Cerita ini bermula ketika Valen di-roasting oleh salah satu tim yang sedang bermain bal-bal-an. Tim tersebut bersikeras bahwa tendang tim lawannya seharusnya tidak dihitung sebagai gol karena tendangannya mengenai tiang luar, sementara Valen menghitungnya sebagai gol. Maklum, selama ini teman-teman hanya menggunakan sandal sebagai gawang. Kecuali tendangan yang sudah jelas ada di sisi dalam sandal, banyak sekali kontroversi yang muncul ketika bermain bola. Valen yang sering bertindak sebagai wasit yang berdiri di tengah lapangan tidak mungkin dapat menilai secara akurat setiap tendangan yang tipis-tipis tersebut. Apalagi kalau tendangan tersebut melambung sehingga sulit untuk mengetahui apakah seharusnya mengenai mistar atas atau masih masuk ke dalam gawang.
Bagaimana cara agar permainan berlangsung dengan lebih sedikit kontroversi, terutama hal yang krusial seperti sah atau tidaknya sebuah gol? Ada berbagai cara, misalnya dengan membuat Valen mempunyai mata yang bisa merekam dan melakukan reka ulang terhadap setiap kontroversi, atau dengan melatih penglihatannya sehingga ia dapat melihat dari berbagai sudut yang berbeda di waktu yang bersamaan. Namun, cara tersebut tentu membutuhkan modal yang sangat-sangat besar atau latihan batin yang sulit untuk dilakukan dalam waktu dekat. Karena itu, saya menyarankan teknologi yang sederhana, yaitu membuat tiang gawang yang memudahkan semua pihak untuk melihat sah atau tidaknya sebuah gol. Valen dan teman-temannya setuju dengan ide tersebut, sehingga kita mulai memikirkan bentuk dari gawang yang cocok untuk situasi di SALAM.
Lapangan SALAM hanya ada satu dan dipakai untuk berbagai macam kegiatan. Terutama ketika ada acara-acara seperti Pasar Ekspresi yang biasanya menggunakan panggung tambahan. Rasanya, sangat egois apabila kita menggunakan gawang permanen yang ditanam di dalam tanah. Saya memberi syarat bahwa gawang yang perlu kita buat harus bersifat mudah dicopot dan dipasang kembali. Dari diskusi pertama, Tantra sudah mengatakan bahwa hal tersebut sangat memungkinkan. Kita hanya perlu menggali tanah secukupnya, misalnya dengan alat menggali biopori yang sudah sering digunakan, lalu memasukkan pipa ke dalamnya sebagai fondasi tiang, lalu pipa tersebut ditutup dengan penutup paralon ketika tidak digunakan. Dengan cara tersebut, tidak perlu selalu menggali tanah ketika ingin menanam tiang. Tiang itu nantinya dapat menggunakan berbagai macam bahan, misalnya bambu atau paralon.
Ide yang baik, namun butuh usaha dan tenaga untuk melakukannya. Di tengah banyak kesibukan lain yang harus dijalani oleh teman-teman SMA, proyek pembuatan gawang ini terhambat. Belum lagi, rasanya akan mengesalkan jika kita sudah susah payah membuat gawang, namun akhirnya tidak dimanfaatkan atau tidak dirawat dengan baik. Namun, untuk menguji coba peranan gawang terhadap permainan sepak bola anak-anak, saya mengajak Valen untuk membuat gawang yang sangat sederhana, dari kaleng cat yang diberikan pemberat batu, lalu ditancapkan tiang bambu. Namun, kelemahannya juga terlihat dengan jelas. Tiang tersebut sulit untuk berdiri dengan tegak dan mudah bergoyang-goyang. Mengingat bola yang digunakan adalah bola plastik, untungnya kurang kuatnya tiang tersebut tidak menjadi masalah besar.
Percobaan kedua adalah dengan mencoba menanam tiang tersebut di dalam tanah. Tiang yang digunakan adalah tiang bambu. Kita mencoba menanamnya di jam istirahat anak-anak SD, sehingga banyak anak SD yang ikut membantu menggali tanah, seperti Yoyo dan Rafael. Setelah tertanam dan dikubur tanah, kita mencoba seberapa kuat tiang tersebut. Meski ada yang mencurigai bahwa tiang tersebut akan kurang kuat dan mudah bergerak apabila terkena bola, hasil percobaan, baik dengan melempar maupun menendang bola, memperlihatkan bahwa tiang tersebut tidak tumbang maupun banyak bergeser meski ditendang dari jarak yang dekat.
Metode ini sayangnya melanggar persyaratan yang dibuat di awal, yaitu perlunya gawang tersebut untuk mudah dicopot dan dipasang. Berselang beberapa hari, tiang gawang tersebut pun perlu dicopot karena akan ada kegiatan yang menggunakan seluruh lapangan. Teman-teman kembali mengusulkan ide gawang copot pasang dengan menggunakan bahan paralon. Saya bersedia untuk memberikan modal awal sebagai pemicu bagi mereka untuk bergerak, dengan syarat bahwa mereka perlu melakukan survey harga bahan terlebih dahulu.
Tanpa menunggu banyak waktu, mereka mencari Pak Wawan, ahli kayu dan bangunan yang sudah banyak mengerjakan renovasi bangunan maupun pembuatan barang-barang seperti lemari, meja, dan lainnya di SALAM. Rasanya ia merupakan orang yang mempunyai pengetahuan lokal (local expertise) tentang perbandingan material, baik dari segi kualitas maupun harganya, serta tempat membeli bahan. Ia sudah pernah bekerja dengan berbagai macam material, dari bambu, kayu, hingga semen; juga bekerja dengan paralon untuk instalasi air. Pak Wawan memberi masukan tentang diameter paralon yang sebaiknya digunakan dengan pertimbangan ketahanan dan keamanan. Ia juga mengetahui kisaran harga bahan yang perlu dibeli. Dari sarannya tersebut, keluarlah angka 300 ribu untuk membuat dua buah gawang. Saya menyetujui angka tersebut dan menitipkan uang ke mereka sembari memberi pesan, uang tersebut sepenuhnya untuk mereka. Apabila mereka dapat mencari bahan yang lebih murah atau bahan bekas yang masih kuat, mereka boleh menggunakan sisa uang tersebut untuk jajan. Saya memilih untuk tidak memberikan syarat bahwa mereka wajib menggunakan barang bekas karena berharap bahwa mereka tidak akan merasa terlalu ‘diribeti’ dan gawangnya dapat dibuat dalam waktu yang lebih singkat, khawatir bahwa akhirnya pembahasan kita untuk membuat liga bal-bal-an sejak dua semester lalu berhenti hanya dalam tahap wacana.
Setelahnya, saya mendapat pesan yang cukup mengagetkan, bahwa mereka memilih untuk mencoba menggunakan gawang dengan bambu, sehingga uang yang saya titipkan tidak akan dipakai. Mereka membuat rencana sendiri untuk bertemu di hari Kamis dan mengerjakannya bersama-sama. Tidak mudah untuk sampai di titik pengerjaan tersebut. Valen, orang yang paling bersemangat untuk menjalankan rencana-rencana ini, sempat menyampaikan frustrasinya karena ada saja hambatan-hambatan yang membuat teman-temannya kerap kali mengganti waktu untuk bekerja bersama. Akhirnya, pada tanggal 23 Januari 2025, mereka menggali lubang di tanah untuk tempat ditanamnya gawang, lalu juga membuat gawang dari bambu tersebut. Gawang tersebut berdiri dan siap untuk digunakan.
Minggu berikutnya, libur seminggu karena Isra Miraj dan Imlek sehingga teman-teman belum dapat mengajak anak-anak SD untuk menggunakan gawang tersebut. Seminggu selanjutnya lagi, saya mendapat kabar bahwa teman-teman sedang mutung karena gawang yang mereka buat itu hilang karena dicopot Kang Waryo, seorang yang berjaga di SALAM, dengan alasan bahwa gawang tersebut dimainkan oleh anak-anak kampung di hari libur. Valen kembali menyampaikan bahwa ia hampir putus asa untuk membuat gawang dan liga ini. Namun, teman-teman yang lain justru yang berinisiatif menyarankan untuk membuat gawang dari besi. Mereka sudah berdiskusi dengan Pak Yulek tentang bentuk rancangannya, serta berniat untuk mencari bahan-bahannya. Mereka taksir bahwa harganya sekitar 500 ribu. Karena awalnya saya menyetujui di harga 300 ribu, saya menanyakan kepada mereka tentang dari mana angka-angka itu muncul, serta bagaimana perbandingannya dengan gawang dari bahan paralon. Keesokannya, kami berkumpul dan mereka menceritakan gambaran tersebut dan keuntungannya bahwa gawang tersebut akan lebih tahan lama. Saya mengiyakan dengan memberi syarat bahwa kita perlu memikirkan tentang perawatan dan penyimpanan gawang tersebut agar tidak rusak maupun hilang.
Pada tanggal 27 Februari, teman-teman kembali mulai bekerja dengan bantuan Pak Yulek. Pertama-tama, mereka membuat slot untuk gawang yang ditanam di dalam tanah. Mereka menanam pipa dan diberikan penutup agar kemudian bisa disamarkan dengan menaruh tanah di atasnya. Desain semacam ini penting karena menghindari lubang slot tersebut mudah ditemukan oleh anak-anak yang kemudian dibuka untuk dimasukkan berbagai macam barang sehingga tidak dapat berfungsi lagi sebagai slot gawang. Setelah berhasil menggali dan menanam 4 lubang untuk 2 gawang, hari tersebut usai. Rencananya, mereka akan mencari besi di toko rongsok di keesokan harinya. Mereka juga menyampaikan bahwa uang modal di awal masih tersisa.
Esoknya, mereka mulai berkumpul dari pagi jam 10an untuk pergi ke toko besi rongsok. Pak Yulek memberi saran untuk pergi ke rongsok dekat UPY karena jaraknya dekat. Saya tidak datang dari awal, namun tiba-tiba dikabari bahwa mereka butuh tambahan uang. Setelah menemukan besi yang mereka butuhkan, disampaikan bahwa mereka menemukan 5 batang yang diameternya pas untuk ke slot yang mereka buat kemarin, total beratnya 28 kilo dan harga per kilonya Rp 12.500. Mereka mendapat sedikit diskon sehingga totalnya menjadi Rp 336.000, lalu ditambah dengan amplas seharga Rp 48.000, sehingga totalnya menjadi Rp 384.000.
Sesampainya di SALAM, teman-teman langsung membersihkan dan mengamplas besi-besi tersebut. Setelahnya, ada satu besi yang perlu untuk dipotong untuk disambung. Untuk melakukannya, dibutuhkan gerinda untuk memotong serta alat las untuk menyambungnya. Untuk gerinda, kita mendapat pinjaman dari ayahnya Mile. Untuk alat las, teman-teman berhasil meminjam alat milik Pak W, penjual soto yang ada di sebelah SALAM. Karena teman-teman juga belum dapat melakukan pengelasan sendiri, mereka meminta bantuan Mas Nano, ayahnya Yoyo & Sandhi yang tinggal di SALAM. Pada jam 5 sore, kedua gawang tersebut sudah tersambung dengan las. Ternyata, ada sedikit kesalahan penghitungan jarak yang membuat gawang tersebut terlalu panjang. Akhirnya kita memotong dan langsung mengelasnya kembali, hingga jam 7 malam. Setelah perjuangan beberapa bulan, jadilah gawang tersebut.
Terakhir, teman-teman berencana untuk melakukan finishing, dengan mengecat gawang tersebut. Mereka kembali meminta tambahan modal untuk melakukan hal tersebut, namun saya yang merasa tidak diinformasikan terlebih dahulu, menolak untuk langsung memberikannya. Akhirnya, Tantra yang menyumbang tambahan modal untuk mengecat gawang. Akhirnya, lengkaplah sudah proses pembuatan gawang tersebut. Kami menyimpannya di ruang Sukrosono, ruang untuk kelas 11, karena dianggap akan aman dari jangkauan anak-anak atau orang lain yang mungkin mau menggunakan gawang tersebut. Namun, ini juga sudah memasuki bulan puasa sehingga tidak banyak anak-anak SD yang mau bermain bola karena perlu menyimpan energi. Selain itu, sempat ada pekerjaan untuk mengubur urug di lapangan selatan sehingga tidak dapat digunakan untuk beberapa waktu. Yang penting, gawang sudah berevolusi hingga bentuk akhir dan siap digunakan untuk mengajak anak-anak bermain setelah selesai libur lebaran nanti.[]

Relawan SALAM
Leave a Reply