Catatan Semester Satu, 2025—Semester ini dimulai dari satu pertanyaan: Mengapa kehadiran kelas rendah? Jawabannya tidak sederhana. Hampir seluruh anak kelas 12 sedang bekerja, magang, atau menjalankan bisnis keluarga. Ketidakhadiran bukanlah “menghilang”, melainkan bagian dari pencarian hidup. Dalam konteks SALAM, belajar memang tidak terpusat pada kelas, tetapi pada peristiwa yang mereka alami di luar.
Peran fasilitator bergeser: bukan menyediakan materi, melainkan memfasilitasi ruang gerak, percakapan, dan kesempatan merekam pengalaman. Observasi dilakukan bukan hanya di ruang kelas, tetapi di kafe, rumah, angkringan—ruang-ruang informal tempat cerita mengalir dengan lebih jujur. Saya belajar bahwa laporan tertulis bukan “tugas”, melainkan alat komunikasi, penyimpan pengalaman, dan memori.
Mendengar, Mengamati, Menafsir
Sebagian anak mudah bercerita; sebagian lain memilih diam. Diam ini tidak netral—sering merupakan akibat sejarah didiamkan, ditegur, atau tak dipercaya. Mereka telah terlatih berkata “benar” agar percakapan cepat selesai. Karena itu “bertanya” tak cukup. Saya belajar mendengar melalui gerak, pilihan, antusiasme, dan penghindaran mereka.
Selama enam bulan saya mengamati: Di kelas ini, saya belajar membaca anak‐anak bukan dari apa yang mereka ucapkan, tetapi dari apa yang mereka lakukan tanpa diminta. Dari sana terlihat arah hasrat yang paling jujur: ada yang tiba-tiba memasak, ada yang konsisten datang ketika ada pekerjaan lapangan, ada pula yang pulang membawa data tanpa pernah diminta membuat laporan.
Sebaliknya, saya juga mencatat pekerjaan yang mereka lakukan setengah hati—tanda bahwa tubuhnya hadir, tetapi pikirannya menolak. Di titik ini, diam kadang lebih keras daripada jawaban. Mereka tidak menolak, tetapi juga tidak bergerak, seolah ada sejarah panjang yang membuat pilihan mereka disensor lebih dulu dari dalam diri.
Menariknya, banyak keahlian justru hadir tanpa mereka sadari. Keterampilan teknis, naluri bisnis, atau kepekaan artistik sering muncul sebagai kebiasaan, bukan kesadaran. Di situ saya melihat “kompetensi laten” yang baru akan tumbuh jika diberi bahasa dan pengakuan.
Saya juga mengamati keberanian, empati, dan fokus mereka: siapa yang dengan spontan menolong teman, siapa yang mencatat detail kecil, siapa yang tetap hadir sekalipun tidak diminta. Kebiasaan kecil ini tidak pernah mereka sebut dalam presentasi, tetapi justru menjadi data paling otentik tentang siapa mereka sebenarnya.
Dan akhirnya, saya melihat di mana mereka bicara dan kepada siapa. Mereka lebih mudah membuka pengalaman di angkringan daripada di kelas, lebih jujur di ruang yang tidak berlabel “belajar”, lebih mendalam ketika tidak berhadapan dengan papan tulis. Ruang sosial ternyata mempengaruhi suara yang keluar.
Dari keseluruhan pengamatan itu, saya belajar bahwa diam bukan ketiadaan suara—diam adalah cerita yang sedang mencari bentuknya. Observasi menjadi cara memahami motif yang tidak pernah selesai terucapkan.
Dari Peristiwa ke Riset
Riset baru bermakna jika muncul dari pertanyaan mereka sendiri. Tanpa itu, riset hanya menjadi “mata pelajaran” baru. Lambat, tetapi akhirnya tiap anak mulai menemukan fokus riset dengan caranya: memasak sebagai jalan hidup, tema estetika sebagai pertanyaan batin, bisnis kopi sebagai rencana masa depan. Bagi beberapa anak, saya perlu “mengajak” lebih dulu, bukan memaksa, melainkan mengonfirmasi bahwa pertanyaan pribadi mereka penting.
Konsep sebagai Pancaindra
Pengamatan saja tak cukup. Tanpa konsep, pengalaman tidak menjadi data. Karena itu rancangan riset dibuat bersama: bukan untuk menentukan deadline, tetapi untuk menentukan apa yang perlu dilihat, diukur, direkam. Dengan catatan tertulis, kolaborasi menjadi mungkin dan pengalaman tak sekadar lewat.
Pelajaran Semester Ini
Mengajak bukan memaksa; syaratnya kita memahami ketertarikan mereka. Dorongan kecil sering menjadi pengakuan penting bahwa rasa ingin tahu mereka sah. Sementara tingkat kemandirian tak sama, penyesuaian bukan upaya “membentuk masa depan”, tetapi pemahaman atas sejarah pribadi masing-masing.
Semester ini saya belajar bahwa pengalaman, bukan kelas, yang memproduksi pengetahuan. Peran saya sekadar teman yang merapikan apa yang telah mereka temukan secara acak—seperti kata Freire, reorganisasi terhadap apa yang sudah mereka bawa.
Semoga semester terakhir menjadi ruang riset, kerja, dan bermain yang bermakna bagi mereka—sekaligus pengalaman belajar bagi saya sendiri.[]
Relawan SALAM
Leave a Reply