“Orang tua yang baik adalah ia yang menjaga kesehatannya, sehingga mampu hidup dalam keadaan sehat untuk waktu yang lama dan bisa menemani anaknya hingga dewasa, bukan mengorbankan diri dan menahan rasa sakit demi berhemat untuk anaknya” -Yoon Hyejin, (Hometown Cha-Cha-Cha)-
Maafkan jika saya membuka refleksi ini dengan kutipan dari drama Korea. Maklum, dialog-dialognya pas di hati, kalau aktornya pas di mimpi. Dialog di atas diucapkan oleh karakter utama dalam drama tersebut, Yoon Hyejin, seorang dokter gigi yang membuka praktik di pesisir pantai, ketika ada seorang pasien lanjut usia dengan kasus gawat yang menolak dirawat karena berhemat demi anaknya yang berada di luar negeri. Hyejin sendiri kehilangan ibunya sejak kecil lantaran ibunya sakit dan memilih berhemat daripada berobat.
Sebagai orang tua, saya paham ada saatnya kita harus memilih antara kebutuhan anak atau kebutuhan kita sendiri. Ada saat-saat di mana kita sebagai orang tua merasa lebih mampu menanggung kesakitan, menahan keinginan dan merelakan kepentingan pribadi asal urusan anak lancar.
Ada yang tadinya harus mandi dua kali sehari, kini merasa cukup dengan hanya mandi sekali sehari, asalkan anak tetap wangi dan bersih. Anggaran membeli minuman kesukaan, dengan ikhlas dipangkas demi berhemat sebab pengeluaran untuk anak makin membengkak. Ada juga yang merasa cukup menjadikan bebersih rumah tanpa gangguan sebagai ‘me time‘.
Pada situasi tertentu, orang tua sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab atas anak memang harus melakukannya. Namun kadang, pilihan sikap itu berubah menjadi kebiasaan. Kita tak lagi menempatkan urusan-urusan kita dalam skala prioritas. Urusan kita menjadi nomor sewidak rolas.
Padahal, urusan kita sama pentingnya dengan urusan anak, sama pentingnya dengan urusan pasangan. Sebagai sebuah keluarga, kita, anak dan pasangan berada dalam satu garis yang sejajar, sama tingginya. Kepentingan setiap anggota adalah prioritas dalam keluarga. Dalam hal ini, orang tua harus belajar untuk mulai memprioritaskan kepentingan-kepentingannya sendiri. Jika tak punya kepentingan, maka orang tua harus belajar untuk mulai punya kepentingan sendiri.
“Sebelum menjadi Ibu, masing-masing dari kita adalah individu. Setelah menjadi Ibu, kita pun tetap seorang individu. Kita tetaplah kita, meskipun kita menjadi seorang Ibu”. Begitu kata Indraswari, seorang sarjana psikologi dalam sebuah sesi workshop daring. Dengan menyadari bahwa kita tetaplah seorang individu yang utuh, terlepas peran apapun yang sedang kita jalani, kita bisa belajar untuk punya kepentingan sendiri. Apa sih yang ingin kupelajari untuk diriku sendiri? Apa sih yang ingin kucapai demi diriku sendiri?
Bahkan jika mendalami tugas-tugas rumah tangga adalah sesuatu yang dianggap penting bagimu, maka dengan melakukannya secara sungguh-sungguh itu berarti memprioritaskan kepentingan dirimu. Lihat saja betapa besar nama Devina Hermawan dan Marie Kondo karena menguasai tugas-tugas domestik. Karena sesungguhnya, kata seorang kawan saya melalui pesan text: kita adalah tokoh utama dalam hidup kita, terlepas apapun perannya. Jika kalimat itu saya dengar langsung, maka saya mungkin akan melakukan standing ovation selama beberapa menit.
Benar bahwa selaku orang tua, kita sedang mengasuh generasi dari masa depan, generasi yang perlu kita persiapkan dengan sebaik-baiknya agar siap menghadapi dunia yang barangkali akan sangat berbeda dari dunia yang kita kenal hari ini. Namun kita sering lupa bahwa selain mengasuh anak, kita juga punya kewajiban mengasuh diri sendiri. Kita juga punya kewajiban menjaga diri kita sendiri.
Alih-alih merasai diri sebagai generasi usang, kita justru bagian dari lingkungan tempat bertumbuh generasi masa depan. Masa depan selalu dimulai dari hari ini. Dan untuk menjadi lingkungan yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak hari ini dan nanti, orang tua harus terus menyediakan ruang dan waktu bagi dirinya agar bisa bertumbuh, alih-alih mengorbankan diri sendiri. Sebab, hanya orang tua yang bertumbuh-lah yang mampu mendampingi anak bertumbuh dengan baik.
Orang tua yang meyakini bahwa kesehatan diri dimulai dari makanan yang masuk ke mulut akan mengajak anak mencermati jenis makanan apa saja yang ia makan. Orang tua yang meyakini anak adalah pembelajar mandiri, akan segan mendikte dan membatasi daya penjelajahan anak. Keyakinan-keyakinan demikian didapat dari hasil belajar. Dan semua itu dimulai dengan berani memberikan prioritas bagi diri sendiri.
Ketika anak masih balita, saya mengalokasikan semua waktu saya untuk anak. Saya kira hampir semua Ibu secara insting akan bersikap demikian. Sikap itu lama kelamaan menjadi kebiasaan hingga anak beranjak besar. Tunggu nanti, pikir saya waktu itu. Semakin anak beranjak besar, saya terus menunggu waktu yang tepat untuk kembali memprioritaskan diri sendiri. Sayangnya, waktu yang tepat itu tidak pernah ada.
Pertumbuhan anak tidak pernah berjalan mundur, ia selalu berjalan maju. Sebagai orang tua, kita tidak akan pernah punya waktu memalingkan wajah darinya. Ketika anak masih bayi, kita harus belajar tentang laktasi. Ketika balita, kita harus belajar tentang MPASI, berat badan anak yang ideal, toilet training, dan menghadapi anak tantrum. Ketika usia pra sekolah, kita harus belajar tentang motorik halus dan keterampilan-keterampilan yang harus anak kuasai. Ketika usia sekolah, kita belajar lagi tentang konflik antar teman dan perkembangan emosi anak yang naik turun. Belum lagi isu kesehatan reproduksi, kemandirian, kisah-kisah cinta monyet dan seterusnya.
Dengan tuntutan mendampingi anak dan perkembangannya yang kompleks, jika kita tidak memberi prioritas bagi diri sendiri, hal itu akan jadi bumerang. Bukan hanya anak yang tak mendapat pendampingan maksimal, kita juga bisa jadi kehilangan diri sendiri. Ketika anak sudah dewasa dan mandiri, kita mungkin akan kebingungan karena kehilangan satu-satunya kesibukan utama kita selama ini.
Maka orang tua, berhentilah merasa bersalah jika hendak memprioritaskan diri sendiri. Pergi sendiri tanpa anak itu bukan kesalahan. Jalan-jalan berdua dengan pasangan juga bukan hal yang memalukan. Kita juga manusia yang butuh diasah dan diasuh. Kepengasuhan membutuhkan waktu seumur hidup. Selama itu, yang bertambah usia bukan hanya anak, melainkan kita juga. Jangan sampai yang bertumbuh hanya anak saja, kita hanya jalan di tempat. Selain mengabaikan hak diri sendiri, dengan selalu mengesampingkan prioritas diri, kita juga akan menjadi orang tua yang tak lagi relevan dengan kebutuhan perkembangan anak. Karena kebutuhan anak balita pasti berbeda jauh dengan kebutuhan anak remaja.
Kepengasuhan adalah tumbuh bersama, bukan menumbuhkan yang lain saja. Dan itu menjadi tugas seluruh anggota keluarga. Sebelum mengharapkan anak bertumbuh dengan baik, kita juga perlu menyiapkan diri untuk bertumbuh dengan baik. Dan, pertumbuhan itu hanya bisa dilakukan dengan sengaja. Sengaja meluangkan waktu dan sengaja ingin belajar. []
Orang Tua SALAM
Leave a Reply