Seperti Remaja pada umumnya, Yusuf Bilyarta (YB) Mangun Wijaya yang akrab dengan panggilan Romo Mangun juga bermimpi masuk Perguruan Tinggi, apel pacar malam Minggu, jadi orang kaya, punya rumah mewah, mobil bagus, istri cantik, piknik dan sebagainya.
Setamat Sekolah Menengah Atas (SMA), setelah revolusi kemerdekaan pecah membuat YB. Mangun Wijaya harus mupus segala angan-angannya. Ternyata kekejaman dalam peperangan yang menelan banyak korban mewarnai catatan berharga dalam hidupnya. Sebagai tentara yang bergabung dalam TKR, ia mengalami berbagai pertempuran antara lsin di Magelang, Ambarawa, Mranggen, Semarang.
Perang membawa catatan baru dan mampu menghapus angan-angan diusia remaja Mangunwijaya. Di sisi lain perang menghantam hati nuraninya. Ia menyadari justru setelah usai perang kemerdekaan—selama bergerilya yang menghidupinya; yang memberi makan, minum, yang menimba air, yang menyediakan tempat untuk menginap, bahkan yang melindungi dari musuh adalah penduduk desa yang notabene adalah rakyat kecil. “Jadi kami yang bersenjata tanpa ada perkecualian, yang menghidupi dalam arti yang harafiah itu penduduk desa. Rakyat kecil itulah yang sesungguhnya menjadi korban, pokoknya merekalah yang paling menderita. Jika Belanda datang tentara lari ke sana ke mari untuk menghindar—rakyatlah yang akhirnya kena tembak, granat, di bom, diperkosa”.
Mengapa nurani mudah terusik manakala menyaksikan peristiwa yang menimpa wong cilik, peristiwa-peristiwa yang tidak menghargai wong cilik? YB. Mangunwijaya lahir 6 Mei 1929 putra pertama dari seorang guru SD, Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan ibunya juga seorang guru sangat sadar bahwa perang yang menelan banyak korban rakyat kecil ternyata belum cukup, belum apa-apa—justru lebih sulit berjuang di zaman pembangunan ini yang realitanya masih rakyat kecil juga yang harus banyak berkorban (baik korban kesejahteraan berbentuk materi maupun kesejahteraan yang menyangkut kemerdekaan hidup mereka). Itulah yang mendorong YB. Mangunwijaya selepas SMA memilih hidup sebagai Pastur. “Mengapa saya memilih menjadi Pastur, karena saya beragama Katholik—seandainya saya beragama Islam mungkin akan memilih pesantren. Sebab bagi saya di situ adalah tempat yang paling dekat dengan rakyat kecil. Menjadi Pastur paling tidak 80% berurusan dengan wong cilik entah di kota, entah di desa. Kebetulan keinginan saya itu jadi pastur di pelosok desa—di Gunung Kidul, apa di Menoreh, di Boro, apa di gunung. Tetapi karena Gereja ada aturan disiplin seperti militer—jadi saya tidak bisa seenaknya, sesuka hati memilih tempat sendiri”. Tutur Romo Mangun.
Selesai dari seminari Institut Filsafat & Teologi Seminarium Maius Saneti Pauli di Kentungan Yogyakarta (1959). Setelah dikukuhkan sebagai Pastur, Romo Mangun ditugaskan Gereja untuk meneruskan belajar arsitektur ITB dan selanjutnya meneruskan studi Rheines Westaelische Technische Hochscule, Aachen, Jerman Barat bidang arsitektur tata kota dan daerah. Secara otodidak, selama di Jerman Romo Mangun memanfaatkan kesempatan untuk belajar Kebudayaan, sejarah, Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme dan sebagainya (1966). “Semula arsitektur itu bukan cita-cita saya, namun karena tugas Gereja. Saya pikir arsitektur juga tidak hanya milik orang kaya, orang kecil juga berhak, maka ya saya jalani saja”.
Ucapan Romo Mangun komitmennya terkait arsitektur terhadap wong cilik terbukti. Romo Mangun dan kawan-kawan memiliki perhatian terhadap rakyat kecil menata Kali Code yang semula kumuh menjadi perkampungan asri—apakah itu merupakan tindakan besar? Ternyata Romo Mangun merendah: “apa yang saya dan kawan-kawan lakukan di Code (1981) hanya upaya alternatif menghadapi penggusuran. Warga Code memang kebanyakan hidup dari sampah,tetapi mereka bukan manusia sampah. Seperti cerita Sukrosono dan Sumantri dalam pewayangan. Sumantri yang gagah perkasa suatu ketika harus meminta bantuan adiknya Sukrosono, untuk membangun taman bagi putri raja. Namun setelah maksudnya tercapai, Sumantri lupa diri. Sukrosono yang tampangnya jelek itu diusir, bahkan kemudian dibunuh. Rakyat, dalam banyak hal, ibarat lalat yang mesti diusir kalau kelihatan memalukan”, ungkapnya.
Pemukiman kumuh di tepian Kali Code—yang membentang di tengah Kota Yogyakarta—menjadi pilihan Romo Mangun untuk terjun langsung. Alasannya sangat sederhana. “Ketika itu dunia mahasiswa, teknokrat, ilmuwan, para priyayi, apalagi jendral-jendral amat jauh dari masyarakat”. Ujarnya. Tahun 1966 setelah selesai studinya di Jerman, selain menjadi Pastur di Jetis dan Salam—Magelang, Romo Mangun juga mengajar di Jurusan Teknik arsitektur Universitas Gajah Mada (UGM). Namun pada akhirnya memilih sayonara, keluar dari UGM. “Bagaimana ya, saya tidak menyalahkan UGM, tapi kenyataannya kampus kan milik orang kaya, orang besar. Toh banyak orang berbondong-bondong antri bekerja di lapangan kampus. Maka saya memilih keluar saja, saya meminta Gereja, kembali bekerja langsung pada rakyat kecil”.
Romo Mangun tergolong bukan Pastur seperti pada umumnya, ia Pastur dengan sejumlah predikat. Selain menjadi Rokhaniawan Katholik, Romo juga seorang arsitek. Diantara karya-karyanya antara lain Gedung Bentara Budaya Jakarta, rumah kediaman Arif Budiman di Salatiga, gedung Gereja Katolik di Klaten, Salam, Jetis, dan sebagainya. Rancangan arsitektur karya Romo Mangun biasanya berciri khas dari bahan baku kayu dan bambu, yang diakuinya arsitektur berkepribadian Nusantara. Romo juga seorang novelis. Novel-novelnya antara lain : Romo Rahadi, Burung;burung Manyar, Roro Mendut, Gendok Duku, Lusi Lindri, Durga Umayi, dan lain-lain. Romo juga rajin menulis esai di berbagai media massa, Puntung-puntung Roro Mendut, bahkan esainya yang berjudul Sastra dan Religiusitas memperoleh hadiah pertama dari Dewan Kesenian Jakarta (1982). Burung-burung Manyar –s- alah satu karya yang diakui sebagai karya terbaik, bahkan meraih penghargaan South East Asian Award (1983) di Bangkok. Dan burung-burung Manyar satu satunya novel yang telah diterjemahkan berbagai bahasa : Jepang, Perancis dan Inggris. Selain itu Romo juga menulis buku-buku Fisika Bangunan, Tehnologi dan Dampak Kebudayaan (dua jilid), Wastucitra, dan lain-lain.
Menulis bagi Roma Mangun, semacam luapan manakala hati dan pikiran tengah berjubal-jubal oleh persoalan, fenomena, informasi, ide akan lahir dengan sendirinya. Tentu ilham juga diserap dari berbagai peristiwa yang terjadi ,membaca yang tersirat dibalik kejadian ataupun omongan orang. Semua itu selanjutnya diekspresikan dalam tulisan, itupun tidak selamanya lancar. Sering juga di tengah-tengah menulis—tiba-tiba macet.Menurut pengakuannya, menulis dilakukan sejak anak-anak. Dalam dunia kepenulisan juga merupakan upaya Romo Mangun dalam rangka membela kaum papa. Sebab kemiskinan itu bukan hanya karena orang miskin itu tidak punya duit, atau orang miskin itu malas, kaum miskin itu bodoh. Namun kemiskinan itu sesungguhnya terjadi akibat dari sistem struktur, opini publik, dan kebudayaan. Maka dalam proses kepenulisan Romo Mangun selalu mengarah kepada persoalan-persoalan struktural, sistem berbangsa, bermasyarakat, bernegara, dan kebudayaan.
Sesungguhnya Romo Mangun mampu menulis makalah-makalah yang sifatnya ilmiyah, tetapi dia sadar bahwa masyarakat yang ada bukan dari budaya artikel. “Budaya masyarakat kita ini masih budaya dongeng, cerita, bukan budaya makalah atau budaya artikel. Yang hendak membaca artikel hanyalah orang-orang tertentu saja. Jadi kalau mau dongeng atau cerita kita bisa bicara langsung dengan rakyat”. Pengakuan Romo. Sastra baginya juga harus memihak untuk katakanlah ikut memperbaiki struktur-struktur yang ada ini. Maka dalam novel-novelnya kebanyakan adalah novel epik, novel berbangsa dan bernegara.
Basis dunia kepenulisan Romo Mangun seperti yang diakuinya yakni dari kependidikan non formal dan informal. Berasal dari pergaulan, dari omongan orang, membaca, pengalaman bergaul dari penduduk asli. Mulai belajar sastra pertama-tama ia membaca karya-karya H.B Yasin (Buku Sastra dan esai yang diterbitkan tahun 1950). Romo Mangun juga belajar dari buku-buku sastra yang mendapat nobel dari Swedia, Jerman, Prancis, Rusia dsb. Dia mempelajarinya sastra yang mendapatkan nobel itu seperti apa, dia gali dengan telaten bertahun-tahun dan dijadikannya acuan dalam menulis terutama ketika menulis novel.
Ada hal mendasar yang mendukung Romo Mangun mampu berproses sendiri terutama dalam dunia sastra, yaitu faktor bahasa. “orang itu sering tidak paham kesaktian yang terkandung dalam bahasa. Bahasa merupakan satu perkara dengan dunia pemikiran dan cita rasa. Jika orang itu kacau pikirannya, bahasanya juga kacau. Bahasa dan hidup, dunia pemikiran dan dunia rasa itu satu. Nah…kita bisa saksikan, karena pendidikan bahasa dalam sistem sekarang ini kurang, maka cara mereka berfikir juga kacau, caranya menghayati, merasakan juga ikut kacau. Apalagi sekarang ini bahasa tidak pernah dianggap, tidak masuk hitungan. Jaman sekarang yang penting adalah matematika, fisika, dsb. Seperti di negara-negara maju. Jangan dikira majunya itu karena matematika, fisika….BUKAN!!! Ya betul dia pelajari matematika, fisika serta ilmu-ilmu pasti lainnya itu dipelajari, namun yang dinomor satukan tetap—yang disebut HUMANIORA yakni: Bahasa, filsafat, cara berfikir. Anak-anak SMA generasi Soekarno-Hatta sudah tahu apa itu Plato. Jadi anak-anak generasi Soekarno-Hatta yang paling beruntung. Jangan lupa Republik Indonesia ini merdeka sampai diakui oleh dunia internasional itu karena pemikiran dan memakai bahasa, bukan memakai bedil (senapan). Orang sering mengira bahwa negara kita merdeka itu karena bedil, itu tidak betul. Coba, seandainya Soekarno-Hatta tidak mampu diplomasi, juga seandainya Sutan Sjahrir dulu di PBB tidak mampu membela Rakyat Indonesia di Dewan Keamanan, kabeh arep ngopo…? nggowo bedil? Tidak bisa……jadi bahasa membawa orang bagaimana cara berfikir, cara bertanya, cara memandang hidup dan realitas. Orang-orang yang memimpin dunia itu orang-orang bahasa, nah..kalau matematika dan fisika itu pelaksana, bukan pengarah, pemikir. Misalnya membuat jembatan, ngobati wong, bikin jalan, dsb—jadi tukang, pelaksana. Maka kalau seperti sekarang ini SMA bagian bahasa dihapus karena dianggap paling rendah. Ini pertanda zaman sedang menuju kemana? Ini indikator yang jelas,” ungkap Romo Mangun. Jika kita amati setiap aktifitas, baik dalam bidang arsitektur maupun dunia sastra dengan karya-karya kemanusiaan lainnya pada akhirnya integral pada satu muara, yakni komitmen Romo Mangunwijaya terhadap rakyat kecil. Kita bisa simak pada peristiwa yang menggegerkan dari peristiwa Code sampai Kedung Ombo.
Dari lembah Code yang menggegerkan (1989), Romo Mangun pindah ke Grigak—Gunung Kidul, kawasan yang kering dan tandus. Beliau nekad, mendirikan gubuk di atas tebing tepi laut selatan. Dua tahun di sana bersama penduduk setempat membangun benteng untuk menahan air laut yang merusak sumber air bersih penduduk.
Disaat-saat Romo terserang stroke jantung, oleh dokter dilarang pergi jauh, bekerja keras—persis tengah ramai masalah pembebasan tanah dan munculnya berbagai masalah kasus di Kedung Ombo, mengusik hati nuraninya terpanggil untuk membantu penduduk. “Ternyata masalahnya sama saja: ya lakon sumantri dan Sukrosono itu”. Menurut Romo Mangun yang mengaku hanya sekadar menjadi Palang Merah. Di Kedung Ombo, Romo lebih menitikberatkan pada persoalan-persoalan pendidikan anak, disamping membantu orang-orang tua mereka dari sekadar memberikan obat-obatan sampai membuat perahu.
Apa yang mendasar yang dia lakukan sebetulnya bukan merupakan hal baru,juga bukan sesuatu yang aneh-aneh. Dia mengakui apa yang dilakukan sebetulnya sama seperti yang tertuang dalam Mukadimah Undang-undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan bangsa. Ternyata generasi perintis itu sangat paham, bahwa bangsa kita bisa kacau disebabkan oleh pembodohan, kebodohan dan tidak tegas. Segala hal yang menyangkut kemerdekaan manusia hanya bisa diperoleh dengan kecerdasan, bukan senjata. Tetapi justru di Zaman sekarang ini upaya-upaya media untuk menuju kecerdasan sulit dilaksanakan. Maka di usia tuanya kalau masih diperbolehkan Romo YB. Mangunwijaya ingin mengonsentrasikan dirinya terutama dibidang mencerdaskan anak-anak. Karena penyakit yang mendasar sekarang ini dikarenakan anak-anak tidak dicerdaskan. Bisa melalui pendidikan, undang-undang, bisa melalui TV, media massa, teater, kesenian yang lain–pokoknya yang mengandung unsur mencerdaskan, dan Romo Mangun nampaknya lebih memilih di bidang sastra dan pendidikan anak-anak. Mengapa memilih dunia anak-anak? Karena anak-anak adalah penduduk Indonesia di abad ke-21.
“Semoga hidup saya berguna,” cetusnya serius. Karena itu Romo Mangun ingin menyerahkan jiwa raganya bagi manusia. Beliau berpesan bila meninggal dunia tidak ingin dikubur, tetapi raganya ingin diserahkan ke Fakultas Kedokteran UGM bagian anatomi. ”Ini sesuai dengan jalan hidup saya, biasanya yang dianatomi adalah penjahat, atau jenazah gelandangan yang tak berkeluarga. Seperti Yesus mati bersama para penjahat dan orang miskin ketika disalib, sayapun ingin mati dengan cara mereka, meski tidak disalib”
40-an Yogyakarta, April 1994
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply