Blog

Para Penenun Jiwa

Sabtu, 18 November 2017 yang lalu saya mengikuti lokakarya tenun di dusun Pelangi Desa, Sumberarum, Moyudan. Lokakarya itu diselenggarakan oleh para pengrajin tenun yang sehari-harinya memproduksi kain stagen. Kain stagen buatan desa ini bisa dibilang istimewa karena sudah mengembangkan produknya dalam berbagai motif dan warna. Bahkan mereka juga membuat tenun stagen motif dengan pewarna alam.

Benang Tenun Warna Alami

Bukan kebetulan saya mendapatkan informasi tentang lokakarya ini. Sekar Hikari, salah satu siswa SMA SALAM yang saya fasilitasi, kebetulan sedang meriset tentang tenun pewarna alam. Jelajah informasi Sekar dari berbagai sumber mempertemukannya dengan mbak Harsiah, salah satu koordinator pengrajin di Sejati Desa. Maka ketika Sekar memutuskan untuk mengikuti lokakarya angkatan kedua ini, saya pun klayu.

Lokakarya yang berlangsung dari pukul 10.00 hingga 15.00 WIB ini berlangsung lancar. Ketujuh peserta mendapat kesempatan untuk mencoba langsung tahap-tahap yang harus dilalui dalam menenun. Mulai dari menggulung benang pakan dengan jontro, menghitung dan menggulung benang lusen, hingga mencoba menenun. Kami juga diberi kesempatan untuk menjahit sendiri produk dari tenun stagen untuk dibawa pulang sebagai kenang-kenangan.

Mereka jauh lebih muda dan jauh lebih tua, dari saya. namun belajar tidak perlu memandang usia. Dengan orang-orang seperti inilah kita seharusnya banyak belajar. Saya tidak tahu, dan tidak ingin tahu, seberapa besar kesuksesan finansial yang mereka dapat dari apa yang mereka kerjakan. Tapi mereka adalah manusia-manusia pembelajar yang tak kenal lelah. Bekerja dan berkarya untuk memenuhi panggilan jiwa.

Manusia-Manusia

Namun bagi saya, hal yang paling menarik dari lokakarya tempo hari adalah orang-orang yang saya temui. Dalam lokakarya tersebut, saya bertemu dengan teman-teman muda dari jurusan Sosiatri, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada. Tyo, Fitri dan Anita (kalau saya tidak salah ingat nama). Ketika sesi perkenalan, mereka mendefinisikan diri mereka sebagai ‘fasilitator’ yang selama dua tahun terakhir intensif berdinamika bersama penenun setempat, mencari ide tentang bagaimana memberi nilai lebih pada produk stagen.

ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin)

Saya banyak berbincang dengan mbak Fitri. Menurut penjelasannya, ia pertama kali bersentuhan dengan dusun ini ketika KKN. Melihat tenun stagen dihargai sangat murah oleh tengkulak, Fitri dan teman-temannya berpikir untuk mengajak para penenun mengembangkan produk. Namun rupanya mengajak para penenun untuk mencoba hal baru tidaklah mudah, meski Fitri dan teman-teman telah mengadakan berbagai pelatihan dengan berbagai narasumber.

Pada mulanya, hanya 5 penenun yang mau mencoba bereksperimen membuat stagen motif dengan berbagai warna. Itupun disertai keragu-raguan besar ketika memproduksinya. “Bagus, sih. Tapi apa laku kalau biayanya mahal begini?” Kurang lebih begitu isi keraguan para penenun. Namun teman-teman dari UGM ini sangat yakin produk ini bisa dijual. Terbukti dari pameran dagang yang mereka ikutipertama kali di Jakarta berhasil menjual tanpa sisa kain stagen motif. Sejak itu perlahan para penenun lain tak enggan untuk ikut berinovasi.

Dua tahun bukan waktu yang singkat. Moyudan juga tidak bisa dibilang dekat. Menempuh jarak kampus-Moyudan sebagai rute wira-wiri tentu melelahkan jika tidak diiringi niat kuat. Ketika saya bertanya apakah ini bagian dari kewajiban perkuliahan, Fitri mengatakan: tidak. Laku fasilitasi yang dijalaninya bersama teman-teman adalah murni kehendak sendiri untuk menerapkan ilmu yang mereka peroleh seputar pemberdayaan masyarakat. Muda, peduli dan penuh semangat. Itulah yang akan saya masukkan dalam folder ingatan untuk kawan-kawan muda ini.

Lain fasilitator, lain lagi peserta. Dari ketujuh peserta, ada satu peserta yang unik. Bapak-bapak, mungkin usianya sudah memasuki kepala 5. Pak Sigit, namanya. Sebelum sampai lokasi, saya sudah bertemu Pak Sigit di penghujung desa. Kami sama-sama tersesat oleh petunjuk GPS yang sama. “Woh, sudah tua masih ikut lokakarya! Selo tenan!” gumam saya ketika mengesani Pak Sigit kali pertama. Suami saya berkelakar, “Ya kayak kamu besok.”

Saat sesi perkenalan, dunia menyempit jadi selebar daun kelor. Ternyata Pak Sigit adalah kakak seorang kawan yang juga saya kenal dari lokakarya lain, beberapa waktu silam. Rumahnya pun hanya selemparan batu dari rumah saya. Saya sempat berpikir geli, mungkin beginilah kelak saya menua. Teman terus bertambah dari satu lokakarya ke lokakarya lain. Haha..

Tapi bukan. Bukan itu yang menarik. Yang menarik dari Pak Sigit adalah motivasinya mengikuti lokakarya tenun ini. Saat peserta lain termotivasi karena ingin mengenal tenun, Pak Sigit secara jujur menjelaskan bahwa motivasinya mengikuti lokakarya ini adalah untuk mengamati cara kerja Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Hasil pengamatannya akan ia pergunakan untuk membuat mesin tenun yang lebih praktis. Pak Sigit juga sedikit bercerita tentang beberapa mesin yang pernah ia buat sebelumnya. Mesin pemotongan ayam dan mesin bordir/ quilt adalah dua di antaranya. Semakin rumit cara kerja sebuah mesin, ia akan semakin bersemangat untuk membuatnya.

“ Bapak dulu sekolah teknik, ya?” tanya saya sambil lalu. Beberapa kawan sekolah yang berkuliah di akademi teknik memang seringkali saya temui sangat inovatif seperti pak Sigit.

“Nah, itu mbak. Sayangnya bukan. Saya ini orang salah jurusan. Saya dulu kuliah IKIP, jurusan olahraga. Saya pernah 6 tahun jadi guru olahraga dan sudah berstatus pegawai negeri. Tapi saya memutuskan berhenti untuk mengikuti panggilan jiwa. Membuat mesin, itulah passion saya,” jawabnya ringan sambil mengusap-usap kaca kacamatanya dengan kaus.

Saya tidak tahu bagaimana dengan yang lain. Tapi bagi saya, bertemu dengan orang-orang seperti kawan-kawan muda UGM dan pak Sigit selalu bisa membunyikan bunyi ‘klik’ pada radar saya. Seberapa banyak dari kita, coba, yang masih bertanya-tanya: siapa sesungguhnya kita, apa yang ingin kita capai dalam hidup, apa yang orang lain pikirkan tentang kita? Mereka mungkin pernah bertanya tentang hal serupa. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu tak terlalu mereka gubris dan tetap bergerak maju. Bahasa Inggrisnya, moving forward.

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)

Mereka jauh lebih muda dan jauh lebih tua, dari saya. namun belajar tidak perlu memandang usia. Dengan orang-orang seperti inilah kita seharusnya banyak belajar. Saya tidak tahu, dan tidak ingin tahu, seberapa besar kesuksesan finansial yang mereka dapat dari apa yang mereka kerjakan. Tapi mereka adalah manusia-manusia pembelajar yang tak kenal lelah. Bekerja dan berkarya untuk memenuhi panggilan jiwa.

Seperti itulah hendaknya kelak anak-anak kita menjadi. Bukan pejabat yang penjahat, atau penemu yang ragu.Namun untuk menjadi apapun dalam kedirian sendiri yang penuh dan utuh, laksana penyintas dari hidup yang sekedar fana dan singkat belaka ini. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *