Ada yang menarik dari pengalaman mengantar anak outbound pekan lalu. Meskipun ini bukan kali pertama saya mengantar anak outbound, tapi kali ini saya mencermati sikap fasilitator outbound dengan cukup jeli. Dalam beberapa kali kesempatan saya melihat para trainer itu berusaha (sekuat tenaga) menertibkan bocah-bocah empat tahunan yang jumlahnya 20-an anak. Beragam perintah dan larangan bersautan memenuhi udara. Perintahnya kurang lebih adalah untuk berbaris yang rapi, berjalan satu-satu dan melakukan sesuatu setelah hitungan keberapa. Sementara larangannya agar anak-anak jangan kesana, jangan kesini, jangan berisik.
Dari cermat saya, beragam perintah dan larangan itu tidak begitu dipedulikan anak-anak. Beberapa anak bahkan ada colud alias kabur dari rangkaian kegiatan sebelum kegiatan usai. Mungkin mereka kurang nyaman dengan beragam perintah dan larangan itu. Termasuk anak saya. Saya bahkan mengamati mood beberapa anak yang sangat menantikan kegiatan paling terakhir, nyemplung ke kolam renang, drop. Kolam yang kedalamannya berbeda-beda memang kurang begitu aman. Tapi para trainer tampak sibuk melarang dan memegangi lengan anak yang jelas-jelas sudah memakai pelampung.
Lalu, belum juga 10 menit di dalam air, anak-anak sudah diminta keluar karena kolam akan segera dipakai rombongan lain. Kalimatnya sih bagus. “Teman-teman, kakak punya permainan. Dalam hitungan ketiga,kita akan keluar dari kolam. Siap? Satu,dua, tiga!” Hasilnya? Tak ada satupun anak yang bergeming dari tempatnya.Di akhir acara outbound, mas trainer mengevaluasi dengan menyampaikan agar anak-anak di masa mendatang dapat lebih tertib dan mandiri.
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan bagaimana para trainer ini bersikap. Karena saya mengamati rombongan lain pun mendapat pola pelatihan yang sama. Yang membedakan, para peserta lain yang merupakan rombongan TK dari salah satu sekolah yayasan itu, jauh lebih tertib. Paling tida anak-anak itu lebih gemar berbaris, jago berjalan satu-satu, dan yang pasti keluar dari kolam tepat setelah hitungan dimulai. Mungkin saya saja yang terlalu lama berkutat di ekosistem Sanggar Anak Alam (SALAM).
Namun tetap saja heran saya tak surut melihat bagaimana orang dewasa ingin sekali menertiban anak-anak. Tertib itu baik. Namun melihat dinamika anak-anak dalam ketidak-beraturan, lalu mengajak anak-anak berdinamika kembali untuk menemukan disiplin mereka sendiri itu jauh lebih menarik. Walaupun anak-anak yang bersekolah di SALAM ini terlihat liar, tapi jika menyelam lebih dalam, kita orang dewasa akan melihat yang sebaliknya.
Tentu saja saya tidak akan menjabarkan prosesnya, karena itu akan panjang sekali. Kita lihat saja hasilnya dari contoh-contoh kecil. Seperti di kelas Kelompok Bermain yang setara Playgroup, anak-anak sudah bisa antri saat akan cuci tangan, membuang sampah di tempatnya sekaligusmemilah sampah (plastik, kertas dan organik) ke kantong-kantong sampah yang berbeda. Di kelas yang lebih besar, anak-anak sudah mulai mencuci sendiri piring dan gelasnya setelah makan, membuang sampah organik di biopori serta menjalankan tugas piket kebersihan yang meliputi kelas, kamar mandi dan tempat cuci piring. Di kelas yang jauh lebih besar, anak-anak sudah mampu mengingatkan kawan-kawannya untuk taat pada kesepakatan jadwal belajar yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Anak-anak seperti ini tentu tidak akan keluar dari kolam setelah hitungan ketiga, tanpa diberi tahu alasan yang lebih logis dari sekedar ‘patuh pada aba-aba’.
***
Budaya sekolah ‘tertib dan patuh’ ini besar kemungkinan diadopsi oleh bangsa kita dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda pada jaman baheula. Tergelitik oleh bentuk sekolah yang jatuhnya tak lebih dari menciptakan supply atas demand pegawai-pegawai administratif untuk keperluan kolonial, Tan Malaka sempat menggagas dan menyelenggarakan Sekolah Rakyat yang dimulai bersama SI di Semarang. Gagasannya adalah menyelenggarakan sekolah yang merakyat dan memerdekakan. Sebentar saja bergerak, sekolah besutannya sudah menuai julukan ‘sekolah propaganda’. Tak berselang lama, dengan keprihatinan yang kurang lebih sama, Ki Hajar Dewantara juga menginisiasi Taman Siswa. Namun rupanya kedua sekolah besutan bapak-bapak kebangsaan itu tumbuh dalam idealisasi Barat ketika perlahan kehilangan tokoh-tokoh sang induk gagasan.
Kini, puluhan tahun selepas penjajahan, bangsa kita belum juga merdeka dalam pemikiran. Banyak sekolah bahkan masih terbelenggu pada gagasan ‘sekedar tertib dan patuh’ sebagai standar ideal. Mirisnya, banyak sekali yayasan swasta yang menggubah pendidikan menjadi komoditi. Dengan baliho segede gaban, berpromosi bahwa mereka mampu mencetak generasi terbaik penerus bangsa. Mereka pikir, anak-anak yang kita lahirkan adalah serupa benda padat setengah cair yang bisa dicetak lalu berdiri tegak saat kering. Macam jelly atau batu-bata.
Mengadopsi Barat, Timur, atau manapun sebaiknya tak perlulah kita lakukan. Bangsa kita adalah sesungguh-sungguhnya bangsa yang berbahagia. Tanah subur, sinar matahari melimpah dan air jernih mengalir membuat lagu lama Enno Lerian bukan sekedar bualan. Tanam padi tumbuh padi, tanam sayur tumbuh sayur. Mengadopsi sistem belajar negara lain yang berbeda baik geografi maupun demografi, menciptakan generasi cacat budaya yang tak paham nenek moyangnya. Generasi yang mudah pecah hanya karena sosial media. Sebagian diantaranya sekonyong-konyong jadi ahli agama, yang mengecam konde dan kemben dengan ancaman neraka. Padahal belum sekalipun mereka melihat surga.
***
Membuat anak menjadi tertib, disiplin dan patuh sesungguhnya bukanlah tujuan pendidikan. Pekan lalu saya bertemu kawan dari kawan saya. Kawan saya berkisah, konon kawannya itu bodoh luar biasa untuk urusan mata pelajaran. Urutannya selalu yang terbawah dalam daftar rangking yang dibagi di tiap akhir caturwulan. Tapi buktinya, kawannya kawan saya itu, kini hidup sejahtera dan bahagia dari bakat yang terus ia asah di bidang musik. Banyak sekali kisah macam ini di planet bumi yang (diyakini beberapa orang) datar dan berbentuk seperti piring ceper wadah gorengan ini. ( Saya masih belum menyelidiki keyakinan mereka tentang bentuk matahari dan bulan. Apakah juga datar atau bulat seperti tahu yang digoreng dadakan).
Mari berkaca saja pada Jepang dan Korea Selatan, negara dengan tingkat disiplin tinggi yang justru dipenuhi dengan kasus bunuh diri dengan alasan depresi. Atau simak tulisan Sigit Susanto dalam bukunya ‘Menyusuri Lorong-Lorong Dunia’. Untuk memancing saja di negara istrinya di Swiss sana, harus dengan ijin resmi dari negara. Sekali-kali melihat kedisiplinan negara lain, sering membuat saya bersyukur bahwamenjadi longgar dalam tataran disiplin tak selalu buruk adanya.
Saya tidak sedang menentang kedisiplinan. Tidak pula mengajak bermalas-malasan, mentang-mentang tanam padi tumbuh padi tadi. Saya hanya sedang berpihak pada fitrah seorang anak yang dunia bermainnya kerap direnggut oleh kita, orang dewasa. Padahal sesungguhnya kita sangat bisa membuat anak disiplin dengan sendirinya. Disiplin dengan kesadaran penuh karena kecintaan dan hasratnya pada hal-hal yang ingin ia temukan sendiri. Harus saya akui pendidikan macam itu praksisnya tak pernah mudah. Saya pun sebagai orangtua masih kerap gagal. Namun jika kita mampu menjadikan usaha tersebut sebagai hasrat dan kecintaan sejati, maka suatu hari kita pun akan menemukan caranya. Seperti anak-anak itu, yang memahami karena melakukan dan menguasai karena menemukan sendiri.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply