Hari ini kelas 10 SMA Sanggar Anak Alam (SALAM) sekolah di pasar. Di pasar ngapain? Kami membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil, berpencar, lalu berusaha sebisa mungkin berbincang dengan orang-orang yang kami temui di pasar.
Kelas Literasi
Ide kegiatan ini bermula ketika minggu lalu, saya diskusi ringan bersama Azka, salah satu volentir fasilitator kelas 10. “Az, ada ide besok mau ngapain?” begitu tanya saya singkat untuk ide kegiatan literasi yang diagendakan tiap Kamis.
“Wawancara warga. Mewawancarai tentang kisah komunitas atau personal yang ada di SALAM, terus direkam tulis atau video. Baru deh nanti presentasi hasil wawancaranya,” sahut Azka.
Ide Azka boleh juga. Segera keesokan harinya, untuk mengisi ide kegiatan literasi, saya mengajak anak-anak untuk menyelami seluk beluk basa-basi. Saya memulai sesi dengan pertanyaan, “Adakah sesuatu di lingkungan sekitar Salam yang membuat teman-teman penasaran?” Hampir semua anak memiliki rasa penasaran. Mulai dari “Mengapa di Salam semua anak bisa bergaul dengan cair antar jenjang?” hingga “Siapa pemilik sawah di sekitar SALAM”.
Saya kemudian mengajak teman-teman kelas 10 untuk secara bergiliran membaca keras satu tulisan berjudul “Berbual-bual di Kedai Terang Bulan” dari kumpulan tulisan Nuran Wibisono di buku Selama Ada Sambal, Hidup Akan Baik-Baik Saja. Kami lalu memetakan, mana bagian-bagian tulisan yang merupakan hasil basa-basi penulis dengan pemilik kedai.
Di sesi berikutnya, anak berpencar untuk mencari satu orang untuk diajak berbasa-basi, syukur-syukur bisa untuk menjawab rasa penasarannya. Setelah sesi berakhir, kami berkumpul kembali untuk mengumpulkan data apa saja yang kami dapat.
Mahdan, salah satu siswa kelas 10 yang pendiam, memilih berbasa-basi dengan Pak Sea, orang tua murid Salam, yang sedang menunggu anaknya di warung soto Mbak Tin. Mahdan membuka dengan pertanyaan, “Lagi apa je, Pak?” lalu berakhir dengan data yang cukup banyak seputar sepatu lapangan yang sedang diburu Pak Sea secara online.
Juned, siswa kelas 10 yang jebolan pesantren, memilih berbasa-basi dengan adik kelas, Latu. Juned yang penasaran kenapa anak-anak Salam bisa berbaur lintas jenjang, mendapat sebuah filosofi hidup menarik. “Kita itu hidup harus berkoloni, Mas,” ujar Latu pada Juned.
Lekha, salah satu siswa kelas 10 yang tidak pernah kehabisan energi, bahkan berhasil membuat tulisan yang cukup panjang, hasil wawancara dadakan dengan Mbak Cici, salah satu volentir di kelas 4. Di tulisan Lekha, banyak informasi terkait motivasi Mbak Cici bergabung menjadi volentir.
Karena anak-anak tampak antusias dengan kegiatan berbasa-basi ini, saya mengajukan ide untuk menaikkan tantangan ke level berikutnya, yaitu berbasa-basi dengan orang yang tidak kita kenal. Pasar, menjadi sebuah tempat yang menarik untuk tantangan kali ini. Kami kemudian memilih dengan voting pasar mana yang akan kita kunjungi. Pilihan jatuh pada Pasar Beringharjo.
Begitulah cerita panjang tentang mengapa sekolah hari ini diboyong ke pasar. Lalu bagaimana cerita hasil perburuan basa-basi di pasar dari tiap kelompok? Saya belum tahu. Karena kendala waktu, kami gagal memungkasi kelas hari ini dengan berkumpul di titik kumpul yang disepakati. Saya hanya memberi tugas bagi tiap anak untuk menuliskan hasil jelajahnya, untuk nanti kami baca bersama di pertemuan berikutnya.
Tapi ijinkan saya bercerita hasil perburuan basa-basi saya bersama salah satu kelompok yang beranggotakan dua siswa kelas 10, Gabriel dan Cahya.
Kelola Sampah Hingga Resiliensi Pedagang Pasar
Pada kegiatan hari ini, saya memilih untuk tidak bergabung dengan salah satu kelompok karena saya sudah mengantongi daftar benda-benda apa yang akan saya buru di pasar tradisional terbesar di Jogja ini. Lerak dan lulur di lantai 1 sisi Timur, dan mungkin melihat-lihat klithikan di lantai 3. Itu agenda perburuan saya. Saya juga berencana mengawali agenda dengan membeli satu-dua tusuk sate kere di pintu masuk Selatan, dan memungkasi dengan berkunjung ke kedai teh Kawit Isuk di lantai 3.
Kedai ini baru saja buka sekira dua bulan lalu. Saya baru sekali berkunjung ke sana. Namun hanya dalam satu kunjungan saja, saya merasa sudah bak kawan lama dengan pengelolanya, Mas Pepeng. Maka, kedai ini jadi tujuan wajib di kunjungan pasar kali ini.
Setelah belanja ini-itu, saya langsung menuju Kawit Isuk. Ternyata di sana sudah ada Cahya, Gabriel, Azka, dan Pak FX (volentir fasilitator kelas 11). Mereka sedang berbincang seru dengan seorang bapak-bapak berkemeja batik. “Ini kabid pasar yang kuceritain kemarin,” bisik Mas Pepeng. Di pertemuan sebelumnya, Mas Pepeng bercerita jika kios ini ia akses berkat jaringan alumni SMA De Britto yang salah satunya bekerja sebagai pengelola Pasar Beringharjo. Saya pun nimbrung. Bapak Kabid, yang kemudian saya tahu bernama Pak Gunawan, sedang berkisah tentang pengelolaan sampah dari pasar rakyat terutama sejak TPS Piyungan ditutup.
Jogja memang sedang dilanda krisis sejak TPS Piyungan ditutup. Di beberapa daerah, masyarakat secara swadaya menggiatkan bank sampah. Kesadaran memilah sampah pun makin terkelola di skala rumah tangga. Tapi pasar? Saya tidak pernah membayangkan betapa sulitnya merubah budaya bersampah di skala komunitas sekompleks pasar tradisional.
“Banyak masyarakat yang masih sering numpang buang sampah di pasar, Mbak,” keluh Pak Gunawan. “Untuk pengelolaan sampah di pasar, kami juga sudah himbau agar dipilah. Dengan penutupan TPS, pengangkutan sampah jadi tidak bisa setiap hari. Itu sebabnya kami meminta para pedagang untuk membawa pulang sampah anorganik. Sementara sampah organik, sebisa mungkin kami kelola dengan biopori,” jelas Pak Gunawan panjang lebar.
“Sulit nggak, Pak, merubah budaya nyampah di pasar?”
“Sulit, Mbak. Kita juga nggak bisa to main denda dan sebagainya. Urusan sampah itu kan soal kesadaran,” lanjut Pak Gunawan. Salah satu regulasi baru yang coba diterapkan oleh pengelola kebersihan pasar adalah sampah akan diangkut jika terpilah.
Dari Pak Gunawan yang secara resmi menjabat sebagai Kepala Bidang Pasar Rakyat di Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta, saya jadi tahu bahwa Kota Jogja sendiri memiliki 29 pasar tradisional. Sementara tempat pembuangan sampahnya hanya tersentra di Pasar Giwangan.
Pak Gunawan lantas menunjukkan foto-foto saat ia studi banding ke beberapa tempat pengolahan sampah, salah satunya di Panggungharjo, Sewon, Bantul. “Di sana membuang sampah per kilonya dikenakan biaya Rp. 1.800,-. TPS-nya bersih dan tidak bau. Tapi jika semua sampah pasar ini kita buang ke sana, biaya yang kita butuhkan bisa mencapai 300 juta dalam tiga bulan, Mbak,” lanjut Pak Gunawan.
“Jika ada dana, kenapa tidak membuat tempat pengolahan sendiri, Pak?” usul saya yang sok-solutif ini.
“Untuk kota, kita terkendala tempat, Mbak.”
“Tapi kan Danais banyak tuh, Pak?” tanya saya lagi sok-analisis.
“Wah, susah itu, Mbak. Danais kan fokusnya ke kebudayaan ya. Misal tari-tari, gitu,” sahut Pak Gunawan.
Tapi pasar tradisional dan sampah itu kan sesungguh-sungguhnya cermin budaya sebuah masyarakat, bukan? Entahlah. Tapi saya sedang tidak ingin bersikap SJW di tengah perbincangan yang seru ini. Saya lantas bertanya, “Kalau untuk pengolahan sampah organik di pasar ini tadi, apakah bisa kita lihat, Pak?”
“Oh, bisa-bisa,” sontak Pak Gunawan meraih telepon genggamnya dan menghubungi salah satu bawahannya untuk minta diantar ke lokasi biopori.
Sembari menunggu staff teknis datang, saya bertanya keluar topik, yaitu tentang bagaimana para pedagang pasar tradisional bertahan dari gempuran persaingan global. Setdah.
“Di pasar ini ada 5000 pedangang, yang kemudian berkumpul dalam paguyuban-paguyuban sesuai lokasi atau jenis dagangan. Total ada dua puluhan paguyuban, Mbak, di Beringharjo ini,” jelas Pak Gunawan. Satu waktu, paguyuban tersebut pernah diundang untuk nguda-rasa tentang apa saja kendala yang dihadapi dan bagaimana bersama-sama menghadapi kendala tersebut.
Memang untuk urusan jam buka hingga kepraktisan dalam berbelanja, pasar tradisional tidak dapat bersaing dengan pasar modern bahkan marketplace. Namun, bagi Pak Gunawan, banyak aspek-aspek sosial yang tidak bisa ditemukan di pasar modern. “Kemarin ada salah satu pedagang sepuh yang sedha, kami melayat bersama-sama. Begitu juga saat anak saya lahir, mereka rame-rame tilik bayi. Nggak ada yang seperti itu kalau bukan pasar tradisional, Mbak,” kisah Pak Gunawan.
Saya pun mengamini hal itu. Itu sebabnya saya bawa kelas hari ini ke pasar. Agar remaja-remaja pamungkas generasi Z ini tahu bagaimana ‘hidup’ yang sebenar-benarnya.
Tak lama, Mas Bayu dan Mas Dayat, staff yang dihubungi Pak Gunawan, datang. Kami pun dipandu menuju lantai dasar untuk melihat instalasi biopori yang diinisiasi beberapa waktu lalu.
“Ini masih percontohan, Mbak. Nanti kakau efektif akan kita tambah lagi jumlahnya,” jelas Pak Gunawan saat saya, Cahya, dan Gabriel mengamati empat lubang biopori di bekas taman tersebut. Tiga dari empat lubang biopori tersebut digunakan dengan sistem rolling, sementara satu lubang khusus digunakan untuk membuang kulit bawang. “Ada kandungan dalam kulit bawang yang katanya bisa membunuh bakteri pengurai, Mbak, itu sebabnya kita pisah,” jelas Mas Bayu atau Mas Dayat, saya lupa.
Setelah puas mengamati biopori, kami kembali ke lantai 3. Dalam perjalanan kembali ke Kawit Isuk, Pak Gunawan menyapa banyak pedagang. Salah satu pedagang di lantai 2 lantas diperkenalkan pada saya. “Nah, ini salah satu pedagang pasar inspiratif, Mbak. Kemarin baru saja dapat penghargaan,” kata Pak Gunawan.
“Wah, dapet hadiah apa, Buk?” pancing saya.
“Jadi gini, Mbak. Dari 100 pedagang, diseleksi menjadi 50, saya lolos. Lalu diseleksi lagi jadi 15, saya lolos lagi,” ujar ibu itu. “Sekarang follower saya delapan ribu, itu saya nggak beli lho,” ujar ibu yang kemudian saya ketahui bernama Bu Tutik.
Bu Tutik adalah salah satu pedagang yang berhasil mengikuti perkembangan jaman. Awal mula berdagang, ia berfokus pada produk palawija. Pasca gempa jogja 2006, Bu Tutik mulai mengembangkan dagangannya menjadi produk kerajinan, mulai dari produk berbahan dasar anyaman, batik, hingga produk kulit. Menghadapi persaingan, Bu Tutik enggan diam. Ia juga merambah marketplace dan dengan bantuan putranya, mengelola sebuah kios digital di Shopee. “Berarti njenengan live Shopee juga, Bu?” goda saya.
“Iyaa, yang nunul-nunul anak saya, saya tinggal ngomong,” seloroh ibu 61 tahun itu.
Setelah bertanya tentang akun Instagram dan mengetuk tombol ‘ikuti’, saya lantas berpamitan. Tur pasar oleh Pak Gunawan kembali berlanjut ke parkir lantai 3. “Untuk sementara, sampah kami tampung di truk-truk ini, Mbak. Sampai akhirnya nanti bisa dibuang ke Piyungan tiap tiga hari.”
Saya sempat berbincang dengan salah satu driver truk sampah. “Susah diatur, Mbak. Ini banyak warga yang numpang buang sampah,” keluh bapak yang lupa saya catat namanya. “Pilah sampahnya juga sudah nggak tertib,” lanjutnya.
Cuaca siang ini panas sekali. Perut saya juga belum terisi dengan layak sejak pagi. Saya ingin segera kembali ke Kawit Isuk untuk memesan tongseng ayam buatan Mas Pepeng. Sedikit berlari kecil, saya bergegas kembali ke Kawit Isuk. Ternyata rombongan SMA Salam sudah banyak yang berkumpul di sana. Pak Gunawan kembali melanjutkan obrolan seputar resiliensi para pedangang.
“Ini, Mbak, saya baru saja chat dengan salah satu pedagang,” ujar Pak Gunawan sembari menyorongkan telepon genggamnya ke hadapan saya. Dalam obrolan tersebut, Pak Gunawan bertanya pada salah satu pedagang pasar yang mengembangkan usaha di marketplace Tokopedia.
Mbak Novi, pedagang di Pasar Beringharjo yang pada mulanya berdagang kentang itu, berkisah transisi pasarnya telah membuahkan hasil. “Penjualan di Tokopedia sudah mencapai 16 juta, Pak. Dengan 388 varian produk,” ketik Mbak Novi. “Targetnya bisa mencapai 500 varian.” Membaca chat tersebut semilir angin meniup hati saya di tengah teriknya panas hari ini.
Hari ini, meskipun awalnya hanya berperan sebagai fasilitator yang ingin memantik keberanian para remaja membangun komunikasi lewat basa-basi, saya turut belajar banyak hal. Bertahun silam, saya pernah mendengar WS Rendra berbicara, “Bangsa kita itu adaptif. Kedelai saja bisa jadi tempe, tahu, kecap, bahkan limbahnya masih bisa jadi tempe gembus.” Analisis tersebut menancap di benak saya. Meskipun tidak optimis, tapi saya yakin kemampuan beradaptasi tersebut membangun sebuah resiliensi yang unik dalam segala urusan. Baik soal urusan sampah hingga soal persaingan global. Baik diasuh, setengah diasuh, ataupun diabaikan oleh para pemangku kebijakan. Resiliensi wong cilik itu nyata.[]

Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply