Blog

Valentino Immanuel Pratama Memenuhi Panggilan Jiwa

Semester ini menjadi masa transisi yang paling radikal bagi Valentino Immanuel Pratama. Bukan hanya sebagai perjalanan akademik, tetapi juga sebagai penanda arah hidup yang perlahan ia temukan. Sementara dua kawannya—Banyu dan Mahdan—sibuk mencari komposisi yang pas atau memikirkan kekurangan teknis dalam riset mereka, Valent, remaja asal Jakarta yang kini akrab dengan ritme hidup di Yogyakarta, justru terlibat dalam pergulatan yang lebih senyap namun mendalam: merumuskan bekal hidup dari Sekolah Komunitas SALAM dan menjawab panggilan yang sejak lama bergetar di dalam dirinya.

Risetnya semester ini bukan tentang objek atau fenomena luar, melainkan tentang dirinya sendiri sebagai bagian dari komunitas. Ia menelusuri kembali jejak dua tahun perjalanannya di Sanggar Anak Alam—rekaman peristiwa, momen belajar, dan ketidakpastian yang silih berganti—lalu menatanya menjadi refleksi. Teks-teks itu hidup kembali dalam sebuah blog berjudul “Dimulai dari Sukrosono,” yang baginya menjadi semacam peta pulang sekaligus alat baca atas proses transisinya.

Di sana, ia menulis tentang “teknologi baru” yang ia temukan di SALAM. Bukan gawai, bukan perangkat digital, melainkan cara pandang: sekolah tanpa aturan baku, ruang belajar yang menerima kegagalan sebagaimana menerima pertumbuhan, serta keyakinan bahwa kebebasan dan tanggung jawab dapat berjalan berdampingan. Semua ini, dalam catatan etnografis Valent, hadir bukan sebagai konsep, tetapi sebagai pengalaman sehari-hari—kadang membingungkan, sering kali membebaskan, dan perlahan membentuk dirinya.

Aturan tetap ada, tetapi aturan itu lahir dari kesepakatan bersama—dan di situlah letak khasnya berkomunitas,” ujarnya suatu sore, ketika kami berbincang tentang proses belajarnya di SALAM. Kesepakatan semacam itu, lanjutnya, bukan sekadar daftar yang ditempel di dinding kelas. Ia menjadi cermin komitmen: seberapa jauh seseorang sanggup menjaga janji yang ia buat sendiri bersama orang lain. Dalam kerangka komunitas, komitmen itulah yang diuji setiap hari—di ruang belajar, di pekerjaan kelompok, bahkan dalam hal-hal kecil yang sering tak disadari tetapi perlahan membentuk watak kebersamaan.

Valent juga merefleksikan ulang konsep “riset” yang menjadi fondasi metodologi pembelajaran di SALAM. Baginya, riset bukan sekadar cara menemukan minat atau menentukan topik, tetapi latihan membentuk disiplin mental. Tantangan terbesar dalam proses itu, tulisnya, adalah inkonsistensi—sebuah hambatan sunyi yang kerap muncul dan menjadi penghalang utama dalam mencapai target. Dari sinilah ia belajar bahwa riset pada dasarnya memaksanya “mengurusi diri sendiri” agar tetap bergerak, tetap produktif, tetap jujur pada apa yang ingin ia capai.

Blog yang ia kelola menjadi semacam arsip hidup, saksi bisu dari transformasinya selama dua tahun lebih berproses di SALAM. Ia menyinggung masa ketika rasa percaya dirinya sempat runtuh, terutama saat mengikuti kegiatan belajar di luar komunitas. Namun, memasuki kelas 10, perlahan ia berhasil menguburnya. Ia belajar menempatkan diri dalam dinamika komunitas; bahkan suatu saat ia memegang peran sebagai MC dalam sebuah acara—pengalaman yang dulu tampak mustahil baginya.

Memasuki kelas 11, pergerakannya semakin terasa. Ia mulai berkarya bersama teman-teman: membuka kelas bola, mengambil peran sebagai pengasuh sekaligus manajer. Kegiatan tersebut tidak hanya menambah keterampilannya, tetapi juga mempertebal rasa percaya bahwa keberadaannya memiliki arti, bahwa kontribusinya—betapapun kecilnya—mempunyai tempat dalam komunitas yang ia rawat dan yang merawatnya kembali.

Sekarang aku percaya diri banget,” ujar Valent sambil tertawa—tawa yang segera disambut riuh oleh seluruh audiens, seolah mengafirmasi perubahan yang mereka saksikan sendiri selama ini.

Bagi Valent, tulisan-tulisan di blognya bukan sekadar catatan harian. Ia menyebutnya sebagai cara untuk menghayati setiap peristiwa yang ia alami, lalu menyusunnya menjadi rangkaian narasi pertumbuhan. Melalui penulisan itu, ia belajar membaca dirinya sendiri: apa yang berubah, apa yang tertinggal, dan apa yang kini mulai menemukan bentuknya.

Jalan Sunyi Seorang “Romo Skena”

Perenungan panjang dan pencarian jati diri yang dijalani Valent akhirnya mengerucut pada sebuah keputusan besar—keputusan yang diam-diam ia siapkan selama masa transisinya: menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi sebagian orang seusianya, pilihan ini mungkin terasa terlalu dini, tetapi bagi Valent, jalan itu justru tampak paling terang. Ia memilih menempuh hidup sebagai romo, sebuah panggilan yang ia sambut dengan tenang dan penuh kesadaran.

Rencananya, ia akan bergabung dengan komunitas Imam Hati Kudus Yesus (SCY). Palembang menjadi tujuan berikutnya—tempat seminari komunitas itu berdiri dan tempat ia akan menimba ilmu, membentuk disiplin batin, dan menyelami dunia kerasulan yang menjadi langkah awal hidupnya.

Keputusan ini tidak datang secara tiba-tiba. Sebelum menemukan jalur tersebut, Valent sudah lama berinteraksi dengan sistem dan kultur SCY melalui paroki asalnya di Jakarta. Ia bahkan pernah menjalani live in di komunitas SCY Kaliurang, pengalaman yang membuka matanya pada dinamika internal sebuah komunitas iman. Ironisnya, pengalaman yang kurang menyenangkan di parokinya justru menjadi pendorong kuat: ia ingin menjadi romo agar bisa membantu menggerakkan komunitas itu menuju arah yang lebih baik.

Namun, Valent tidak datang ke panggilan itu dengan tangan kosong. Ia membawa serta nilai-nilai dasar yang ia temukan di SALAM—menghargai, membangun komunitas, bekerja bersama, dan berkarya. Nilai-nilai itu, katanya, tidak akan ia tinggalkan di belakang gerbang seminari, melainkan justru menjadi fondasi panggilan sucinya kelak.

Ia pun memiliki visi yang sangat konkret tentang bentuk pelayanannya. Ia berharap suatu hari komunitas SCY menugaskannya di sekolah anak-anak, tempat ia merasa paling hidup dan paling mampu berkontribusi. Di sana, ia ingin menyatukan dua dunia: disiplin kerasulan dan kehangatan pendidikan komunitas yang ia pelajari di SALAM. “Sesuai panggilan hatiku,” ujarnya pelan—sebuah kalimat yang menutup refleksinya, tetapi membuka lembar baru dalam perjalanan seorang “romo skena” yang sedang tumbuh.

Jikalau aku ditasbihkan nanti, terus ditempatkan di sekolah, ya aku jadi bisa kerja,” paparnya tanpa ragu—kalimat sederhana yang memuat keyakinan mendalam tentang arah hidup yang ia pilih.

Panggilan itu, menurut Valent, justru menguat melalui pengalamannya di SALAM. Selama mengelola kelas minat Bola untuk anak-anak SD—sebuah ruang kecil yang ia rawat bersama fasilitator dan teman-teman sebayanya—ia menemukan perasaan yang sulit ia jelaskan: rasa cocok, rasa berada di tempat yang tepat. Di lapangan kecil itulah ia belajar menjadi pembimbing, pendukung, sekaligus teman bagi anak-anak. Pengalaman itu menegaskan bahwa dunia pendampingan anak bukan sekadar aktivitas mingguan, melainkan bagian penting dari dirinya, sesuatu yang ingin ia bawa hingga ke panggilan sucinya kelak.

Dengan memilih jalur pelayanan di sekolah, Valent merasa ia dapat terus mendampingi anak-anak dan bekerja secara nyata, alih-alih hanya berkutat dalam ruang doa saja. Pelayanan, baginya, harus hadir dalam tindakan sehari-hari, dalam relasi yang hidup, bukan sekadar dalam ritus.

Ketika Bu Wahya dan Mikhael menyinggung soal kemungkinan keraguan, Valent tidak menutupinya. Ia mengakui bahwa rasa itu pernah singgah, menguji batinnya. “Jujur saja, bisa nggak ya?” begitu ia bertanya pada dirinya sendiri di tengah kebimbangannya. Namun keyakinannya bahwa panggilan ini datang dari Tuhan perlahan meneguhkan langkahnya. Yang justru membuatnya gentar adalah tes masuk seminari—Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia—yang baginya terasa lebih menakutkan dibanding tiga kaul hidup rohani: ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan. Kaul-kaul itu ia yakini dapat ia jalani; yang menghantui justru rumus dan tata bahasa.

Di balik matanya yang bulat dan wajahnya yang selalu tampak cerah, Valent menyimpan satu harapan yang ia ucapkan dengan suara pelan: ia tidak ingin kehilangan dirinya seandainya kelak benar-benar ditahbiskan menjadi imam. Ia ingin tetap hangat, tetap humoris, tetap bisa bercanda dengan teman-temannya. “Kalau bisa, status romonya jangan dibawa-bawa. Aku tetap ingin jadi Valent yang humoris,” katanya sambil tersenyum, seolah sedang meminta restu kepada masa depannya sendiri.

Ia juga menyadari bahwa memasuki seminari berarti memasuki dunia yang menuntut keterampilan belajar yang jauh lebih sistematis. Karena itu, ia memutuskan untuk mengikuti bimbingan belajar sebagai persiapan awal—sebuah langkah kecil namun menunjukkan keseriusannya untuk melengkapi diri sebelum memasuki hidup religius.

Melihat proses yang ia jalani semester ini—termasuk alasan mendalam yang ia ceritakan tentang keputusannya menuju seminari—tampak jelas bahwa Valent sedang berada dalam fase penting menemukan dirinya. Ada rasa kagum yang muncul dari orang-orang yang mendengarkan ceritanya: seakan-akan arah hidup yang selama ini samar tiba-tiba memperoleh garisnya. Semoga semester berikutnya ia dapat memperkuat keterampilan yang dibutuhkan, menajamkan pemahaman atas panggilannya, sekaligus melihat dengan jernih realitas komunitas yang kelak akan ia layani.[]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *