Blog

PENDIDIKAN YANG TIDAK IKUT-IKUTAN

Judul buku: Manusia Tanpa Sekolah Penulis: Rony K. Pratama Tahun: 2022 Penerbit: Bentang Pustaka Halaman: 268 ISBN: 978-602-291-957-5 Peresensi : Naufal Zabidi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mendedah wacana dalam kata universitas yang berasal dari kata universe (alam raya) adalah hal yang klise. Ketika universitas tidak berupaya terbuka untuk berbagai kalangan dan tidak membelenggu kreativitas, menunjukkan bahwa universitas tidak mengambil langkah mewujudkan kata universe tersebut. Lagi-lagi, persoalannya tentang pertentangan makna dan realita.

Maksud dari kata universe adalah, membebaskan manusia dari bangku sekolah. Kata tersebut bisa saja berlaku bagi orang yang menganggap sekolah bukanlah satu-satunya tempat pendidikan. Orang seperti Steve Job, Bill Gates, dan semua orang hebat yang terdidik tanpa bangku sekolah, boleh dikatakan melanggengkan makna universe.

Di Indonesia, Toto Rahardjo menjadi salah satu tokoh yang mengupayakan makna universitas tersebut. Orang yang akrab dipanggil Mas Toto ini, memang pernah mencicipi bangku kuliah, tetapi tak selesai. Ia lebih memilih “kuliah” di Kali Code. Bibit pemberontak mulai mengalir di tubuhnya. Nyentrik dengan Romo Mangun yang memilih tinggal dan berpihak kepada masyarakat di bantaran sungai-tidak seperti kolega maupun institusinya yang mendukung keputusan “Normalisasi Kali Code” (halaman 75).

Dalam buku ini, Rony K. Pratama menuliskan kumpulan esai yang berisi biografi Toto Rahardjo berdasarkan pergumulannya dengan pendidikan. Rony melihat sosok Mas Toto sebagai orang hebat yang mampu memecahkan permasalahan tanpa melibatkan sekolah formal, serta merumuskan kembali tentang sekolah yang kini semakin kabur arahnya.

Developmentalisme Sekolah


Setidaknya, manusia bersekolah dari SD hingga SMA selama dua belas tahun. Dalam kurun waktu tersebut, seringkali manusia mempelajari kurikulum dan keilmuan yang seragam. Pendidikan seolah tidak ingin menggali tiap-tiap potensi yang ada pada peserta didik. Manusia diseragamkan. Untuk apa?

Pertanyaan ini dijawab Toto Rahardjo dengan cakap, bahwa di balik penyeragaman anak didik, tersembunyi industri mekanis yang bernama sekolah. Sekolah memiliki tujuan pragmatis, yaitu mencetak pekerja-pekerja yang sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.

Pada kondisi ini, alih-alih menjadikan sekolah sebagai tempat pendidikan yang membebaskan, justru membikin hilangnya individu-individu unik dan kreatif di masyarakat. Suatu kondisi ketika peserta didik sebagai subjek “bebas” kehilangan martabat dan independensi pikiran, sampai akhirnya menjelma individu serupa robot yang patuh.

Permasalahan lain yang tak kalah penting, yakni saat menentukan kurikulum. Seharusnya, pemerintah sebagai pemegang kebijakan mengajak masyarakat berembuk untuk menentukan kebutuhan kontekstual mereka sendiri. Tujuannya, agar masyarakat tidak kehilangan jati diri dan akar tradisi.

Namun kenyataanya, yang dilihat Toto Rahardjo adalah tidak adanya kaitan antara materi yang diajarkan dengan kebutuhan peserta didik. Kurikulum sekolah hanya mengakomodasi kepentingan pelajaran yang kalau ditelusuri lebih lanjut membebek pada kebutuhan pragmatis (halaman 86).

Pembuatan kurikulum memposisikan masyarakat sebagai instrumen pasif, sedangkan pemerintah memposisikan diri sebagai orang yang serba tahu. Dari situasi ini, apa yang dapat diharapkan dari kurikulum yang secara mendasar saja sudah menafikan keberadaan masyarakat setempat.

Mengupayakan Generasi Baru

Toto Rahardjo paham betul bahwa berkoar-koar saja tidaklah cukup, ia juga berupaya membuat alternatif baru. Merujuk kata pengantar Cak Nun dalam buku ini perihal “SALAM”, Sanggar Anak Alam. Sekolah yang merupakan laboratorium bagi anak muda untuk benar-benar sekolah tentang kehidupan.

Anak SALAM tidak dididik untuk mengaku cari ilmu, padahal cari ijazah dan gelar. Tidak dididik untuk mencari ijazah padahal mencari pekerjaan. Juga tidak dididik untuk menipu diri dengan mencari pekerjaan, padahal sebenarnya mencari uang.

SALAM merupakan buah dari hasil kerja keras Toto Rahardjo bersama istrinya, Wahya. SALAM juga bagian reproduksi wacana pemikiran kiri yang tidak lepas dari kehidupan Mas Toto pada era 1980-an hingga kini. Tokoh seperti Mansour Fakih dan Roem Topatimasang tentu berpengaruh pada pemikiran Mas Toto. Juga Romo Mangun yang tentunya lebih dulu masuk dalam corak pemikiran dan menemani pergolakan kehidupannya.

Jika kembali pada pemaknaan universitas atau universe yang berarti alam raya, Toto Rahardjo dapat membuktikannya. Bahwa pendidikan itu tidak hanya di bangku kuliah. Semua tempat adalah pendidikan dan semua orang adalah guru. Melalui SALAM, Mas Toto bisa memberi medium baru yang tidak hanya gratis, tapi benar-benar mengabdi dan belajar bersama alam raya.

Dengan buku ini, bermacam problem pendidikan yang dilihat Mas Toto, kembali menjadi pertanyaan dan pernyataan. Masih banyak yang dapat didapatkan melalui buku Rony K. Pratama. Dan poin paling penting adalah wacana pendidikan yang tidak sekedar ikut-ikutan dengan tren, terlebih upaya Toto Rahardjo dalam mengamalkan kalimat “memanusiakan manusia”. []

Helmi Supriyatno

Pendidikan yang Tidak Ikut-ikutan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *