Pembelajaran saat ini sering kali dipandang sebagai upaya untuk menjadikan seseorang serba bisa, memiliki kemampuan untuk mengatasi segala permasalahan hidup yang kompleks. Namun, realitasnya, tidak ada yang benar-benar serba bisa atau memiliki kecerdasan serba guna. Frasa “Jack of all trades” mungkin hanya ada dalam buku dongeng.
Kendala muncul ketika kurangnya latihan dalam berbagi dan bertukar pengetahuan. Kesulitan terbesar muncul ketika seseorang harus melihat orang lain memiliki kecerdasan yang lebih tinggi. Beberapa guru bahkan mungkin merasa tidak nyaman jika muridnya melebihi kecerdasannya. Inilah salah satu akar permasalahan di dunia pendidikan.
Sejak usia dini, anak-anak seharusnya dihadapkan pada tantangan untuk membuat teman mereka lebih cerdas. Pertanyaan yang diajukan mungkin seharusnya lebih sering, “Berani tidak kamu membantu temanmu menjadi lebih pintar daripada kamu?” Namun, budaya saat ini masih enggan melihat kemajuan orang lain. Lebih suka melihat orang lain bergantung pada diri kita, bentuk subtil dari permainan kekuasaan.
Banyak yang takut untuk berbagi pengetahuan karena mengaitkannya dengan sumber penghidupan mereka. Keyakinan bahwa berbagi pengetahuan akan membuat seseorang miskin atau bisnis merugi masih merajalela. Padahal, rejeki memiliki jalannya sendiri sejak awal.
Motto “Knowledge is power” memang benar adanya, tetapi sekarang ini pengetahuan sering dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan dalam relasi sosial. Pemikiran kompetisi kekuasaan masih melekat seperti pada institusi abad pertengahan. Diperlukan pergeseran paradigma menuju kecerdasan kolaboratif, di mana berbagi pengetahuan dan mendukung kemajuan bersama menjadi nilai utama. Dengan demikian, kita dapat melangkah ke era di mana kekuatan bukan hanya dimiliki oleh segelintir individu, tetapi tersebar merata dalam keberagaman pengetahuan yang kita miliki.
Karena Kecerdasan manusia ternyata memiliki jumlah yang sangat beragam, dengan puluhan bahkan mungkin ratusan jenis kecerdasan yang dapat dimiliki oleh setiap individu. Contohnya, dapat kita temukan kecerdasan dalam setiap tindakan sehari-hari, mulai dari kecerdasan belanja, membuat minuman kopi, hingga meramu bumbu untuk memasak makanan. Bahkan kecerdasan dalam menaiki sepeda atau mengendarai kendaraan juga dapat beragam, ada yang memiliki tingkat keahlian “jagoan,” sementara yang lain mungkin hanya memiliki tingkat ketrampilan standar.
Kecerdasan juga dapat ditemukan dalam aktivitas seperti membaca tanda, isyarat, atau bahkan tanda-tanda alam. Dalam bercocok tanam, terdapat kecerdasan yang menunjukkan perbedaan antara kegagalan berulang dan kesuksesan yang konsisten. Kecerdasan juga dapat ditemui dalam hal-hal yang lebih seni, seperti menulis halus, membuat kaligrafi cantik, memainkan alat musik, menari, atau bahkan dalam keterampilan membuat baju, mainan (toys), menggambar, melukis, membuat lagu, dan menyanyi.
Yang menarik, kecerdasan bukanlah milik manusia saja. Contohnya, amoeba yang tidak memiliki otak pun memiliki kecerdasan untuk mencari dan memperoleh makanannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan dapat hadir dalam berbagai bentuk kehidupan.
Melihat keragaman kecerdasan ini, muncul konsep kecerdasan kolektif. Jika ratusan kecerdasan dapat ditemukan pada setiap individu, bayangkan seberapa banyak kecerdasan yang dapat terwujud ketika ribuan orang bergabung menjadi sebuah kolektif. Kecerdasan kolektif membawa potensi luar biasa, karena masing-masing individu membawa kontribusi uniknya, menciptakan suatu entitas yang jauh lebih pintar dan inovatif daripada yang dapat dicapai secara individu.
Dengan mengakui dan menghargai beragam jenis kecerdasan ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih dinamis dan kreatif. Kolaborasi antarindividu dengan kecerdasan yang berbeda dapat menjadi kunci untuk menghadapi tantangan kompleks dan mencapai pencapaian luar biasa. Dengan demikian, kecerdasan kolektif menjadi landasan untuk kemajuan dan inovasi dalam masyarakat yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat. []

pembelajar, pejalan sunyi
Leave a Reply