Maksud kunjungan saya ke Sanggar Anak Alam) SALAM adalah untuk mencari ruang belajar yang secara serius berpraktek untuk menolak kata dan peran guru. Selama ini, tempat-tempat lain sudah mulai untuk mengganti kata ‘guru’ dengan ‘fasilitator’, namun pada prakteknya, terasa sebagai kata kosong belaka. Dalam kunjungan tersebut, saya diperbolehkan ikut mengobservasi sesi refleksi para relawan. Disitu saya melihat ruang yang sarat akan semangat untuk mengkritisi kata dan makna dari ‘guru’ tersebut, yang terlihat dari relasi kuasa dari para aktor yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Meja Guru dan Kursi Fasilitator
Di sekolah saya dulu, sesi kelas selalu dikepalai oleh guru yang menentukan topik, metode, serta evaluasi pelajaran. Dari tata letak meja pun tersirat bagaimana relasi kuasa di sebuah kelas dirancang. Ada satu meja sendiri yang ditaruh di depan kelas, lalu meja-meja para murid disusun secara lurus dari depan ke belakang. Bahkan, garis ubin yang ada menjadi patokan agar barisan meja-meja itu selurus mungkin. Design kelas ini buat saya menggambarkan hubungan antara guru dan murid yang dianggap ideal di ruang belajar tersebut. Hal ini juga tercermin dari proses belajar yang ada: guru memberi pengetahuan, murid sebaiknya belajar secara disiplin untuk dapat menyerap pengatahuan yang diberikan oleh guru tersebut.
Di sesi sharing antara relawan yang sedang berproses mendampingi anak-anak di SALAM dengan fasilitator sesi kemarin, saya melihat hubungan yang berbeda antara orang-orang yang belajar dengan mereka yang membantu menjadi teman dialog. Jika memakai bahasa yang digunakan di sekolah saya, yang pertama biasanya disebut ‘murid’ dan yang kedua disebut ‘guru’. Namun dari letak duduknya saja, terlihat hubungan diantara dua kelompok ini jauh berbeda, apalagi dari cara berkomunikasinya.
Pada awalnya, semuanya dengan bebas duduk dimana saja, sambil bercengkrama layaknya teman. Setelah relawan-relawan lain datang, karena memang kursinya terbatas, para relawan mulai duduk di lantai, relawan-relawan lain yang akhirnya duduk di kursi pun akhirnya mengikuti (termasuk saya) hingga hanya tersisa para fasilitator yang tetap duduk di kursi. Di benak saya, ini terjadi karena old habits die hard (bahwa kita merasa tidak pantas duduk di ketinggian yang sama dengan para fasilitator yang sudah berpengalaman), atau karena usaha untuk bersetara dengan para relawan lain. Mungkin Pak Toto, Bu Wahya, dan Pak Gemak bertanya-tanya, “kenapa mereka-mereka ini senang sekali duduk di bawah meski masih banyak kursi yang kosong?”
Namun saat sesi mulai berjalan, posisi tersebut seakan tidak bermakna. Para relawan menyampaikan pengalaman dan refleksinya seperti sedang curhat, bukannya seperti audisi untuk mendapatkan nilai yang bagus di depan guru, seperti di sekolah saya dulu. Para fasilitator pun mendengarkan dan mencatat pemikiran para relawan bukan untuk seakan menjadi juri, namun sebagai gestur bahwa mereka serius mendengar dan berpikir bersama. Alih-alih memberi jawaban atau nasehat layaknya menuang ilmu seperti ‘guru’, para fasilitator mengajak para relawan untuk ikut mengkritisi pengalaman mereka sendiri dengan cara memberikan pandangan kritis mereka terhadap cerita-cerita tersebut.
Sebagai observer, wujud dari proses belajar para relawan ini sungguh berbeda dari proses belajar yang dulu ada di sekolah saya, yang saya yakin masih menjadi proses belajar di banyak sekolah di Indonesia. []
Relawan SALAM
Leave a Reply