Blog

Pijar & Kopi Susu Gula Aren

Salam, 12 November 2025 Catatan oleh Ganis:  Louis Sang Pijar Nuswantara—anak kelas satu yang oleh semua orang dipanggil Pijar—pagi itu berdiri di antara riuh rendah Gelar Karya Salam. Matahari belum terlalu tinggi ketika lapangan Salam mulai dipenuhi warga: anak-anak, orang tua, para fasilitator, dan tetangga yang sengaja mampir. Di tengah keramaian itu, Pijar memperkenalkan hasil risetnya yang ia beri judul Kopi Susu Gula Aren.

Di meja kecil yang disiapkan di tepi lapangan, Pijar tampak tekun. Tangannya sibuk mengaduk, sementara wajahnya menunjukkan perpaduan antara gugup dan bangga—perasaan yang sering muncul pada anak-anak yang sedang memamerkan temuannya kepada dunia. Bu Umi, fasilitator kelas 1 yang mendampingi proses risetnya sejak awal, berdiri tak jauh di belakang, sesekali membungkuk untuk bertanya atau mencatat perkembangan kecil yang dilakukan Pijar. Seperti riset-riset anak Salam lainnya, catatan itu bukan sekadar dokumentasi, tetapi juga jejak bagaimana seorang anak membaca dunianya melalui rasa, bau, dan eksperimen sederhana.

Antrean warga semakin mengular. Dari anak kecil hingga orang dewasa, semua tampak sabar menunggu giliran mencicipi hasil racikan Pijar. Ada yang tersenyum setelah menyeruput, ada yang mengangguk-angguk, seolah rasa manis dan pekatnya gula aren itu menyimpan cerita lain tentang rumah, dapur, dan kebiasaan keluarga. Riset kecil itu—yang pada pandangan pertama sekadar tentang minuman—sebenarnya menjembatani pertemuan hangat antara ilmu, rasa ingin tahu anak, dan kedekatan sosial warga Salam.

Di hari itu, Pijar bukan sekadar murid kelas satu. Ia adalah peneliti kecil yang, melalui segelas kopi susu gula aren, mengajak orang-orang merasakan sepotong perjalanan belajar yang tumbuh perlahan, jujur, dan penuh cahaya—seperti namanya sendiri: Pijar.

Pada gelar karya kelas 1 pagi itu, Pijar duduk di belakang meja ceritanya dengan tubuh kecil yang tampak mantap, seolah telah lama mempersiapkan diri untuk momen ini. Ia mulai berkisah tentang sesuatu yang dekat dengan hidupnya: kopi. Di rumah, kata Pijar, kopi bukan hanya minuman—ia adalah kebiasaan yang menyatukan seluruh keluarga. Bapak, Mama, Kak Bintang, dan dirinya sama-sama penikmat kopi, meski seleranya tak selalu sama. Mama dan Pijar memilih kopi susu gula aren; sementara Pak Budi Gemak, sang ayah, tetap setia pada kopi hitam. Rasa kopi susu gula aren yang lembut dan manis membuat Pijar memutuskan untuk menjadikannya judul riset. Sudah lama minuman itu menjadi favoritnya—teman saat begadang, penahan kantuk malam hari, sekaligus ritual kecil keluarga setidaknya seminggu sekali.

Riset Pijar tidak berdiri sendiri. Ia melibatkan beberapa narasumber yang ia wawancarai untuk mengetahui takaran dan bahan-bahan yang mereka gunakan. Dua metode ia terapkan: wawancara dan eksperimen. Setelah mendengar berbagai cerita, ia melakukan lima kali percobaan membuat kopi. Di antara proses itu, ia dibantu oleh ayahnya untuk membuat bubuk kopi—sebuah bagian riset yang membuatnya lebih dekat dengan asal-usul rasa yang selama ini ia kenal hanya sebagai minuman.

Ada banyak hal baru yang ia temui selama proses riset. Alat ukur, misalnya—sesuatu yang sebelumnya hanya dilihat sekilas di dapur. Riset membuatnya akrab dengan timbangan digital untuk menimbang kopi, gelas ukur untuk menakar air dan susu, serta sendok makan untuk menentukan jumlah gula aren. Perlahan, Pijar mulai memahami fungsi masing-masing alat; sebuah literasi baru tentang presisi yang tumbuh dari dapur kecil Salam.

Dari rangkaian percobaan itu, lahirlah “Kopi Susu Gula Aren ala Pijar,” sebuah resep yang menurutnya paling pas di lidah: 13 gram kopi bubuk, 100 ml susu, dua sendok makan gula aren, dan 40 ml air panas. Setelah semua bahan ditakar, ia mencampurnya perlahan lalu mengaduk hingga minuman itu siap disajikan. Di Gelar Karya, Pijar membawa hasil racikannya sebagai bukti nyata proses belajarnya.

Tak butuh waktu lama sebelum warga Salam berkerumun. Antrean mengular di depan meja risetnya; anak-anak, remaja, orang dewasa—semua ingin mencicipi kopi buatan Pijar. Banyak yang memuji rasanya—“enak,” “mantap,” “pas”—meski tidak semua kebagian karena jumlahnya terbatas. Pijar tampak senang, mungkin bukan hanya karena pujian, tetapi juga karena ia akhirnya mengetahui sendiri rahasia takaran minuman favoritnya. Ia bahkan mengaku akan lebih memilih membuat kopi sendiri di rumah daripada membelinya di warung atau kafe yang biasa ia kunjungi.

Pada saat presentasi, Pijar didampingi oleh ayahnya. Pak Gemak bercerita bahwa sejak awal menentukan topik, Pijar begitu bersemangat. Ia menerima tawaran riset itu dengan antusias dan, yang tak kalah mengejutkan, tiba-tiba ingin menulis. Selama proses, Pijar tekun mencatat hasil wawancara, menuliskan resep dari para narasumber, dan mengurutkan langkah-langkah pembuatan kopi dengan runtut. Riset ini seolah membuka ruang baru bagi Pijar untuk menunjukkan tanggung jawab dan kesadarannya sebagai pembelajar.

Di meja ceritanya, Pijar tampak tenang. Di depan khalayak yang antusias, ia menuang kopi susu gula aren dengan cekatan. Ia mampu menyebutkan bahan dan alat yang ia pakai dengan jelas, dan tetap komunikatif meski mikrofon belum sepenuhnya membuatnya nyaman. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil dari pengunjung dengan santai, seakan kopi telah lama menjadi bahasa yang ia kuasai.

Semoga ke depan, Pijar semakin terbiasa dengan mikrofon yang akan membantunya menyampaikan suara merdu dan ceritanya—dan mungkin juga semakin banyak riset-riset kecil yang tumbuh dari rasa ingin tahu sederhana seorang anak yang melihat dunia melalui segelas kopi.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *