Di kelas 1 SD Salam angkatan 2025/2026, hadir sepasang anak perempuan kembar: Sika dan Mika. Dalam gelar karya tahun ini, keduanya tampil membawa hasil riset masing-masing—Sika dengan kue, Mika dengan es buah. Tema yang mereka pilih tidak serupa, seolah menegaskan identitas yang sedang mereka bangun di luar bayang-bayang kekembaran. Namun, di balik perbedaan itu, ada jejak yang mempertemukan kembali langkah mereka: narasumber utama riset keduanya adalah sosok yang sama, Uti. Melalui Uti, riset mereka menemukan pijakan, dan melalui karya masing-masing, mereka memperlihatkan bagaimana dua anak kembar dapat berjalan pada jalur belajar yang berbeda, tetapi tetap bersinggungan pada titik-titik keseharian keluarga.

Mika semula menetapkan penjual es buah favoritnya sebagai narasumber. Namun rencana itu berubah ketika ia berhadapan dengan kenyataan yang kurang menyenangkan: sang penjual tidak menunjukkan keramahan yang diharapkan, bahkan memilih tidak menjawab telepon dari Mika.
Menurut Ibu Tari (ibunya Mika), pengalaman itu sempat membuat Mika merunduk—lesu oleh rasa ditolak dalam upaya pertamanya mencari narasumber riset di Salam. Kesedihan itu tampak sebagai pengalaman awal yang mengajarinya bahwa riset pun punya pintu yang kadang tidak terbuka.
Beruntung, kelesuan itu tidak berlangsung lama. Ibu Mika kemudian mengingatkan tentang es buah buatan Uti—hidangan yang selalu hadir sebagai menu buka puasa di rumah. Dari pengingat sederhana itu, Mika menemukan kembali jalur risetnya, sekaligus titik kedekatan yang menenangkan: bahwa ilmu, kadang, justru tumbuh dari dapur keluarga sendiri.
Setelah mengalihkan narasumber risetnya kepada Uti, semangat Mika kembali terangkat. Ia sendiri mengakui bahwa es buah buatan Uti adalah yang terenak—sebuah standar rasa yang menjadi kompas baru dalam penelitiannya. Rasa percaya dirinya tumbuh kembali, meski satu tantangan lain menunggu: Uti tinggal di Banyumas. Untuk belajar langsung dari sumbernya, Mika, ibu, serta saudari kembarnya perlu melakukan perjalanan pulang kampung.
Sebelum benar-benar bertemu Uti, Mika telah lebih dulu mencoba bereksperimen di Jogja bersama ibunya. Ia membeli aneka buah dari toko dekat Superindo. Pada percobaan pertama, hasilnya belum memuaskan; bagi Mika, rasanya “masih kurang pas.” Dari situ, keinginannya untuk belajar langsung dari Uti semakin kuat. Ia meminta agar keluarga segera mudik ke Banyumas.
Setibanya di rumah Uti, proses belajar berlangsung lebih hangat dan terarah. Mika mencoba lagi, mengikuti petunjuk Uti, dan kali ini ia berhasil menghasilkan es buah yang rasanya “tepat” menurut standarnya sendiri. Resep itulah—hasil dari belajar langsung di Banyumas—yang kemudian ia gunakan untuk membuat es buah yang disajikan pada gelar karya.
Dalam momen presentasi, Mika tampak malu-malu ketika menjelaskan proses risetnya. Ia lebih tenang bila ibunya berada di dekatnya, seolah kehadiran Ibu Tari menjadi ruang aman yang membantunya menata kata. Namun ketika kami berbincang lebih personal, wajah Mika berubah cerah. Ia bercerita dengan gembira bahwa tema riset ini ia pilih sendiri—semata karena ia memang menyukai es buah, hidangan yang memberinya kenikmatan sederhana dalam keseharian.
Menurut Ibu Tari, perjalanan riset ini membawa dampak yang tidak disangka: kemampuan menulis Mika berkembang pesat. Ia menjadi lebih tekun mencatat, dan kerapian tulisan tangannya meningkat jauh dibandingkan sebelumnya. Proses riset, dalam kasus Mika, bukan hanya tentang menemukan resep es buah yang pas, tetapi juga tentang menemukan irama kerja yang membuatnya tumbuh pelan-pelan sebagai pembelajar.
Ada satu hal lain yang menarik perhatian Ibu Tari selama mendampingi perjalanan riset Mika. Ia bercerita tentang momen ketika Mika, dalam perjalanan membeli buah, tiba-tiba menanyakan mengapa plat nomor kendaraan di jalan tampak berbeda-beda. Dari satu pertanyaan sederhana itu, obrolan mereka meluas menjadi pelajaran kecil tentang asal-usul kode plat nomor dari berbagai daerah. Sejak hari itu, Mika semakin rajin mengamati jalanan: AA dari Kedu, AB dari DIY, R dari Banyumas, dan seterusnya—seolah riset tentang es buah ikut membuka pintu ketertarikannya pada hal-hal di luar dapur.
Di ujung ceritanya, Ibu Tari tersenyum sambil mengakui kegelisahannya di awal.
“Saya sempat khawatir, Mbak, apakah Mika akan menjalani proses risetnya dengan baik. Karena ini kan pertama kalinya. Ternyata saya ini orang dewasa yang kurang percaya pada anak sendiri. Waktu riset berlangsung, Mika justru sangat bertanggung jawab. Rasanya, saya yang harus banyak belajar,” tuturnya, merefleksikan perjalanan riset putrinya.
Fasilitator yang mendampingi Mika sebagai mentor adalah Ibu Debby. Ia menuturkan bahwa sepanjang proses riset, Mika selalu datang dengan banyak cerita—fragmen kecil yang menggambarkan bagaimana ia menyerap pengalaman hari demi hari. Komunikasi dengan Ibu Tari juga berlangsung lancar, sehingga perkembangan Mika dapat dipantau dengan utuh.
Dalam catatan mentor, perjalanan Mika terekam lebih rinci: kapan ia mulai mencoba resep, kapan ia mengalami kebuntuan, hingga momen-momen kecil yang menandai tumbuhnya kepercayaan diri. Bagi Ibu Debby, proses Mika bukan hanya tentang menghasilkan es buah, tetapi tentang menyusun kisah belajar yang mengalir perlahan, ditulis dari kedekatan anak dengan dunia sehari-harinya.
Dalam Gelar Karya kelas 1 pada Rabu, 12 November 2025, Mika menjual es buah buatannya dengan harga tiga ribu rupiah per gelas. Bahan-bahannya ia beli dari toko buah yang sama dengan tempat ia berlatih pada percobaan pertama di rumah—sebuah keputusan yang terasa seperti upaya mempertahankan kontinuitas dalam proses belajarnya.
Di rumah, ibunya membantu mengupas buah dan menyiapkan perlengkapan. Sementara itu, di sekolah, Papih Mika sigap melengkapi kebutuhan terakhir: membeli es batu di dekat Salam agar Mika dapat meracik es buahnya dengan rasa yang konsisten.
Ketika tiba gilirannya untuk diajak berbincang oleh Ibu Umi dan Ibu Indri, Mika tampak sedikit canggung. Pada awal sesi tanya jawab, ia merapat pada ibunya, memeluk pinggang sang ibu seolah mencari perlindungan dari sorot perhatian yang tiba-tiba tertuju padanya. Namun perlahan ia mulai bercerita langsung, meski masih dengan suara pelan. Mungkin Mika belum sepenuhnya siap melihat rombongan besar yang datang bersama host untuk mengajukan pertanyaan—sebuah pengalaman baru yang menambah lapis lain dalam proses belajarnya hari itu.
Siang itu Salam terasa penuh oleh keramaian. Para orang tua, kerabat, dan tamu yang datang menunjukkan antusiasme besar untuk mendengarkan cerita riset anak-anak kelas satu. Dalam keramaian semacam itu, wajar bila beberapa anak tampak gugup—demam panggung adalah bagian dari pengalaman pertama mereka berhadapan dengan begitu banyak wajah asing.
Ketika saya bertanya kepada Mika tentang rencana penggunaan hasil jualannya, ia menjawab pelan, hampir berbisik, “Mau untuk beli jajan.” Ada rona malu-malu di wajahnya, tetapi juga semacam kegembiraan kecil karena memiliki tujuan sendiri. Meski begitu, pada akhirnya es buah Mika lebih banyak dibagikan daripada dijual.
Siang itu hujan turun deras membasahi halaman Salam. Para peserta gelar karya pun segera membagikan dagangan mereka sebelum tempat-tempat basah oleh air hujan. Saya kebagian satu gelas es buah Mika. Rasanya benar-benar nikmat—sebuah kelezatan yang sederhana, klasik, mengingatkan saya pada es buah zaman dulu. Tidak heran jika Mika begitu menyukai es buah buatan Uti; ada rasa rumah di dalamnya.
Selamat, Mika. Engkau bukan hanya belajar membuat es buah, tetapi juga belajar bertemu tantangan, menata keberanian, dan menikmati proses risetmu dengan cara yang sangat pribadi.
Orang Tua SALAM
Leave a Reply