yang terlalu simplistik.

Pendidikan adalah kunci untuk mengatasi masalah ini. Kita perlu mengembangkan kurikulum yang mengajarkan literasi numerik yang lebih mendalam dan melibatkan siswa dalam pemahaman berbagai basis bilangan serta konteks numerik yang berbeda. Dengan cara ini, kita dapat mengembalikan bahasa numerik ke tempat yang seharusnya dalam pemahaman kita, memungkinkan kita untuk menjadi lebih kompeten dalam menghadapi tantangan numerik dalam dunia yang semakin kompleks ini.

Jadi, “innumeracy” atau “numerical illiteracy” bukanlah kegagalan dalam berhitung, tetapi kegagalan dalam memahami dan menggunakan bahasa numerik dengan baik. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu kembali ke akar bahasa numerik kita, mengakui keragaman basis bilangan, dan melibatkan pendidikan yang lebih mendalam dalam literasi numerik. Dengan begitu, kita dapat membantu diri kita sendiri dan generasi mendatang untuk menjadi lebih kompeten dalam berpikir dan berkomunikasi dalam bahasa numerik yang kaya dan abstrak. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *