Sebuah ironi jika aku mengatakan bahwa self-isolation yang marak dilakukan sekarang gara-gara pandemi yang sedang terjadi merupakan sebuah mukjizat, baik untukku serta proses risetku. Bagi sebagian orang, apalagi para remaja, self-isolation itu menjenuhkan sebab kita sebisa mungkin tinggal di rumah saja, mengurangi aktivitas di luar, dan tak bisa bermain bersama teman-teman. Namun aku menjalani self-isolation seakan hari-hari biasa, malah aku tambah leluasa berkreasi berkat self-isolation.
Mungkin itu disebabkan juga oleh kesukaanku akan lingkungan yang tenang dan damai ketika aku menulis. Aku sering memelototi atau bersikap kurang ajar pada orang-orang yang mengajakku mengobrol disaat aku ingin berkonsentrasi. Jadi self-isolation juga membantuku menghilangkan kebiasaan buruk itu.
Banyak sekali hal positif yang didapatkan dari self-isolation. Kita bisa menginstropeksi diri: hal-hal negatif apa saja dari diri kita yang perlu dihilangkan, bisa mengatur jadwal sehari-hari sesuai yang kita inginkan, juga mendekatkan diri pada Tuhan serta keluarga dan teman-teman.
Proses pelaksanaan risetku berlangsung sangat lancar. Kendala-kendala yang membuatku kehilangan motivasi menulis sering datang dari diri sendiri, tapi biasanya aku menghabiskan waktu yang luang itu buat menonton film, serial televisi, atau video youtube. Karena aku merasa kurang produktif, aku memutuskan buat mendalami menggambar kembali.
Aku kurang bisa menggambar latar belakang, anatomi/pose tubuh, dan ingin memahami teori pewarnaan sama shadow/lightning semenjak dulu. Alhasil setiap kali aku menonton film kemudian menemukan adegan yang menurutku bisa mengeluarkanku dari ‘zona nyaman’, aku mencoba menggambar adegan itu secepat dan sesederhana yang kubisa, tapi konsepnya masih bisa terlihat. Barulah pada malam hari sebelum tidur, yang biasanya kuhabiskan buat mengecek sosial media, sekarang ini lebih sering kuhabiskan dengan memoles kembali gambaran-gambaran yang tadi kukerjakan maupun gambaran-gambaran lama yang belum terselesaikan. Aku juga menyempatkan memuat gambaran-gambaranku di story atau halaman Instagram-ku. Bahagia rasanya bisa mengekspresikan diriku melalui gambar lagi.
Teruntuk riset utamaku sendiri, yaitu menulis cerpen, aku sudah mengirim satu cerpenku minggu lalu ke media BasaBasi. Tinggal menunggu balasannya saja. Minggu lalu aku juga sudah memoles karakter-karakter ceritaku; apa saja goal, motivasi, dan konflik yang bakal dihadapi masing-masing karakter. Sekarang aku mengerjakan cerpen keenamku sembari mencari juga media-media lain buat memuat cerpen.
Kemarin pada tanggal 27 Maret, Pak Toto melaksanakan kelas online via live Instagram. Ada tahapan-tahapan yang dijelaskan melalui kelas online itu: deklaratif, pembuktian, komulatif, serial, dan paralel. Setelah berdiskusi dengan mentorku, Mas Ubed, jika dilihat dari deklarasiku, targetku adalah bisa mengirim. Berarti aku sudah mencapai tahap komulatif. Langkah selanjutnya adalah mengirim lagi karya lain, baik di media yang sama maupun yang lain. Aku sekarang memfokuskan diri memuat lebih banyak karya agar respon yang kuterima dari masyarakat semakin bervariasi.
Kejenuhan akan self-isolation memang kurasakan. Sebelum Covid-19 merajela, aku terkadang menulis di luar kalau aku merasa sudah lelah memandangi sesuatu yang itu-itu terus, seperti kasur dan meja belajar. Aku butuh lingkungan baru meskipun hanya beberapa jam saja. Tapi selebih itu, self-isolation memang top markotop deh bagi orang sepertiku.
Menurutku memang istilah ‘belajar bisa darimana saja dan kapan saja’ ada benarnya. Itu sudah ternanam dalam diriku sejak aku masuk di SALAM. Aku bersimpati pada teman-teman dari sekolah formalku dulu yang mengeluh kebanyakan tugas dan berkelakar mereka malah dapat virus Covid-19 gara-gara imun tubuh mereka yang menurun gara-gara stress tugas. Padahal saat-saat self-isolation sekarang ini, orang-orang, khususnya remaja, bisa merefleksikan apa yang mereka ingin capai atau ingin kembangkan dalam kehidupan. Para remaja yang bersekolah di sekolah formal, yang sehari-hari melaksanakan kegiatan yang sudah dirancang oleh sekolah layaknya robot, kehilangan kendali terhadap hal-hal yang mereka gemari. Mereka kehilangan arah akan tujuan dan motivasi hidup mereka. Tak ada waktu bagi siswa-siswi sekolah formal mengekspresikan talenta yang mereka miliki akibat dipompa terus-menerus oleh mata pelajaran. Maka dari itu jadikanlah self-isolation sebagai ajang mengekspresikan diri, bukan mengurung diri.[]
murid SMA Eksperimental Sanggar Anak Alam
Leave a Reply