Berproses bersama Sanggar Anak Alam sejak masa Taman Anak (TA) membuat Banyu tumbuh dalam ruang yang hangat dan akrab—sebuah “zona nyaman” yang dibangun dari kebiasaan bertanya, bereksperimen, dan mendapat respons penuh perhatian dari orang tua maupun para fasilitator. Dalam setiap percakapan kecil, dalam setiap kelokan proses belajar, rasa ingin tahunya hampir selalu disambut dengan cara-cara yang kreatif dan menguatkan.
Ketika hari presentasi tiba, remaja berambut ikal itu tampak menyadari bahwa semester ini adalah titik balik: sebuah momentum untuk merenggangkan batas-batas yang selama ini melindunginya. Ia menyebut prosesnya kali ini sebagai upaya keluar dari kenyamanan lama—sebuah percobaan untuk mengasah kemampuan yang selama ini hanya terasa samar, seperti bakat yang menunggu dipanggil pulang.
Tantangan itu ia jawab dengan melangkah keluar dari rutinitasnya dan mendaftar pada kursus menggambar di L’Asry. Di kalangan pelaku seni rupa Yogyakarta, L’Asry dikenal sebagai ruang belajar nonformal yang bernaung di bawah Museum dan Tanah Liat (MDTL). Ruang ini lahir dari gagasan para seniman yang percaya bahwa proses belajar seni tidak hanya berlangsung melalui teori, tetapi melalui laku melihat, merasakan, merespons, dan kemudian mewujudkannya dalam karya.
Di sana, penguatan dasar seni rupa dilakukan melalui rangkaian latihan teknis, eksplorasi berbagai medium, serta pendampingan intensif oleh para seniman dan pengajar yang masih aktif berkarya. Di berbagai sudut ruang belajarnya, sering terlihat anak-anak muda—kebanyakan calon mahasiswa seni rupa yang tengah mempersiapkan diri untuk masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta—mengasah kepekaan visual mereka. Kini, Banyu hadir di antara mereka, membawa pertanyaannya sendiri tentang batas kemampuan dan arah langkahnya.
Remaja berusia 17 tahun itu mengaku bahwa pemahamannya tentang menggambar seakan terbalik selama mengikuti program tersebut. Selama berproses di SALAM, Banyu tumbuh dengan keyakinan bahwa ia telah memiliki kemampuan menggambar yang cukup mapan. Namun, ritme belajar di L’Asry membuka perspektif baru: kemampuannya ternyata masih jauh dari apa yang ia bayangkan.
Alih-alih membuatnya mundur, pengalaman itu justru memantik rasa ingin tahu dan dorongan untuk menantang dirinya lebih jauh. Dalam satu percakapan, Banyu mengingat kembali momen ketika kepercayaan dirinya runtuh seketika. “Di sini tuh awalnya santai, sudah yakin bisa,” ujarnya sambil tersenyum kecil, “tapi sampai di sana aku ternyata rendah banget.”
Sejak pengalaman awal yang mengguncang keyakinannya itu, Banyu memasuki ritme belajar yang jauh lebih ketat dan terstruktur. Kelas utamanya kini berlangsung di luar SALAM, dengan jadwal harian yang menuntut fokus penuh. Senin ia habiskan untuk mempelajari nirmana bersama Pak Rain, sementara Selasa menjadi ruang bagi latihan sketsa yang intensif bersama Pak Levi.
Rabu ia dedikasikan untuk memperdalam pemahaman dan keterampilan menggambar bentuk, dipandu oleh Pak Mahdi—kelas yang bagi Banyu terasa seperti fondasi yang terus ia bangun ulang. Pada Kamis dan Jumat, ia berpindah ke ranah seni lukis bersama Pak Joko dan Pak Ugo, serta mengenal medium alternatif di bawah bimbingan Pak Ali.
Dalam pengamatannya sendiri, perubahan mulai tampak pada karya-karyanya: komposisi yang lebih tertata, bentuk yang lebih terkendali. Dengan senyum malu yang muncul sekilas, ia mengaku, “Sebelumnya kan kacau.”
Proses pencariannya atas gaya artistik, Banyu perlahan mengenali bahwa ia memiliki kecenderungan teknis dan estetika yang cukup kuat. Hal itu terlihat dari pilihan warna, cara ia menata komposisi, serta simbol-simbol yang ia selipkan sebagai penanda kehadirannya dalam setiap karya.
Warna menjadi salah satu elemen yang paling mencolok. Dalam banyak karyanya, Banyu cenderung kembali pada merah dan biru—dua warna yang ia gambarkan sebagai “rumah” baginya. Ia menyebut bahwa perpaduan panasnya merah dan dinginnya biru menciptakan ruang tenang, seperti keseimbangan emosional yang ingin ia jaga ketika berkarya.
Dalam satu kesempatan, Banyu juga memaparkan proses kreatif di balik desain poster pameran Unity of Diversity OAS SALAM yang terpasang di depan perpustakaan sekolah. Ia menjelaskan alurnya dengan rinci: dimulai dari sketsa menggunakan pensil, diperkuat dengan pena, lalu dipindai dan masuk ke tahap pengolahan digital. Proses bertahap itu, baginya, bukan sekadar teknis, tetapi cara untuk memastikan bahwa setiap garis dan tekstur berpindah dari tangan ke layar tanpa kehilangan napas awalnya.

“Poster itu menggambarkan kebersamaan, tangan yang menyatu, dan unsur tumbuhan,” ujar Banyu ketika menerangkan makna visual yang ia bangun. Ia melihat karya tersebut sebagai wujud dari keterampilan baru yang ia serap dari ruang-ruang kelas di L’Asry—sebuah bukti bahwa komposisinya kini terasa lebih matang dan terarah.
Meskipun mulai percaya diri dengan perkembangan tekniknya, Banyu menyadari bahwa masih banyak tantangan yang menunggu untuk dihadapi. Ia menyebut gradasi, komposisi, dan pencampuran warna sebagai tiga medan latihan yang paling menuntut kepekaan. Semua itu ia lakukan agar karya-karyanya tidak tampak “fals” atau janggal ketika dilihat. Dari proses panjang itu, Banyu merasa telah menemukan semacam “kunci,” terutama ketika mengerjakan ilustrasi yang melibatkan banyak campuran warna.
Di tengah pencarian itu, Banyu mulai melihat kontur khas pada gayanya sendiri. Namun, ia enggan mengikat diri terlalu cepat pada satu aliran tertentu; baginya, dunia abstrak dan realis sama-sama menawarkan medan bermain yang menarik. Meski begitu, ada satu penanda visual yang hampir selalu hadir dalam karya personalnya: gambar mata. Simbol itu ia sisipkan sebagai semacam tanda tangan batin—unsur yang hanya ia hadirkan ketika membuat karya untuk dirinya sendiri, bukan untuk pesanan yang menuntut posisi lebih profesional.
Seni sebagai Respon Emosional
Dalam salah satu sesi, Bu Wahya mengajukan pertanyaan yang lebih reflektif: pesan apa yang sesungguhnya ingin Banyu sampaikan melalui karya-karyanya? Meskipun saat ini ia sedang berfokus pada peningkatan keterampilan teknis, pertanyaan itu mengarah pada ranah lain—situasi apa yang ingin ia komentari melalui seni?
Bagi Banyu, seni tidak hanya perkara teknik atau estetika; ia adalah medium untuk merespons realitas yang bersinggungan dengan emosinya. Ia kemudian bercerita tentang proses kreatif di balik salah satu karya responsifnya, yang muncul setelah tragedi penabrakan seorang driver ojek online oleh aparat negara beberapa waktu lalu.
Rasa jengkel memenuhi dirinya ketika lini masa Instagram dipadati unggahan demonstrasi yang bernuansa mencekam. Alih-alih hanya mengikuti arus kemarahan di dunia maya, Banyu memilih meresponsnya melalui gambar. Ia melukis sosok garuda yang menangis sambil memeluk bendera merah putih—sebuah representasi simbolik dari kesedihan sekaligus kekecewaan terhadap kekerasan yang ia saksikan.

“Ini simbol keprihatinan,” ungkapnya pelan ketika menggambarkan makna di balik lukisan garuda yang menangis. Meski karya itu lahir dari luapan emosi terhadap situasi yang mencekam, Banyu memilih menggunakan warna-warna netral. Ia menjelaskan bahwa saat itu perasaannya bukan marah, bukan pula sedih—lebih kepada kebingungan yang mengambang, sesuatu yang tidak biasa ia rasakan.
Ketika Bu Wahya menyinggung soal pentingnya referensi dalam berkarya, Banyu menjawab dengan tegas: referensi adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses kreatifnya. Karena itu, ia membiasakan diri membaca—baik buku fisik maupun sumber digital—untuk memperluas pemahaman dan memperkaya imajinasi. Referensi, baginya, bukan sekadar mencari ide, tetapi juga cara untuk membuka kemungkinan-kemungkinan visual yang baru.
Kesulitan yang ia hadapi sekarang, katanya, bukan lagi soal teknis. Tantangan utamanya adalah bagaimana merepresentasikan suasana, bagaimana membuat orang yang melihat karyanya merasakan sesuatu yang ia bangun di dalam lukisan. Ini menjadi medan pencarian yang lebih subtil, menuntut kepekaan dan intuisi.
Di tengah proses panjang itu, Banyu menyadari adanya pergeseran minat yang cukup signifikan di dalam dirinya. Cita-cita awalnya untuk masuk ke jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) kini bergeser hampir seratus delapan puluh derajat ke arah seni murni. Ia melihat DKV sebagai dunia yang lebih komersial, tempat seniman harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan selera orang lain. Sementara seni murni, menurutnya, memberikan ruang kemerdekaan yang lebih luas—ruang di mana ia bisa mengekspresikan dirinya tanpa batasan yang mengikat.
“Kalau DKV itu kita harus patuh sama orang, seperti robot,” ujarnya tanpa ragu. “Sementara seni murni memungkinkan untuk bekerja idealis.”
Pernyataan itu bukan sekadar preferensi akademik; bagi Banyu, ini adalah pergantian arah yang lahir dari kebutuhan untuk berkarya secara lebih jujur, lebih selaras dengan suara batinnya sendiri.
Ke depan, Banyu berencana mencatat isu-isu harian dan dinamika yang ia temui di lingkungan terdekatnya. Ia juga sedang mengumpulkan jejak-jejak perenungan yang tumbuh selama perjalanannya di SALAM. Semua itu, katanya, akan menjadi bahan yang ia terjemahkan menjadi karya—semacam arsip emosional dan sosial yang lahir dari kedekatannya dengan ruang hidupnya.
Ia merencanakan sebuah pameran kecil semester depan, tempat ia ingin mempresentasikan karya-karya yang lahir dari masa perenungan itu. Harapannya sederhana namun dalam: setiap karya dapat memantulkan keragaman dalam kebersamaan yang ia rasakan selama bertahun-tahun berproses di SALAM—sebuah rumah belajar yang membentuk cara pandangnya terhadap seni, diri sendiri, dan dunia.[]
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply