Pada pagi yang cerah, tepat pukul 8:45, kami memulai perjalanan dari Sanggar Anak Alam (SALAM) untuk memulai rutinitas kami yang biasa, dengan sedikit tambahan berupa permainan pagi. Atta, salah satu teman di dalam rombongan, mengambil keputusan bijak untuk tidak membawa tas karena merasa akan memberatkan perjalanan kami yang lebih banyak melibatkan berjalan kaki. Kami telah memperkirakan bahwa bus yang kami tunggu akan tiba sekitar pukul 9:05, sehingga kami menghitung kecepatan berjalan yang diperlukan untuk sampai tepat waktu. Sambil berjalan, Angger, Gara, dan Atta berbagi cerita tentang peristiwa yang terjadi pada hari sebelumnya kepada Sakha dan Faiz yang tidak ikut dalam permainan pagi itu. Kami akhirnya tiba di halte pada pukul 9:00, dan terpaksa menunggu sekitar lima menit sebelum bus datang.
Ternyata, kami harus menunggu lebih lama di Ngabean daripada pada hari sebelumnya. Faiz, dengan penuh kegusaran, beberapa kali bertanya, “Kapan ya busnya datang?”, namun aplikasi Trans Jogja yang biasa kami andalkan untuk melihat posisi bus sedang mengalami gangguan. Kami hanya bisa menunggu dengan sabar.
Akhirnya, bus 3A yang kami tunggu datang, tetapi sangat penuh dengan penumpang. Karena itu, percakapan di dalam bus menjadi sulit untuk dilakukan. Saya pun berbincang-bincang dengan Atta tentang alasan kepadatan rute ini dibandingkan dengan hari sebelumnya. Atta menjelaskan bahwa ia cukup akrab dengan rute ini karena sering melewati SMPN 1, tempat dia berlatih senam. Kami juga membahas perbedaan antara rute 3A dan 2A, dan sepakat bahwa 3A lebih cepat meskipun memiliki rute yang mirip.
Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan seseorang yang penasaran tentang sekolah kami, dan kami pun dengan ramah menjelaskan tentang institusi kami kepada orang tersebut.
Setelah melewati perjalanan yang penuh dengan cerita di dalam bus 3A, kami akhirnya tiba di Terminal Condongcatur dengan harapan menemukan bus jarak jauh yang kami cari. Namun, kenyataannya tidak sesuai dengan ekspektasi kami. Kami mengetahui bahwa Terminal Condongcatur hanya melayani Teman Bus dan Trans Jogja. Tanpa kehilangan semangat, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Terminal Jombor, tempat yang kami percaya akan memiliki lebih banyak pilihan bus yang kami cari.
Namun, perjalanan kali ini tidak berjalan begitu lancar seperti yang kami harapkan. Kami harus menunggu cukup lama di Terminal Condongcatur sebelum akhirnya berhasil naik bus 5A yang jarang lewat. Meskipun demikian, kami tetap bersemangat untuk melanjutkan perjalanan.
Saat melintasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam perjalanan menuju Terminal Jombor, teman-teman kami melihat sejumlah bus yang parkir di depan Gedung Serbaguna Pertamina (GSP) UGM. Gara dan Angger pun bertanya apakah mereka boleh turun di sana. Saya menyetujui permintaan mereka meskipun kami sedikit terlambat dan seharusnya harus turun di RS Sardjito.
Ketika kami turun dari bus, teman-teman kami terlihat sangat bersemangat. Mereka bahkan berlari menuju area parkir bus, tetapi tetap berhati-hati saat menyeberang jalan. Saya mengajak mereka untuk melewati jalan di dalam kampus UGM, dan Gara tertarik dengan perpustakaan yang kami lewati di sepanjang jalan tersebut. Dia bahkan menyatakan keinginannya untuk mengunjungi perpustakaan itu di lain waktu.
Meskipun mengalami sedikit hambatan dalam perjalanan kami, tetapi semangat dan antusiasme kami tetap berkobar. Kami siap melanjutkan petualangan mencari bus jarak jauh di Terminal Jombor dan menikmati setiap momen yang kami temui dalam perjalanan kami.
Tiba di parkiran GSP UGM, teman-teman kami langsung disambut oleh deretan bus yang sangat banyak. Rupanya, bus-bus tersebut adalah kendaraan dari luar kota yang mengangkut anak-anak SMA yang sedang melakukan studi tur ke Jogja. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Bali, Cirebon, Surabaya, Jakarta, Bekasi, dan kota lainnya. Di antara bus-bus tersebut, teman-teman kami menemukan sebuah bus yang cukup langka, yang mereka sebut ‘Pegasus’ karena corak warnanya yang menarik. Seperti biasa, mereka tidak melewatkan kesempatan untuk mengambil foto-foto bus dan memeriksa bagian bawah bus untuk melihat corong terompetnya.
Kami pun membahas tentang bus-bus ini, menyimpulkan bahwa mereka mungkin milik orang-orang kaya (‘sultan’), mengingat kondisi bus yang terlihat sangat baik dibandingkan dengan bus-bus yang biasa kami lihat di parkiran BI atau Terminal Giwangan. Angger dan Sakha bahkan berhasil membeli stiker dari beberapa sopir bus, yang membuat mereka sangat puas dengan temuan baru mereka.
Setelah puas berkeliling dan mengambil gambar, kami melanjutkan perjalanan ke arah halte. Namun, tiba-tiba Angger menyadari bahwa harta karun barunya, stiker dari sopir bus, mungkin tertinggal di dompetnya. Setelah diperiksa di dalam tas, ternyata memang benar-benar hilang. Kami bersama-sama kembali ke area bus dan bertanya kepada beberapa orang, tetapi sayangnya tidak ada yang melihat dompet tersebut. Ketika hampir putus asa, kami akhirnya berjalan ke arah pintu keluar. Untungnya, dompet tersebut terlihat tertinggal di tempat duduk kami sebelumnya. Dengan rasa lega, kami mengambil dompet tersebut dan kembali ke halte.
Beruntung bagi kami, bus pulang (3A) langsung muncul untuk menjemput kami pulang. Dengan perasaan senang dan lega, kami mengakhiri petualangan kami di parkiran GSP UGM, dengan kenangan tak terlupakan dan pelajaran berharga tentang kehati-hatian dan kesempatan yang diberikan oleh perjalanan kami.
Diskusi tentang perbedaan antara bus baru dan bus lama telah menjadi topik yang menarik bagi kami, terutama setelah kami menggunakan bus 3A yang baru-baru ini diperkenalkan. Hari sebelumnya, saya, Gara, dan Atta duduk bersama dan mulai menghitung jumlah kursi serta memperhatikan perbedaan-perbedaan lainnya antara kedua tipe bus tersebut.
Kami terkejut ketika menemukan bahwa meskipun bus baru memiliki penampilan yang lebih kecil, namun jumlah tempat duduknya lebih banyak dibandingkan dengan bus lama. Bus baru memiliki 23 kursi, sementara bus lama hanya memiliki 20 kursi. Namun, jumlah pegangan di dalam bus baru tetap sama dengan bus lama, yaitu 20.
Gara dan Atta merasa agak heran dengan temuan ini, terutama karena bus baru terlihat lebih kecil secara keseluruhan. Namun, mereka juga mengamati bahwa ada lebih banyak ruang untuk penumpang yang berdiri di dalam bus baru tersebut. Kami juga membahas tentang pintu darurat yang ada di bagian belakang bus baru, serta alat yang digunakan untuk memecahkan kaca darurat dan cara menggunakannya, yang merupakan fitur penting untuk keselamatan.
Ketika kami berganti bus dari 3A ke bus 6B yang menggunakan tipe lama dalam perjalanan kami dari Malioboro ke Superindo Sonosewu, Gara melakukan analisis lebih lanjut terhadap perbedaan kedua bus tersebut. Dia memperhatikan bahwa di dalam bus lama, ada ruang yang disediakan untuk kursi roda, yang tidak ada di bus baru. Oleh karena itu, wajar jika ruang yang tersedia untuk tempat duduk terasa lebih besar di dalam bus lama. Dia juga mencatat adanya bagian di dalam bus lama yang tidak menempel langsung pada dinding bus, yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa bus lama terasa lebih luas meskipun memiliki jumlah kursi yang lebih sedikit.
Diskusi kami tentang perbedaan antara bus baru dan bus lama memberikan wawasan yang menarik tentang desain dan fitur-fitur keselamatan yang ada di dalam bus, serta memperkuat pemahaman kami tentang transportasi umum yang sering kami gunakan dalam kegiatan sehari-hari. []
*** Disunting dari Jurnal kelas 4 SD sanggar Anak Alam
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply