“Mas, hayuk kita ke sungai, nyusulin yang cewek-cewek!” Ajak Naka yang sudah haus akan petualangan.
Aku yang baru pertama kali mendatangi rumah Pak Sea belum mengetahui letak bagian sungai yang biasa dijadikan tempat untuk ciblon. Karena takut aku nyasar, Pak Sea meminta tolong Awa untuk mengantarkan kami kesana. Meskipun Awa sedang bermain BloxFruit bersama teman-temannya yang lain, ia tetap bersedia menunjukkan jalan kepada kami. Setelah melewati sebuah perempatan dan sampai di tepi sungai, Awa menunjukkan jalan yang perlu kita lalui dan ia pun pamit.
“Gimana cara kita tahu tempat cewek-cewek?” Tanyaku.
“Nanti aku teriakin aja seperti seakan sedang di hutan. Nanti kan suaranya menggema, lalu nanti ketika sampai di mereka, mereka akan berteriak dan menggema balik. Habis itu bisa kita cari lokasinya dari situ.” Jawab Naka.
Naka pun menggunakan jurus teriakan Lumba-lumba-nya.
Kiiiw. Kiiiiw!
Sembari berjalan menyusuri jalan di tepi sungai, Naka secara berkala berteriak. Hingga akhirnya, kami mendengar ada suara-suara seperti sekumpulan orang yang mengobrol. Ketika terdengar, Naka kembali berteriak. Namun akhirnya, teriakan tersebut terbalas.
Kiiw Kiiiw!
Kami bertemu dengan Mba Jatu, Mba Cicik, Lita, Ayya, dan Aleta yang sedang berjalan di tengah sungai. Mereka hendak berjalan kembali ke Rumah Awa. Menyadari bahwa Ganis dan Mba Faridha tidak ada di kelompok tersebut, kami pun bertanya. Ternyata, mereka masih ada di tempat yang airnya tenang dan tidak mau ikut menyusuri sungai dan berniat untuk melewati jalan kering.
“Ayo mas! Kita susur sungai!” Ajak Naka. “Mba Jatu, dalem gak sungainya?” Tanyanya lebih lanjut.
Aleta menjawab, “Ngga terlalu kok!” Mba Jatu menambahkan, “Iya, palingan setengahnya Aleta.”
Dengan informasi tersebut, Naka memutuskan untuk melanjutkan penyusuran sungai. Kami pun berpisah dengan kelompok cewek-cewek penyusur sungai. Setelah berjalan berbeda arah cukup jauh, namun belum benar-benar hilang dari pandangan, kami mendengar teriakan mereka. Ternyata Ayya sedikit terpeleset dan terjatuh hingga rambutnya basah. Namun karena ia terlihat tidak terluka (terlihat dari ia yang meneriakkan sendiri bahwa rambutnya basah dengan antusias), kami tidak kembali kesana dan melanjutkan penelusuran kami.
Di tengah jalan, Naka menemukan sebuah tongkat yang ia imajinasikan menjadi sebuah senapan.
“Mas! Hati-hati disana ada tentara Jepang!” Teriak Naka.
“Oh iya! Itu tampaknya ada sniper disana!” Balasku.
Setelahnya, aku bercerita ke Naka bahwa saat tadi sempat berjalan-jalan sebentar bersama Angger, Awa, Rae dan Kenzi, kita sempat bertemu dengan seseorang yang membawa senapan angin, kita mencurigai bahwa ia sedang memburu burung. “Kalau diburu nanti hilangnya bisa banyak banget, Mas. Nanti kalau Ibu-nya yang terburu, kan pasti anak-anaknya tidak bisa bertahan hidup.” Kata Naka menunjukkan kekhawatiran.
Kiiik kik kikk!
Tetiba muncul suara burung yang menarik perhatian Naka. Ia memberitahuku bahwa itu adalah suara burung Tengkek. “Cari saja mas, kalau nama bahasa Inggrisnya itu Kingfisher.” Jelas Naka. Kita pun celingak celinguk berusaha mencari asal suara tersebut sambil lanjut berjalan.
“Mas! Ada penemuan baru!” Tiba-tiba Naka memanggil.
“Itu!! Ada batu yang berasap! Batunya kayak kepanasan! Wah, kita menemukan fenomena baru!” Lanjut Naka.
Batu tersebut terpapar oleh sinar matahari hingga mengeluarkan asap selama terus menerus. Aku mencoba menyentuh batu tersebut sedikit dan memang cukup panas, meski tidak hingga membakar tangan. Kita juga melihat batu-batu di sekitar sana sebagai perbandingan. Kita juga melihatnya dari sudut pandang yang lebih dekat dan melihat pemandangan yang mirip seperti sedang melihat kompor yang apinya sedang menyala, seperti mengeluarkan hawa panas bergoyang-goyang. Perhatian Naka tertuju pada sinar matahari yang sangat panas.
Kami pun kembali berjalan dan menemukan jalan yang menyempit sehingga aliran air terlihat lebih deras. Naka memberikan peringatan kepadaku untuk berhati-hati pada laba-laba air. Ia menceritakan bahwa gigitan makhluk tersebut akan sangat menyakitkan. Kami melihatnya ada 3-4 makhluk tersebut berjalan melawan arus dan sangat terlihat karena di latar belakangi oleh arus air. Dengan berhati-hati kami melangkah hingga akhirnya kita melihat dua sosok yang kita kenal, yaitu Mba Faridha dan Ganis, yang sedang duduk-duduk di atas batu yang besar. Mereka sedang menghayal apabila ada salah satu musim ketika airnya naik hingga kita semua hidupnya di bawah air selama satu musim.
Setelah menghampiri mereka, kami kemudian melihat suatu benda di belakangnya, yaitu ada tumpukan batu yang cukup tinggi dibanding sekitarnya sehingga mereka ada di atas air, lalu ada karung hijau diatasnya.
“Mas! Ada Tugu Karung Hijau! Ayo, kita kasih cari batu dan kasih persembahan ke batu itu!” Kata Naka.
Untungnya tempat tersebut lumayan dangkal dan jernih sehingga kita bisa dengan mudah melihat batu-batu sungai. Ganis juga mengajak untuk mencari batu yang warnanya bagus. Perhatianku sendiri tertuju pada batu kecil berwarna merah yang sudah terkikis hingga akhirnya berbentuk seperti persegi panjang. Aku pun menaruh batu dan tongkat-tongkat sebagai persembahan untuk tugu tersebut.
“Jadi ceritanya, Tugu itu makamnya Dewa Sungai, mas. Jadi dia sedang bersemedi dan ada burung yang hinggap di kepalanya. Tapi, ada sniper yang mau nembak burung itu. Tapi, pas dia nembak burung itu, burungnya berhasil kabur, tapi justru pelurunya kena kepalanya si dewa sungai. Akhirnya dewa sungainya mati, jadinya ekosistem sungainya jadi hancur. Makanya tadi tumbuhan-tumbuhan di sekitarnya juga pada runtuh-runtuh. Hasilnya, jadi panas banget. Itu makanya tadi batunya sampai kepanasan.”
Di perjalanan pulang menyusuri sungai yang sama, justru kami menemukan banyak hal-hal baru.
“Ih kok bau bangkai ya, Mas?” Tanya Naka yang memang tajam indera penciumannya. Namun, aku yang tidak terlalu peka pun menyadari bau tersebut. Kita berusaha mencari asal usul bau bangkai tersebut, namun tidak berhasil. Tempat itu pun Naka namai sebagai Goa Bangkai, masih berhubungan dengan Dewa Sungai yang terbunuh yang menyebabkan ekosistem tersebut menjadi rusak.
Setelah itu, kami juga menemukan sebuah kantong plastik yang menyangkut di sebuah batu. Naka menamainya Rock Trash. Aku memberi balasan, bagaimana kalau T-Rock (agar seperti T-Rex). Naka berkata, “Wah, ekosistemnya rusak mas karena tidak ada sudah tidak ada pelindungnya. Akhirnya, banyak orang yang membuang sampah disini. Ini juga gara-gara Dewa Sungai tewas, aliran sungainya tidak tinggi jadinya banyak sampah yang menyangkut di sungai seperti ini.”
Di sisi sungai sebaliknya, kita juga melihat batu besar yang cukup aneh, karena atasnya benar-benar rata dan sisi-sisi sampingnya pun begitu. Kita namakan batu tersebut, Batu Kotak.
Oh iya, sebelum perjalanan pulang tadi, Naka menyarankan untuk membawa batu yang cukup besar dan tajam untuk membuat bolongan di Batu Kepanasan agar kita bisa menyiramkan air untuk menyegarkan batu tersebut. Sesampainya di Batu Kepanasan, batu tersebut sudah tidak berasap seperti sebelumnya. Namun tetap kita berusaha mencegah batu tersebut untuk kepanasan lagi dengan memberikannya cadangan air. Naka memukul bagian atas batu tersebut yang sedikit tertutup oleh tanah dan mengajakku untuk ikut mengguyur batu tersebut agar tidak kepanasan lagi. Setelah kita berharap bahwa akan ada yang dapat memberikan perhatian kepada batu tersebut sebagai ganti Dewa Sungai yang sudah tewas, kami beranjak pulang.
Sesaat sebelum naik dari sungai, kami baru menyadari ada akar beringin yang membentang seakan membelah sungai. “Oh, itu tembok pembatas Sungai Utara dan Sungai Selatan, Mas. Pengaruh tewasnya Dewa Sungai Utara hanya sampai sini. Di bagian sana, sudah ada Dewa Sungai yang berbeda. Yang bisa lewat hanya airnya saja, kalau binatangnya tidak bisa lewat.” Kata Naka.
Di jalan ke rumah Awa, Naka melihat rumah yang di depannya banyak terdapat karangan bunga yang merayakan pernikahan. “Mungkin tadi sampah-sampah di Sungai Utara tadi berasal dari sini ya.” Celetuk Naka.
“Jadi, tadi kita melihat berapa hal ya?” Tanya Naka. Jika kita runtut, ada Tembok Pemisah, Batu Kepanasan, Batu Kotak, T-Rock, Goa Bangkai, dan Tugu Karung Hijau. “Ada 6 ya!” Ujar Naka. Sesampainya di rumah Awa, Naka pun menceritakan perjalanan tersebut kepada Rakkai dan Angger yang tampaknya tertarik dengan rute tersebut.[]
*** Diambil dari catatan fasilitator kls 4 SALAM
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply