karya anak salam

Kekuatan Sunyi dari Balik Layar

Oleh Mikhael Wisia Shena Adiwijaya
Siswa Kelas 11 Sanggar Anak Alam (Salam)

Di tengah dunia yang riuh oleh ambisi dan sorotan panggung, nama Basoeki Probowinoto barangkali jarang terdengar. Namun justru dari kesunyian itulah ia menorehkan jejak yang mendalam — bukan bentuk popularitas, melainkan dalam keberanian membangun, merawat, dan menyatukan, dalam diam yang penuh daya.

Basoeki lahir di Tlogomulyo, Purwodadi, pada 1917. Ia tumbuh dari keluarga sederhana yang kaya akan nilai religius. Sejak dini, kecerdasannya tampak menonjol; ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah lebih cepat dari lazimnya. Masa mudanya di Yogyakarta mempertemukannya dengan pemikiran kebangsaan dan diskusi-diskusi tajam di Taman Siswa, bersama tokoh-tokoh nasionalis seperti Ernest Douwes Dekker. Awalnya, ia tidak bercita-cita menjadi pendeta. Tapi jalan hidup membawanya ke dunia teologi — bukan sebagai jalan eksklusif rohani, melainkan pintu menuju pelayanan yang lebih luas bagi sesama dan tanah air.

Menyulam Pelayanan dengan Kebangsaan

Pelayanannya tidak berhenti di mimbar gereja. Di masa pendudukan Jepang, ketika harapan dan ketakutan bersaing di udara, Basoeki justru mengambil peran aktif: menyatukan gereja-gereja Kristen di Jawa, menjadi negosiator dengan pemerintah pendudukan, dan memperjuangkan kemandirian gereja Indonesia. Salah satu momen penting adalah keberhasilannya menggagas Kwintang Akkoord, perjanjian yang memutus ketergantungan gereja-gereja Indonesia terhadap Belanda, sembari menjaga hubungan kemitraan yang sehat.

Setelah kemerdekaan, ia melangkah lebih jauh. Ia turut mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan menyuarakan aspirasi umat Kristen sebagai bagian integral dari Indonesia merdeka — bukan sebagai minoritas yang menuntut ruang, tetapi sebagai warga bangsa yang ikut bertanggung jawab.

Namun kontribusinya tidak berhenti pada forum-forum kenegaraan. Ia adalah arsitek yang senyap dalam membangun pilar-pilar kemanusiaan: mengelola aset zending Belanda menjadi rumah sakit dan sekolah yang melayani rakyat, membangun Yayasan Salib Putih di Salatiga sebagai rumah bagi yatim piatu dan lansia, hingga memelopori pendirian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) untuk menjawab kebutuhan akan pendidikan tinggi yang berpijak pada iman dan nasionalisme. Menariknya, ia menolak jabatan struktural — memilih menjadi penggerak di balik layar.

Saat krisis agraria merebak, ia menggagas program transmigrasi ke Lampung, memindahkan ribuan warga dari Jawa yang kehilangan tanah. Dalam diam, ia menghidupi iman lewat aksi nyata. Bahkan di masa pensiun, ia tetap membangun: memimpin kelompok doa lintas gereja, membina pelayanan kesehatan, dan terus menyalakan obor harapan bagi sesama.

Warisan yang Menyala

Apa yang ditinggalkan Basoeki bukanlah monumen fisik, melainkan nilai dan semangat. Ia menunjukkan bahwa nasionalisme dan iman tidak saling menegasi. Justru bagi Basoeki, membangun Indonesia adalah panggilan iman — bahwa pelayanan sejati adalah menjawab kebutuhan zaman.

Ia mengajarkan bahwa kekuatan bukan berasal dari suara yang paling keras, tetapi dari keteguhan yang paling dalam. Bahwa kesetiaan pada nilai lebih penting daripada mengejar sorotan. Bahwa membangun lebih penting daripada mengkritik. Bahwa menjadi jembatan di tengah perbedaan jauh lebih berharga daripada menjadi tembok pemisah.

Dan mungkin yang paling penting, ia menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan tentang memerintah, tetapi melayani. Kepemimpinan yang tidak haus kuasa, tetapi menyalakan potensi dalam diri orang lain. Kepemimpinan yang membangkitkan, bukan menaklukkan.

Tongkat Estafet Itu Kini di Tangan Kita

Di tengah era digital yang penuh godaan pencitraan, ketika popularitas sering lebih dihargai daripada proses, semangat Probowinoto adalah penyejuk sekaligus pengingat: bahwa membangun negeri ini tidak selalu harus melalui panggung besar. Kadang, ia dimulai dari ruang kelas, komunitas kecil, atau proyek sosial yang mungkin tampak sepele — tetapi mengandung percikan perubahan.

Generasi muda hari ini diundang untuk tidak hanya mengagumi, tapi menghidupi spirit Probowinoto. Berani berkata benar di tengah gelombang opini. Menjadi pembawa damai di ruang-ruang maya yang gaduh oleh hoaks. Menyusun langkah nyata, sekecil apa pun, yang berpihak pada keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan lintas batas.

Karena perubahan tidak selalu datang dari puncak. Seringkali, ia tumbuh pelan dari akar — dari mereka yang bekerja dalam senyap, dengan setia, seperti Basoeki Probowinoto.[]

Sumber: https://kekuatandibaliklayar.blogspot.com/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *