Taman Budaya Yogyakarta menjadi saksi dari acara yang ditunggu-tunggu, yaitu konser tahunan Serenade Bunga Bangsa. Konser ini tidak hanya menghadirkan para musisi orkestra Yogyakarta, tetapi juga menjadi perwujudan nyata dari keistimewaan kota ini. Melalui harmoni musik yang indah, konser ini mengingatkan kita akan sejarah dan budaya yang membentuk identitas Jogjakarta.
Menghadapi rekaman konser sebelumnya, saya teringat sebuah percakapan dengan putra seorang guru yang kebetulan adalah salah satu pemain dalam orkestra tersebut. Saya bertanya padanya mengenai arah musik serius ini—apakah hanya untuk hiburan atau juga sebagai bagian dari industri? Bram, pemain cello yang namanya dikenang, menjawab dengan bijak bahwa aktivitas musik saat ini mengarahkan upaya mereka untuk menggambarkan situasi masa lalu melalui musik. Salah satu contohnya adalah lagu berjudul “Jogjakarta Kembali,” yang terdengar dalam rekaman konser, mampu memberikan pencerahan mengenai tujuan musik ini (demikian juga dengan lagu-lagu lain dalam konser Serenade Bunga Bangsa).
Seperti alam bawah sadar yang membawa kita pada suasana tertentu, konser ini membawa kita pada masa agresi militer Belanda tahun 1947-1949. Suasana perjuangan tentara rakyat melawan penjajah, dengan segala keterbatasan peralatan, tercermin dalam harmoni lagu-lagu. Musik orkestra yang memadukan pesan-pesan dari tchaikowsky dan Mozart menciptakan orkestra dengan gaya Yogyakarta: ada kegelapan, jeritan pilu, semangat berkobar, alunan doa, dan rasa syukur. Seperti melihat lukisan karya angkatan 45, kita dibawa ke dunia misterius yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Karya luar biasa ini mengingatkan kita bahwa batas antara musik tradisional dan modern sebenarnya tidak ada. Musik tradisional pada zamannya juga dianggap modern. Konsep “warga pendatang” dan “warga asli” juga hilang di sini, karena mereka dari berbagai daerah berkontribusi membentuk corak budaya Jogjakarta. Kemampuan budaya Jogja dalam menggabungkan berbagai pengaruh ini sulit dibayangkan akan ada di tempat lain. Sejarah Jogja sebagai pusat peradaban di lembah sungai Progo hingga Prambanan, di mana Hindu berkembang menjadi peradaban Nusantara yang maju, memberikan pondasi yang kuat bagi kebudayaan Jogja.
Melalui karya musik ini, keyakinan muncul bahwa Jogja akan terus menyerap inspirasi dari luar dan mengembangkannya menjadi versi yang unik. Itulah esensi kebudayaan: pesan yang ingin disampaikan oleh Konser Serenade Bunga Bangsa. Dalam kontras dengan konser di Bandung, di mana industri musik hidup secara intens, konser ini tetap murni dan tidak terpengaruh oleh industri. Hal ini tercermin dalam harga tiket yang terjangkau dan bahkan dapat diperoleh dengan cuma-cuma.
Saya merasa beruntung tinggal di Jogja dan merasakan energi kreatifitasnya. Sebagai kota metropolitan, Jogja mampu menggabungkan kontribusi dari pendatang dan menghasilkan yang terbaik, bukan hanya untuk kota ini tapi juga untuk Nusantara dan peradaban manusia secara keseluruhan. Kadang-kadang, upaya ini tidak dihargai secara finansial, mengingat beberapa musisi serius masih bergantung pada dukungan pemerintah.
Paradoks muncul dalam ungkapan “Jogja Ora Didol,” yang menyoroti bagaimana sektor pendidikan dan pariwisata yang komersial juga mempengaruhi identitas kota. Namun, dengan menggabungkan segala bentuk karya budaya dan intelektual dalam kerangka keistimewaan Jogja, semangat kelahiran NKRI dapat dilestarikan. Dengan begitu, Jogja akan terus memberi warna pada Nusantara dan kemanusiaan yang senantiasa berkembang. []
Dosen Kehutanan UGM
Leave a Reply