Ketika informasi dan sumber-sumber pengetahuan semakin mudah diakses, serta tumbuh menjamur institusi pendidikan sejak dari PAUD hingga Perguruan Tinggi, namun sayang sekali sistem pendidikan yang ada saat ini justru kontradiktif—institusi yang seharusnya berfungsi memberi dampak terhadap pembangunan manusia seutuhnya untuk orientasi ke masa depan, malah justru terjebak dan tertidur di zona nyaman masa lalu.
Seharusnya para pengelola institusi pendidikan yang bernama SEKOLAH, saat ini menyelenggarakan refleksi besar-besaran agar dirinya justru bukan menjadi aktor penghambat pertumbuhan manusia. Memang di masa lalu, sekolah telah menghantarkan kita ke gerbang modernisasi, namun celakanya sekolah pada saat ini tidak disadari juga menggerus kreativitas, ekspresi, motivasi, bahkan menjadi pembunuh kecenderungan dan bakat para siswanya.
Cara belajar kita sekarang akan berdampak pada kebutuhan hidup kita di masa—5 hingga 10 tahun mendatang. Padahal kebutuhan hidup setiap orang tidak lagi sama, bahkan bisa jadi sangat berbeda dengan apa yang dipelajari saat ini.
Ketika kita melewati zaman industri, dunia mulai berubah dan serta merta mempengaruhi mentalitas kita, pelan-pelan kita dibangunkan dan segera terbangun kesadaran bersama atas keterbatasan model pendidikan reduksionis. Kita mulai bisa merasakan ada yang keliru dalam arus maenstream pendidikan kita.
Sebenarnya sistem pendidikan kita pada saat ini dirancang oleh pengaruh era industri di mana pabrik-pabrik membutuhkan buruh untuk menjalankan mesin. Saat itu sekolah terkait erat dengan penyeragaman untuk menjawab kebutuhan produksi massal.
Nilai-nilai di era industri nampak jelas misalnya; ketika kita mengklasifikasi berdasarkan kelas-kelas dan angkatan, mengatur mereka dengan isyarat bunyi lonceng, sistem tersebut sangat bertolak belakang dengan kebutuhan nyata saat ini.
Lebih memilih penyeragaman dibandingkan melihat serta menghargai keberagaman dan tidak mendorong pembelajaran mandiri. Mengedepankan hafalan dibandingkan kreatifitas dan kebebasan berfikir dan daya kritis. Mendukung kompetisi, individualisme dibanding kolaborasi dan kerja-kerja kolektif. Mengutamakan kesuksesan, bukan hadap masalah serta tangguh dalam menghadapi persoalan dan kegagalan. Lebih banyak menyoroti kemampuan analitik dan kognitif namun abai terhadap sensitivitas, empati dan kecerdasan emosional.
Dunia pasca industri membutuhkan serangkaian kompetensi baru dari jagad pendidikan yang lebih komprehensif. Maka, mau tak mau harus masuk dalam gerbang baru yang mampu mengeksplorasi pandangan holistik serta prasyarat desentralisasi pendidikan. Hal tersebut merupakan proses penyempurnaan dari hal yang hanya sekadar mengandalkan ketrampilan kognitif mekanis dan rutin menuju ke tata kelola berfikir yang lebih komplek dan metodologi bekerja yang komplek yang tentu saja memerlukan kaliber sistem pendidikan yang berbeda.
Memahami bahwa laju perubahan dunia yang tidak selalu deterministik dan menyadari perbedaan sudut pandang merupakan modal yang berharga, pentingnya kapasitas adaptif, kreativitas serta kemampuan penalaran kwalitatif dalam rangka mengintegrasikan teori dan penerapannya—semua itu mencakup serangkaian kompetensi manusia yang dibutuhkan di era otomasi.
Ekosistem pendidikan yang lebih luas dibutuhkan untuk memberi kesempatan pengembangan diri seseorang secara holistik. Walaupun saat ini kita menyadari bersama persoalan pendidikan dan berusaha untuk memperbaiki, namun tanpa disadari kita masih memandang dengan cara yang telah lama—sistem, paradigma dan struktur berpikir yang telah usang justru dilanggengkan dan dipraktekkan setiap hari hingga saat ini.
***
Sistem pendidikan berkembang sedemikian rupa dan mengarah, menguat semakin terpusat. Apa yang dimaksud pendidikan yang berkembang sampai saat ini, adalah apa yang terjadi di dalam kotak ruang akademik (sekolah, universitas, perpustakaan dan sejenisnya). Proses belajar dipusatkan di ruang tertutup akademik. Proses pendekatan semacam itu memang cocok diterapkan di era kelangkaan informasi—kenyataan saat ini kita memiliki sumber daya yang mudah dan bebas diakses dan dipelajari banyak orang. Namun dengan sistem pendidikan yang tertutup kita tentu akan sulit memaksimalkan potensi secara efektif, karena kita tidak menganggap itu semua sebagai sumber daya ilmu karena berada di luar kotak ruang pendidikan. Maka dari itu yang kita butuhkan justru menciptakan sistem pendidikan yang terbuka sehingga siswa, setiap orang dapat mengakses potensialitas informasi yang sangat melimpah secara lebih terstruktur, kontekstual dan lebih disesuaikan secara personal.
Pendekatan sistem terbuka akan menghasilkan ekosistem pendidikan yang bersifat inklusif. Terbuka untuk semua orang dan akan menampung seluruh dimensi pembelajaran. Tentu saja pergeseran ini, selain berdampak pada sistem dan struktur pendidikan—dan tentu saja akan terkait pada perubahan pokok bahasan dan proses belajar serta pengalaman belajarnya. Pendekatan sistem terbuka berarti harus beranjak dari kecenderungan unidimensional menuju multidimensional. Dunia telah berubah kini yang dibutuhkan bukan kecerdasan sempit satu dimensi, melainkan serangkaian kompetensi holistik—untuk menjawab itu maka dibutuhkan proses pendidikan yang tidak kaku dan lebih adaptif.
***
Birokrasi pendidikan membutuhkan mekanisme standarisasi agar bisa menjalankan proses pendidikan dalam skala besar. Agar sistem berjalan efektif dibutuhkan sistem komunikasi dari satu ke banyak (satu guru banyak murid), dalam sistem macam ini siswa harus cocok dan sesuai dengan standart yang diterapkan termasuk kesesuaian dengan metode pengajaran, proses dan sistem dalam institusinya—memang model seperti ini tidak dirancang untuk pembelajaran individu, melainkan lebih fokus pada sistem dan pengajarannya. Hal ni menciptakan pendekatan top-down di mana siswa hanya sekadar perlu patuh kepada sistem. Meredam individualitas dan keragaman siswa, dan menjadikan siswa hanya satu cara yang benar, hanya satu jawaban yang benar, satu model siswa ideal—Asumsinya adalah bahwa semua sama, atau bahkan semua harus sama.
Anak-anak memiliki hasrat yang besar untuk belajar, namun pelan-pelan nampak menghilang ketika kita menyekolahkan mereka, ketika kita memasukkan mereka ke gedung yang dirancang untuk tujuan itu. Membagi mereka berdasarkan peringkat, lalu mulai menjejalkan informasi yang belum tentu sesuai dengan minatnya. Premis utama dari pendekatan tersebut adalah: Bahwa kita merasa yang paling tahu atas apa yang harus dipelajari siswa. Itulah sebabnya kita membuat sistem pendidikan seperti yang kita lakukan hingga saat ini, yakni berusaha mencetak siswa ideal. Jika kita berani untuk mengedepankan pengalaman belajar individu dan pokok bahasan sesuai minat yang membuat mereka bergerak maju, maka kita akan mulai melihat bahwa menumbuhkan generasi baru jauh lebih efektif daripada mati-matian berusaha mencetaknya.
Pada dasarnya ini merupakan pergeseran model top-down menuju bottom-up yang lebih fokus pada proses belajar individu. Dalam model berbasis pembelajar , proses belajar didorong oleh aspirasi personal, tujuan dan hal-hal yang mereka minati dibandingkan dengan hanya sekadar mengkerdilkan berbagai keberagaman melalui berbagai kontrol yang mematikan semangat belajar—fokus utama adalah upaya menyalakan dan menstimulasi kembali keingintahuan subjektif individu dan memfasilitasi proses belajar siswa. …. BERSAMBUNG
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply