Pada awalnya, gelar Bapak Pendidikan Nasional diemban oleh Ki Hadjar Dewantoro, namun ironisnya, warisan pendidikannya tak pernah diakui secara luas oleh pemerintah Republik Indonesia. Pendidikan Taman Siswa, yang menjadi gagasan Ki Hadjar Dewantoro, tidak pernah menjadi pilar utama dalam sistem pendidikan nasional. Kurikulum Taman Siswa tidak pernah diadopsi sebagai dasar dalam pedagogi kita.
Kita sering kali lebih fokus pada simbolisme daripada substansi. Ki Hadjar Dewantoro diangkat sebagai Bapak Pendidikan, tetapi gagasan Taman Siswa yang ia bawa tidak pernah sepenuhnya diterima. Taman Siswa tampaknya menjadi sekolah “terlupakan”, terpencil dari institusi-institusi elit dan internasional yang lebih mengadopsi pendidikan Barat.
Secara realistis, gelar Bapak Pendidikan seharusnya diberikan kepada Daendels. Pada tahun 1810, Daendels memperkenalkan sistem sekolah rakyat di Cirebon, yang merupakan awal dari integrasi sistem pendidikan Barat dan Timur di Nusantara. Terinspirasi oleh pemikiran Descartes, Daendels berusaha untuk menyebarkan pengetahuan kepada banyak orang, meskipun kadang-kadang dengan pendekatan yang arogan.
Namun, fokus utama Daendels di Jawa adalah membangun benteng pertahanan melawan Inggris. Meskipun begitu, ia juga mendirikan sekolah bidan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Di sini, Daendels dapat dianggap sebagai pelopor pendidikan kesehatan masyarakat.
Setelah era Daendels, era Raffles membawa perubahan dalam fokus pendidikan. Raffles lebih tertarik pada pengembangan ilmu pengetahuan daripada pendidikan rakyat. Gubernur-Gubernur Jenderal berikutnya juga memiliki fokus yang berbeda, seperti Van den Bosch yang lebih mengutamakan pembangunan ekonomi.
Pada masa Van Heutz, sistem pendidikan rakyat mulai diperhatikan secara serius. Dia menciptakan sistem sekolah desa dan menerapkan pedagogi yang lebih teratur. Upayanya disempurnakan oleh Idenburg dan Van Limburg Stirum dengan mengintegrasikan kurikulum yang teratur.
Meskipun sekolah-sekolah modern sudah ada sejak tahun 1850, pendidikan formal baru menjadi serius pada tahun 1918. Di bawah Van Limburg Stirum, sistem pendidikan mulai digarap secara serius dan menjadi pedoman pedagogis.
Namun, pendirian Taman Siswa pada tahun 1922 oleh Ki Hadjar Dewantoro tidak dimaksudkan sebagai pembentukan sistem pendidikan nasional, tetapi sebagai bentuk perlawanan terhadap kurikulum Belanda yang eksklusif. Meskipun demikian, Taman Siswa gagal menjadi alternatif yang signifikan dalam pendidikan nasional.
Ki Said, seorang guru terkemuka Taman Siswa, mengembangkan pendidikan dengan pendekatan revolusioner yang menghargai bakat setiap individu. Pada masa Ki Said, Taman Siswa mencetak beberapa seniman besar Indonesia.
Kesadaran nasional adalah inti dari pendidikan Taman Siswa, yang merupakan inti dari pemikiran Ki Hadjar Dewantoro. Jika sistem pendidikan nasional tidak menghasilkan kesadaran nasional, maka tidak tepat untuk menyebut Ki Hadjar Dewantoro sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Secara substansial, gelar tersebut lebih cocok untuk Daendels, yang meskipun tidak memiliki agenda nasionalisme, tetap berupaya menyebarkan ilmu pengetahuan yang justru diikuti hingga hari ini. []
pembelajar, pejalan sunyi
Leave a Reply