Seperti biasa, kelas 10 merencanakan kegiatan untuk masa depan mereka yang akan segera berganti. Ini adalah tahun yang serupa, tetapi juga sangat berbeda, karena kami hanya naik ke kelas yang lebih tinggi. Kami memutuskan untuk melanjutkan kegiatan yang telah kami mulai pada hari Kamis sebelumnya, yaitu berbasa-basi dengan orang asing. Mungkin banyak dari kami yang belum mahir dalam berbahasa Jawa krama, dan saya sendiri merasa agak canggung ketika berbicara. Namun, dengan menggunakan bahasa Jawa krama, terkadang kami dapat mendapatkan harga yang lebih murah (terutama jika penjualnya baik hati dan ramah kepada pembeli, hehe).
Mari saya mulai dari awal.
Semuanya dimulai dengan menunggu teman-teman di dekat Taman Budaya Yogyakarta. Saya tiba di sana pada pukul 09.07, dan sejumlah teman dari kelas 10 sudah menunggu. Setelah menunggu sekitar 30 menit, saya memutuskan untuk memulai kegiatan kami sendiri. Bagaimana pun, kami sudah menunggu cukup lama.
Saya segera mulai berdiskusi dengan teman-teman sekelompok. Sebelum membahas teknis kegiatan hari itu, kami berbagi cerita tentang pengalaman kami di pasar. Saya menceritakan tentang warung soto bernama Soto Mbok Galak. Saat saya masih berusia 3-5 tahun, saya sering pergi ke warung soto itu bersama kakak perempuan dan ibu saya. Saya berbagi kenangan tentang makan soto di warung itu.
Salah satu teman sekelompok, Ayya, berbagi cerita yang mengharukan tentang saat dia kehilangan ibunya di pasar. Saat ibunya pergi ke mesin ATM untuk mengambil uang tunai, ibu Ayya berkata, “Tunggu di sini ya, nak.” Namun, Ayya yang masih kecil dan bingung memutuskan untuk mengikuti ibunya tanpa sepengetahuannya. Karena pakaian ibu Ayya mirip dengan orang-orang di sekitarnya, Ayya tersesat dan mulai mengikuti orang yang salah. Kami berbagi cerita ini sambil menunggu sate kere yang sedang dipanggang. Saya memang telah berencana untuk mencicipi sate kere. Setelah menunggu sate kere yang agak memakan waktu, Bu Gerna mencari sejenis bahan pewarna alami yang disebut “lerak.” Sebelumnya, saya telah berbicara dengan Bu Gerna tentang lerak. Saya meminta Bu Gerna untuk mencarinya, dan saya berjanji akan membayar nanti.
Setelah berhasil mendapatkan lerak, saya dan teman-teman langsung mencari “jarik” bersama-sama, termasuk Ayya dan Tantra. Menariknya, di antara kami ada Tantra, yang sebenarnya berasal dari kelas 11, tetapi bergabung dalam kegiatan kami.
Saat kami sedang berjalan, tiba-tiba lagu Indonesia Raya berkumandang. Kami semua berhenti dan berdiri di pinggir jalan dalam pasar. Saya terkejut karena hampir semua orang di sekitar kami juga berhenti beraktivitas. Pasar menjadi hening, dan hanya terdengar lagu Indonesia Raya. Setelah lagu selesai, suasana pasar kembali riuh.
Tidak jauh dari tempat kami berdiri, kami bertemu dengan Bram dan Syafiq. Saya menyapa mereka dan meminta Bram untuk mengambil foto kelompok kami. Setelah mengabadikan momen tersebut, kami mengucapkan selamat tinggal kepada mereka.
Ketika kami naik ke lantai atas, kami sampai di blok yang berisi kerajinan tangan. Ayya tertarik dengan sebuah toko yang menjual ember rotan untuk menyimpan pakaian kotor.
Kami terus berjalan dan mencari kios yang menjual “jarik lawasan.” Setelah bertanya kepada banyak pedagang pasar, kami akhirnya menemukan satu kios yang sangat tua. Kios itu dimiliki oleh Bu Maryati, seorang wanita yang telah berjualan jarik selama 40 tahun. Bu Maryati lahir pada tahun 1965 dan sejak tahun 1983, dia telah menjalani karirnya di bidang batik.
Awalnya, Bu Maryati membantu tetangganya menjual jarik sebelum akhirnya memutuskan untuk berjualan sendiri di Pasar Beringharjo. Kios Bu Maryati terletak di lantai 3 pasar dan memiliki cahaya yang agak redup, sehingga kami harus berhati-hati untuk menemukannya.
Bu Maryati tidak membuat jarik itu sendiri. Dia membeli jarik dagangannya dari suatu tempat (meskipun saya lupa di mana). Jarik yang dijual oleh Bu Maryati meliputi jarik tulis, jarik cap, dan jarik printing. Yang menarik, Bu Maryati sendiri tidak terlalu memahami seluk-beluk batik yang dia jual.
Saya membagikan sedikit pengetahuan saya tentang batik kepada teman-teman saya. Saya menceritakan kepada mereka bahwa saya berasal dari keluarga pengrajin batik dan menjelaskan proses pembuatan batik.
Proses pembuatan batik melibatkan beberapa tahap:
Pola: Tahap pertama adalah membuat pola. Pengrajin batik menggambar pola pada kertas terlebih dahulu, kemudian mentransfer pola tersebut ke kain. Proses ini memerlukan ketelitian tinggi karena kain tidak boleh bergeser.
Malam: Malam digunakan untuk menutup bagian-bagian kain yang tidak ingin diwarnai. Proses ini memanfaatkan lilin batik, yang diterapkan dengan menggunakan alat khusus bernama “canting.”
Pewarnaan: Kain yang telah diolah dengan malam kemudian dicelup ke dalam larutan pewarna. Ada dua teknik pewarnaan batik: satu adalah mencelup seluruh kain, dan yang lainnya adalah mewarnai bagian-bagian tertentu secara manual.
Rebus: Proses terakhir adalah rebus atau “nglorot.” Proses ini dilakukan untuk menghilangkan malam yang masih menutupi kain batik. Ini adalah langkah akhir dalam produksi batik. Proses rebus ini mengharuskan kain dicuci secara hati-hati sehingga semua lilin batik dapat dihilangkan, meninggalkan pola-pola yang indah pada kain tersebut.
Ternyata, pengetahuan saya tentang langkah-langkah membuat batik lebih mendalam daripada yang saya kira. Meskipun saya sempat merasa malas untuk menulis seluruhnya, ini merupakan pengalaman yang bermanfaat dan membuat saya lebih menghargai kerajinan batik.
Kembali kepada topik Bu Maryati, dia tidak merasa terganggu oleh keberadaan toko daring yang menjual batik. Ketika saya bertanya mengapa, dia menjawab, “Saya tidak dapat menjual batik secara online, Mbak.” Saya menanyakan apakah itu karena dia tidak terbiasa atau karena batiknya. Bu Maryati menjelaskan bahwa setiap produksi batik, terutama batik tulis, selalu menghasilkan karya yang unik.
Saya juga berbicara dengan orang-orang di sekitar, dan mereka mengungkapkan minat yang semakin meningkat terhadap batik. Bahkan kelompok wanita yang mengenakan kebaya telah mengubah pandangan masyarakat. Beberapa dekade lalu, banyak orang beranggapan bahwa mengenakan jarik sehari-hari adalah kuno. Namun, sekarang, jarik dapat digunakan dengan lebih fleksibel, seperti dipadukan dengan kaos atau pakaian formal.
Dalam arti sejatinya, kata “batik” adalah teknik menggambar pada kain dengan menggunakan malam. Awalnya, batik tumbuh dan berkembang hanya di Pulau Jawa, tetapi seiring berjalannya waktu, batik telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa batik bukan lagi simbol khas masyarakat Jawa saja.
Penggunaan jarik sehari-hari bahkan dapat ditemukan di kampus, di mana banyak mahasiswi mengenakan jarik untuk berkegiatan. Bahkan kakak saya sering mengenakan jarik karena alasan tertentu, seperti kehabisan celana panjang atau sekadar untuk tampil lebih stylish.
Dengan tulisan ini, saya berharap dapat mendokumentasikan pengalaman kami dalam kegiatan “Seluk Beluk Basa-Basi” dan juga menyampaikan pendapat saya, pandangan ibu saya, serta cerita teman-teman saya tentang betapa istimewanya seni batik dan bagaimana ia terus berkembang dalam budaya kita.[]
Siswi Kelas 10 SMA Eksperimental SALAM
Leave a Reply