Siang kemarin, 6 Desember 2017, ada pesan Whatsapp masuk ke handphone saya. “Ren, kamu dan Aji bisa datang ke Joglo nggak sore nanti. Tolong dokumentasikan anak-anak yang habis pulang dari Live In di Lawen. Anak-anak mau ditanggap sama Pak Huda, biar anak-anak cerita pengalaman mereka,” begitu pesan singkat yang saya terima dari Mimi, salah satu wali murid Kelas 6.
Ya, sore kemarin, memang momen yang semestinya mengharu biru. Momen bertemunya para orang tua (ortu) Kelas 6, yang sudah terkenal akan kehebohannya, dengan anak-anak mereka yang sudah lima hari tidak pulang ke rumah. Selain siswa Kelas 6, ada pula empat siswa Kelas 9 (SMP Salam) yang turut serta dalam program Live In ini.
Suasana di Joglo Elang, rumah salah satu siswa Kelas 6, yang letaknya tak jauh dari Salam di Nitiprayan, Bantul sudah ramai sedari pagi. Para ortu, ibu-ibu dan bapak-bapak, menyiapkan berbagai hal untuk menyambut anak-anak.
Ayam rica-rica pedas dan capcay jamur plus kerupuk disiapkan untuk anak-anak. Tak lupa ada mangga, semangka, dan teh jahe hangat. Bendera segitiga warna-warni dibentangkan di langit-langit Joglo, karpet pun digelar kalau-kalau anak-anak ingin selonjoran sehabis duduk selama tujuh jam perjalanan Lawen-Jogja.
Ahh, suasananya sungguh hangat. Adik-adik kecil siswa Kelas 6 pun sesekali melihat ke depan, ke arah gerbang. Mereka ingin tahu kalau-kalau mobil travel yang membawa kakak mereka datang. Ibu-ibu pun bercengkerama sembari mengandai-andai mendapatkan pelukan hangat anak-anaknya.
Hingga tibalah dua mobil travel itu. Yak drama dimulai dari sini. Hanya sebagian anak-anak yang menghampiri ortunya dan melepas kangen. Selebihnya, heboh sendiri, ada yang lanjut main kartu Uno, ada yang bergerombol cerita heboh dengan sesama temannya, ada yang langsung pegang gadget, ada yang langsung leyeh-leyeh.
”Hmmm, ternyata malah pada heboh sendiri. Yowes ra kangen rapopo. Asal kau bahagia lah Nak,” ujar Mimi disambut tawa ortu lain.
Melihat wajah anak-anak ini, saya tahu, mereka sebetulnya kangen dengan ortunya. Tapi mungkin malu karena ada teman-teman lain. Gengsi kan kalau ngelendotan sama ibu di hadapan teman-teman. Hehe.
Meski begitu, cerita demi cerita terungkap dari teman-teman Kelas 6. Mereka bahkan merasa Live In selama lima hari ini kurang. Mereka masih ingin menikmati masa-masa tinggal bersama orang tua asuh, warga Lawen yang mereka tumpangi sementara.
”Di sana tuh murah-murah lho tante, masa donat harganya Rp 500, bakpau juga Rp 500. Aku sampai tambah berkali-kali makan donat,” cerita Nayla heboh.
”Lha aku beli loncang Rp 2 ribu bisa dapat banyak banget,” timpal Ixa.
Yah, sepertinya mereka menikmati tinggal sementara di Lawen. Suasana yang berbeda dari rumah memberikan pengalaman berharga bagi mereka. Wali Kelas 6 Bu Avine dan Mbak Sumi pun tak mau kalah juga menceritakan dinamika yang ditemui oleh anak-anak selama Live In.
Program Live In ini memang menjadi agenda rutin. Sudah tiga kali ini diadakan. Live In pertama dan kedua dilakukan di Ambarawa. Sedangkan Live In kali ini diadakan di Lawen, tempat di mana Salam awal berdiri.
Program ini diikuti oleh siswa Kelas 6 dan Kelas 9. Anak-anak diikutkan orang tua asuh di desa. Mereka mengikuti ”rule” orang tua asuh. Mengikuti keseharian keluarga asuh selama empat malam lima hari. Ada yang ikut orang tua asuh yang kesehariannya membuat talenan kayu, ada pula yang ikut keluarga asuh yang berprofesi sebagai petani, pembuat makanan tradisional, dan lainnya.
Anak-anak belajar bagaimana bersikap dengan keluarga barunya. Juga diajarkan mandiri dalam kesehariannya, sekaligus saling menjaga teman. Ahh serunya. Malam ini mungking anak-anak masih dengan hebohnya menceritakan pengalaman mereka selama Live In di rumah masing-masing. (*)
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply