Demokrasi, dalam bayangan ideal banyak orang, adalah janji yang luhur. Ia menjanjikan partisipasi luas dari rakyat, keadilan sosial yang merata, serta kedaulatan publik atas arah kekuasaan dan kebijakan negara. Demokrasi seharusnya menjadi wadah di mana setiap suara dihitung, setiap aspirasi didengar, dan setiap warga memiliki hak yang sama untuk menentukan masa depan bersama. Namun, kenyataan di negeri ini justru menunjukkan arah yang berlawanan.
Dalam buku Demokrasi Para Perampok, penulis mengajak kita membuka mata terhadap kenyataan pahit yang selama ini mungkin luput dari perhatian. Dengan gaya yang tajam dan argumentasi yang kuat, buku ini mengungkap sebuah ironi besar: demokrasi yang seharusnya menjadi sarana pembebasan rakyat, kini justru menjadi instrumen kekuasaan segelintir elite yang lihai memanipulasi sistem untuk kepentingan sendiri.
Kata “perampok” yang digunakan bukan sekadar metafora. Para elite politik dan ekonomi yang menguasai panggung kekuasaan hari ini, menurut penulis, telah menjadikan demokrasi sebagai kedok yang sah untuk mengeruk keuntungan pribadi. Mereka tampil di panggung pemilu dengan janji-janji manis dan slogan kerakyatan, namun begitu kekuasaan diraih, rakyat justru semakin terpinggirkan. Kebijakan disusun bukan untuk memenuhi kebutuhan publik, tetapi untuk menjaga kelanggengan kekuasaan dan menguntungkan kelompok sendiri.
Dalam narasi ini, rakyat hanya dijadikan objek politik lima tahunan. Suara mereka dibutuhkan untuk memenangkan kursi, tetapi setelah itu, suara-suara itu dilupakan. Partisipasi rakyat dibatasi hanya pada bilik suara, sementara pengambilan keputusan strategis tetap berada di tangan elite yang sulit disentuh.
Buku ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukanlah jaminan otomatis bagi keadilan dan kesejahteraan. Tanpa kesadaran kritis dan partisipasi aktif dari warga negara, demokrasi bisa dibajak oleh mereka yang lihai memainkan sistem. Penulis menekankan bahwa jika rakyat terus membiarkan keadaan ini berlangsung, maka demokrasi sejatinya telah dirampok dari esensinya yang paling mendasar: kedaulatan rakyat.
Narasi Demokrasi Para Perampok adalah seruan perlawanan intelektual dan moral. Ia mengajak pembaca untuk tidak pasrah pada sistem yang tampak demokratis di permukaan, tetapi sejatinya oligarkis dalam praktik. Di tengah kepungan elite yang kian kuat, suara rakyat harus kembali diperjuangkan—bukan hanya sebagai hak formal, tetapi sebagai kekuatan nyata yang menentukan arah bangsa.
Penulis buku ini tidak menulis dengan gaya akademik yang kaku. Ia menggunakan bahasa yang hidup, mengalir, dan menggugah kesadaran, seolah-olah ingin menyentakkan pembaca dari tidur panjangnya. Bukan hanya para politisi dan pejabat publik yang disorot sebagai aktor utama dalam perampokan demokrasi, tapi juga mereka yang selama ini dianggap sebagai “penjaga moral” bangsa—tokoh agama, akademisi, dan kaum profesional. Mereka yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan justru ikut larut dalam pusaran kepentingan.
Demokrasi yang seharusnya menjunjung partisipasi dan kebenaran, kini telah menjelma menjadi mekanisme legal untuk menindas dan mengelabui. Rakyat bukan lagi subjek yang menentukan arah bangsa, melainkan objek yang dikendalikan narasi, dikaburkan wawasannya, dan dilupakan setelah dipakai.
Pemilu, yang oleh banyak orang dianggap sebagai puncak pesta demokrasi, dalam narasi ini tampil sebagai ritual semu—sekadar pengesahan terhadap kekuasaan lama yang tampil dengan wajah baru. Setiap lima tahun, rakyat diajak bersorak sorai memilih, padahal pilihan yang tersedia telah disaring, dikendalikan, dan diarahkan oleh kekuatan uang dan kuasa.
Lebih menyakitkan lagi, hukum dan undang-undang yang seharusnya menjadi pelindung bagi yang lemah, justru dibuat untuk memperkuat dominasi mereka yang sudah kuat. Ketika rakyat kecil berani menyuarakan ketidakadilan—melalui aksi, mogok kerja, atau unjuk rasa—respon yang mereka terima bukanlah empati, melainkan stigmatisasi. Mereka dicap sebagai radikal, perusuh, bahkan ancaman negara.
Buku ini adalah cermin yang menohok. Ia mengajak kita menatap wajah demokrasi yang telah dirusak dari dalam—oleh mereka yang memanfaatkan sistem untuk memperkaya diri sambil terus berbicara atas nama rakyat. Dalam dunia yang seperti ini, harapan hanya bisa bertahan jika rakyat sadar, bersatu, dan berani merebut kembali haknya. Sebab jika tidak, demokrasi akan terus menjadi ladang subur bagi para perampok yang bersorban moralitas dan bersetelan hukum.
Demokrasi yang Dirampok: Suara Rakyat di Tengah Kepungan Elite
Demokrasi, sebagaimana yang dibayangkan dalam impian kolektif rakyat, adalah ruang harapan—di mana kekuasaan berasal dari suara rakyat, dan kebijakan dibangun atas dasar keadilan dan kepentingan bersama. Namun, melalui buku Demokrasi Para Perampok, kita diajak menghadapi kenyataan pahit bahwa demokrasi hari ini tak lebih dari panggung elit yang dikendalikan segelintir orang.
Penulis menyampaikan kritiknya dengan gaya yang tajam, jernih, dan menggugah. Ia tidak menggunakan bahasa akademik yang kaku, tetapi memilih diksi yang hidup dan menusuk kesadaran. Kritiknya tidak berhenti pada para politisi atau pejabat publik, melainkan merambah pada tokoh-tokoh yang selama ini dianggap penjaga moral: para pemuka agama, akademisi, dan kaum profesional. Semua yang terlibat dalam sistem ini, sadar atau tidak, telah turut menyuburkan ladang perampokan atas demokrasi.
Di tangan mereka, demokrasi kehilangan rohnya. Ia tidak lagi menjadi jalan menuju kebajikan publik, tetapi berubah menjadi alat kekuasaan yang mengabdi pada modal dan kepentingan sempit. Rakyat yang seharusnya menjadi pengendali sistem, justru menjadi objek yang dikendalikan. Pemilu hanyalah ritual lima tahunan yang mengesahkan kekuasaan lama dalam kemasan baru. Undang-undang dibuat bukan untuk melindungi yang lemah, tapi untuk mengokohkan dominasi mereka yang telah berkuasa. Dan ketika rakyat kecil melawan, mereka dilabeli sebagai radikal, pengacau, bahkan ancaman bagi stabilitas.
Namun, buku ini tidak hanya menawarkan amarah dan kekecewaan. Di balik kritik yang pedas, penulis juga menyalakan lilin harapan. Di pelosok desa, di sudut-sudut pabrik, di kolong-kolong kota—masih ada mereka yang bertahan, melawan, dan membangun solidaritas. Mereka bukan tokoh penting di layar televisi, bukan headline berita utama, tetapi merekalah jiwa sejati demokrasi.
Penulis memperlihatkan bahwa di tengah sistem yang korup dan menindas, kekuatan rakyat tetap ada. Masih ada ruang-ruang kecil di mana demokrasi tumbuh dari bawah, melalui keberanian, kesadaran, dan cinta pada hidup yang lebih bermartabat.
Membaca buku ini seperti menatap cermin retak. Kita dipaksa melihat wajah demokrasi yang kusut, kotor, dan penuh luka. Tapi justru dari cermin itulah, kita bisa menemukan kembali kompas moral kita sebagai warga. Sebab demokrasi sejati tidak datang dari atas. Ia tidak akan diberikan oleh elite, tidak bisa dibeli oleh uang, dan tidak tumbuh dalam ruang kekuasaan yang steril. Demokrasi sejati tumbuh dari bawah—dari tanah tempat rakyat berpijak, dari suara yang tak terdengar, dari tangan-tangan kecil yang terus bekerja demi kehidupan yang layak.
Inilah pesan utama buku ini: bahwa masih ada harapan, selama rakyat tidak menyerah. Selama ada keberanian untuk berkata tidak, kesediaan untuk bergandeng tangan, dan cinta pada kebenaran, demokrasi tetap bisa diselamatkan. Bukan oleh mereka yang berkuasa, tapi oleh kita semua—yang masih percaya bahwa hidup bersama bisa lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat.[]
Tangerang, Mei 2025
Oleh: Harianto Panglima GERBANG (Gerakan Anak Bangsa)

SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply