Cara belajar di Sanggar Anak Alam (SALAM) akhir-akhir ini kerap menjadi sorotan dari banyak pihak. Sejak Kurikulum Merdeka diluncurkan, entah sudah ada berapa banyak institusi sekolah yang menghubungi untuk belajar tentang metode belajar SALAM. Satu hal yang saya amati, pertanyaan kawan-kawan dari sekolah lain adalah tentang bagaimana SALAM menerapkan pembelajaran berbasis riset.
Cara belajar berbasis riset yang diterapkan SALAM memang identik dengan metode Project Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis proyek yang sedang hype di kalangan guru. Hasil telisik saya yang bukan guru, PBL menjadi buah bibir sejak beredarnya Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 yang terbit pada awal masa pandemi. Dalam surat edaran tersebut, selain meniadakan Ujian Nasional, Mendikbud juga mendorong terjadinya pembelajaran yang bermakna.
Namun, dalam pandangan saya sebagai warga belajar di SALAM, cara belajar berbasis riset dan PBL tidak bisa diperbandingkan ‘apel dengan apel’. Sedikit yang saya tahu, PBL menjadi salah satu metode untuk mengemas pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Sementara cara belajar di SALAM yang berbasis riset tidak hanya sekadar metode. ‘Riset’ telah menjadi cara pandang yang menstimulasi bertemunya anak dengan objek belajar yang kontekstual hingga menggugurkan mata pelajaran.
Apa, bagaimana tips penerapannya, hingga kelemahan dan kelebihan PBL, bisa kita ketahui dengan mudah lewat penelusuran daring. Namun, bagaimana praktik sesungguhnya di lapangan, sedikit sekali cerita yang bisa saya dapat hanya dengan mengandalkan internet.
Beberapa kisah tentang praktik PBL di sekolah yang pernah saya tahu, justru datang dari tamu-tamu SALAM. Salah satunya tentang praktik pengelolaan sampah yang menghasilkan produk eco enzyme yang diterapkan Sekolah Asrama Taruna Papua, yang berkunjung ke SALAM akhir September 2022 lalu. Seru dan menarik, itulah kesan yang saya tangkap dari praktik PBL tersebut.
Tapi satu hal yang belum ‘tebal’ dari praktik tersebut adalah tentang keterlibatan anak, terutama pada tahap penggalian ide hingga eksekusi. Menggali ide dari anak atau peserta didik memang bukan hal yang mudah. Banyak sekali prasyarat agar ide dan gagasan anak dapat terartikulasikan dalam diskusi. Relasi pendidik dan peserta didik yang setara, adalah salah satu prasyarat utama.
Bahkan di SALAM, yang sudah meruntuhkan peran ‘pendidik’ dan menggantinya dengan peran ‘fasilitator’, dialog yang setara tetap menjadi tantangan untuk diwujudkan. Lebih sulit lagi, ketika penggalian ide dan gagasan dari anak tidak hanya untuk urusan memilih tema riset. Di SALAM, hampir semua peristiwa belajar dibangun dengan penggalian gagasan yang partisipatoris.
Itu sebabnya, fasilitator di SALAM tidak pernah memiliki RPP yang konkrit dan tebal. Melirik kembali hasil perencanaan fasilitator awal semester lalu, perencanaan yang dibuat oleh tiap fasilitator hanya sebatas agenda kelas, indikator capaian belajar kelas, dan agenda-agenda untuk rekapitulasi dan ungkap data. Kalau dijabarkan secara fisik, hanya beberapa halaman jurnal. Tipis, Lur.
Namun, kemampuan fasilitasi diuji cukup banyak ketika semester berjalan. Ketika riset mandiri dan kegiatan kelas mulai berjalan, fasilitator akan membantu anak dalam proses ungkap data dengan memberi berbagai pertanyaan. Ketika data-data mulai terkumpul, fasilitator perlu menggali lagi hingga anak mampu menganalisis temuannya. Setelah itu, dengan pemahaman akan indikator capaian yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap, fasilitator melakukan kodifikasi. Di sinilah orientasi dan kreatifitas fasilitator diuji. Dan di sinilah referensi dibutuhkan.
Partisipatori yang Organik
Lalu bagaimana kelas berjalan? Bagi awam yang mengamati, mungkin kesan yang tertangkap adalah kelas berjalan dengan pating blasur alias berantakan. Tidak ada jadwal pelajaran, tidak ada buku paket, bahkan tidak ada mata pelajaran. Minggu-minggu awal semester, setiap kelas akan sibuk membuat kesepakatan kelas, dan berlanjut dengan memandu tiap anak membuat agenda riset. Setelahnya, dengan berbagai metode, perencanaan riset tiap anak tersebut dipresentasikan pada teman-teman dan orang tua/ wali.
Setelah itu, kelas akan berjalan sesuai agenda-agenda longgar yang telah dibuat. Kenapa saya menyebutnya longgar? Karena umumnya kami hanya menyepakati garis besar kegiatan rutin. Sementara detail kegiatannya direncencanakan bersama seluruh warga kelas beberapa hari sebelumnya. Hari-hari tertentu, anak akan didorong untuk melaksanakan risetnya. Entah dengan praktik di rumah/ sekolah, melakukan wawancara, atau menulis. Sisanya adalah kegiatan bersama dengan teman-teman satu kelas.
Salah satu kegiatan bersama di kelas yang saya dampingi adalah kelas literasi. Tapi jangan dibayangkan bahwa di kelas literasi, kami akan duduk tekun membaca. Distraksi gadget dan gurauan teman jelas tidak akan mampu membuat kami tenggelam dalam bacaan. Itu sebabnya banyak media dipilih sebagai bacaan di kelas ini, mulai dari artikel berita, cukilan buku, film, hingga diskusi langsung bersama praktisi. Berita tentang apa? Bukunya apa? Kalau film, filmnya apa? Praktisinya siapa? Itu semua tergantung peristiwa dan gagasan yang muncul sebelumnya.
Itu sebabnya agenda kelas kerap dibuat longgar, karena kembali pada setelan dasar SALAM, semua gagasan harus digali secara partisipatoris. Seperti yang terjadi awal semester lalu, Mezbah, salah satu teman di kelas 10 bercerita panjang lebar tentang keluarganya seusai jam sekolah. Saya dan Mbak Tyas, yang saat itu turut menyimak ceritanya, kemudian terpantik ide untuk memberi penugasan membuat ‘silsilah keluarga’ untuk seluruh warga kelas 10 dan 11. Setiap anak diminta menuliskan silsilah dari orang tua hingga kakek nenek, sekaligus mencari tahu tentang tahun kelahiran serta hobi atau profesi masing-masing anggota keluarga.
Silsilah tersebut kemudian dipresentasikan secara ringan sebagai agenda kelas. Saya membantu visualisasi silsilah dengan menggambar di papan tulis, kemudian rekan fasilitator yang lain membantu menggali dengan pertanyaan. Kegiatan mempresentasikan silsilah keluarga yang berlangsung dalam beberapa kali pertemuan ini membuat seluruh warga belajar memiliki data tentang potensi-potensi yang ada di keluarga teman-teman satu kelas. Berbagai hobi dan profesi orang tua yang muncul saat presentasi silsilah keluarga, menjadi tabungan jika di kemudian hari salah satu dari kami membutuhkan sumber belajar tentang bidang tertentu.
Beberapa minggu kemudian, salah satu teman di kelas 10, Hesa, mengusulkan kegiatan menonton film sebagai agenda kelas. Mezbah setuju. Mezbah bahkan segera mengusulkan satu judul film pendek dengan twist ending yang menurutnya menarik untuk ditonton bersama. Kami kemudian sepakat untuk memilih materi film pendek agar ada cukup waktu untuk mendiskusikan setiap film usai menontonnya. Setiap orang boleh mengusulkan judul film pendek yang ingin ditonton. Alhasil, hari itu kami menonton enam film pendek. Diskusi di tiap akhir film adalah tentang alur, akting para pemain, hingga isu yang diangkat di tiap film.
Salah satu film pendek yang kami tonton siang itu berjudul ‘Wayah Surup’. Film pendek buatan Getar, alumni SMP SALAM, tersebut memantik ide Hesa yang pada saat pembuatannya turut berperan sebagai juru kamera. “Bikin film lagi, yuk!”
Lontaran ide itu disambut baik oleh teman-teman satu kelas. Pak Aji, Tantra, Sherel, dan saya bahkan masih berdiskusi tentang ide ini meskipun jam sekolah telah usai. Gagasan-gagasan hasil diskusi ini kemudian kami diskusikan lagi keesokan harinya saat formasi kelas cukup lengkap.
Diskusi mengalir dari pertanyaan “Apa saja genre-genre film?”, “Dengan talent teman-teman kelas 10, tokoh dan setting cerita apa saja yang bisa muncul?”, hingga “Isu apa yang akan diangkat?” Mezbah dan Masayu, dua diantara teman belajar di kelas 10, masing-masing mengusulkan sebuah tema yang cukup berat untuk diangkat sebagai isu dalam film pendek buatan kami: kelas sosial dan patriarki.
Diskusi kemudian berlanjut tentang apa itu patriarki? Sejauh apa pemahaman teman-teman tentang patriarki? Apa itu seksisme, feminisme, dan bias gender? Apa itu kelas sosial? Apakah teman-teman pernah mengalami secara langsung isu-isu tersebut dalam kehidupan sehari-hari?
Kami kemudian memanggil ingatan tentang salah satu film pendek yang kami saksikan sebelumnya yang berjudul ‘Anak Lanang’. Kami kemudian mengamati bagaimana dialog-dialog yang terjadi di film tersebut dapat membangun isu.
Kami kemudian menyadari bahwa dialog adalah elemen utama dalam membangun tema film. Selain tentu saja ada gimmick-gimmick lain seperti guyonan dan adegan yang juga berperan memancing dialog tersebut muncul. Selain itu, alur cerita yang menarik, ending yang bikin mikir, sinematografi yang enak dilihat, akting yang natural, dan pemilihan peran yang pas, menjadi elemen-elemen yang membuat sebuah film makin disukai.
Sampai di sini saja, kegiatan yang merespon usul spontan untuk menonton film, telah berkembang ke berbagai aspek pengetahuan. Jadi, menidaklanjuti percikan ide, “Bikin film lagi, yuk!” menurut saya sungguh layak untuk diseriusi sebagai peristiwa belajar.
Awal minggu ini, saya menindak lanjuti percikan ide ini dengan membagikan secarik kertas untuk tiap anak dan fasilitator. Saya meminta setiap orang menulis secuil dialog pendek dengan tema-tema yang diusulkan Mezbah dan Masayu. Dialog-dialog ini kemudian akan menjadi ‘sumbangan dialog’ dan dikompilasi dalam sebuah proses penulisan naskah yang ‘partisipatoris’.
Namun, rupanya dialog sumbangan dari teman-teman ini masih sangat sedikit dan cukup sulit untuk dikompilasi dalam sebuah alur cerita meskipun telah memiliki keterkaitan tema. Kesulitan ini saya hadapi saat merekapitulasi dialog dalam satu file MSWord. Saat itu saya sempat berceletuk ke Hesa dan Bintang. “Kok susah yo?”
“Tanya bapaknya Masayu tu lho,” usul Hesa. bapaknya Masayu, Pak Joko, adalah seorang seniman ketoprak. Dari cerita Masayu saat kegiatan silsilah keluarga, Pak Joko kerap berperan menjadi penulis naskah dan sutradara dalam berbagai pementasan ketoprak.
“Apa besok kita undang Pak Joko diskusi di kelas ya?”
“Hambok hooh, Bu!” sahut Bintang, teman kelas 11 yang juga terlibat dalam pembuatan film pendek ini. Setelah berkoordinasi singkat dengan Masayu lewat Whatsapp, saya mendapat kabar gembira. Pak Joko bersedia hadir sebagai narasumber di pertemuan berikutnya untuk memberi tips penulisan naskah.
Diskusi bersama Pak Joko pun berlangsung cukup menarik. Terutama karena kami sudah memiliki ‘bahan baku’ berupa kolase dialog usulan teman-teman. ‘Bahan baku’ ini kemudian direspon, dikomentari, dan menjadi bahan brainstorming untuk membangun alur hingga membangun karakter tokoh-tokohnya. Selain memberi gambaran tentang bagaimana proses penulisan naskah, Pak Joko juga bercerita tentang pengalamannya dalam produksi film. Hal ini membuat kami menyadari bahwa ada beberapa pos kru yang sebelumnya tidak terpikirkan, muncul menjadi kebutuhan.
Bagi saya pribadi, satu poin yang paling menarik dalam diskusi ini adalah jawaban Pak Joko saat kami bertanya tentang tips menulis. Menurut Pak Joko, penulis yang baik adalah penulis yang mampu menangkap referensi nyata, yaitu peristiwa. Buku dan film bisa saja jadi referensi untuk memantik ide. Tetapi saat sudah waktunya menulis, ingatan akan peristiwa-peristiwa yang pernah kita alami dan amati menjadi amunisi utama dalam menulis.
Hal ini membuat saya menginsafi pesan Pak Toto Rahardjo, think tank-nya SALAM. “Referensi itu harus ditaruh di belakang!” Cara belajar SALAM, yang bolak-balik dikisahkan bahwa selalu berangkat dari peristiwa, memang tidak pernah memiliki buku modul, buku paket, bahkan daftar bacaan wajib di setiap jenjangnya. Setiap peristiwa direspon agar menjadi keingintahuan, dan ketika muncul kebutuhan, baru referensi dicari sebagai sesungguh-sungguhnya referensi.
Dinamika seperti ini tidak akan muncul jika sejak awal, fasilitator mengagendakan ‘membuat film pendek’ sebagai agenda bersama, kemudian membawa bacaan tentang ‘bagaimana menulis skenario film’ sejak minggu-minggu awal semester.
Berapa banyak peristiwa partisipatori di kelas yang akan terlewatkan? Kami akan melewatkan ‘silsilah keluarga’ sehingga kami akan buta tentang potensi apa saja yang bisa kami jadikan sumber belajar dari orang tua/ wali murid. Usulan kegiatan ‘menonton film’ juga mungkin tidak muncul karena fasilitator sibuk memenuhi target. Lalu, ketika referensi tentang ‘bagaimana menulis skenario film’ saja sudah begitu membosankan, bisa dipastikan percikan ide membuat film pendek pun tidak terpantik.
Jadi, beneran nih, kami mau bikin film? Shootingnya kapan? Alur ceritanya gimana? Tayangnya kapan? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa saya jawab dengan pasti, karena yang ingin kami bangun adalah proses belajar partisipatori yang organik, nggak pakai micin. (*)

Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply