Blog

PAJAK DAN KITA

Pada akhir Desember 2024, beranda media sosial saya penuh dengan pembahasan terkait isu kenaikan PPN. Banyak ahli berpendapat bahwa kenaikan PPN (yang sejak beberapa waktu terakhir sudah menyentuh 11% dan kabarnya akan segera menjadi 12% pada 1 Januari 2025) bukanlah kebijakan yang tepat untuk diambil oleh pemerintah. Sementara narasi yang digulirkan oleh pemerintah juga cukup ambigu, bahwa kenaikan PPN hanya akan terjadi untuk barang ‘premium’. Lalu definisi ‘barang premium’ ini menjadi keributan lain lagi.

Sejak saya menjadi dewasa, pajak menjadi salah satu hal paling tidak menyenangkan untuk dipikirkan atau dibahas. Alasannya tentu saja sangat sederhana: karena keuntungan yang saya dapat bisa berkurang, ataupun harga barang yang harus saya bayar bisa bertambah. Pada awal merintis usaha, saya sempat sedikit-sedikit belajar soal pajak dan mengurus sendiri urusan perpajakan ke kantor pajak. Dari situ saya tahu, ternyata pajak tidak begitu membebani jika usaha yang saya jalankan tidak begitu menguntungkan, atau upah yang saya terima tidak begitu banyak. Tapi tetap saja, ngobrolin pajak tidak pernah jadi hal yang menyenangkan.

Maka, saat Forum Orang Tua SALAM (FORSALAM) akan menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk “Pajak dan Kita”, bisa ditebak. Saya tidak begitu tertarik untuk bergabung. Apalagi setelah pada 1 Januari 2025, Menteri Keuangan mengumumkan PPN tidak jadi naik, dengan menerapkan beleid pada barang non mewah, lewat akun media sosialnya. Lewat akun media sosial! Astaga benar negara ini.

Tapi rupanya Pak Roem Topatiimasang dan Mas Dony Hendro Cahyono yang akan menjadi narasumber dalam diskusi tersebut. Pak Roem, sejauh pengetahuan saya, selalu bisa menjelaskan hal-hal rumit dengan sederhana. Sementara Mas Dony selalu bisa membahas apa pun dengan antusias dan jenaka. Maka ketika saya dimintai bantuan menjadi moderator pada diskusi yang akan berlangsung Rabu sore itu, saya bersedia.

Rabu, 8 Januari 2025 pukul 15.20 WIB. Diskusi saya buka 20 menit lebih lambat dari yang tertera pada undangan. Tidak banyak yang hadir sore itu. Sekitar 10 orang saya tandai adalah siswa dan fasilitator SMA SALAM, beberapa belas orang adalah orang tua dan fasilitator, satu siswa SMP Lentera, dan beberapa tamu dari luar komunitas SALAM. Namun, jumlah audiens yang sedikit ini justru nantinya akan membuat diskusi jadi hidup.

Diskusi berjalan santai tanpa ToR dan briefing. Pak Roem membawakan materi yang dibuka dengan penjelasan mengapa kita harus membayar pajak. Pajak, di hampir semua negara di dunia, dipungut dari rakyat dengan timbal balik dari pemerintah berupa penyelenggaraan negara yang mencakup: pelayanan publik, pemajuan ekonomi, jaminan sosial, hingga upaya pemerataan.

Sejak kapan sih pajak itu ada? Dulu saya pikir pajak itu ada sejak jaman kolonialisme. Namun, dari penjelasan Pak Roem saya jadi tahu bahwa pajak sudah ada sejak jaman Mesir Kuno. Berbagai hal yang dikenai pajak antara lain minyak masak dan budak. Pada masa pra modern, ada jenis-jenis pajak yang aneh disertai alasan pengenaan pajaknya. Seperti pajak jenggot yang dikenakan pada kaum pria karena dianggap sudah dewasa, dan pajak bujangan yang dikenakan pada kaum jomblo karena keberadaan mereka sering bikin onar. Bisa jadi sejarah penemuan pisau cukur dan pernikahan dini berawal dari situ..

Setelah itu Pak Roem menjelaskan tentang macam-macam pajak dengan sebutan yang berbeda-beda, seperti bea, cukai, retribusi, upeti, dan pungutan atau pajak. Lalu apa saja jenis pajak? Pada dasarnya, pajak akan dikenakan pada 3 hal yaitu apa yang kita miliki, kita hasilkan, dan kita beli. PPN adalah satu diantara jenis pajak dari apa yang kita beli.

Lewat infografis, Pak Roem menjelaskan tentang besaran PPN di berbagai negara, mulai yang terendah, tertinggi, hingga negara yang tidak menarik pajak. Pak Roem juga menjelaskan alasan-alasan berbagai negara menerapkan prosentase PPN yang beragam. Mulai dari alasan untuk menjamin kesejahteraan lewat pelayanan umum gratis di berbagai bidang, hingga alasan saking kayanya negara tersebut, maka pemasukan dari pajak tidak begitu dibutuhkan. Sampai di slide ini saya menjadi lebih penuh perhatian sembari mempertimbangkan untuk pindah kewarganegaraan. “Bahama, Bermuda, Brunei,” “Eeh, apa itu ada negara yang namanya belum pernah denger, Saint Kitts and Nevis? Vanuatu?” “Di mana itu?” Begitulah dialog saya dengan diri sendiri.

Selanjutnya ada sedikit penjelasan tentang pajak progresif yang diterapkan Indonesia untuk pajak penghasilan. Pajak progresif artinya: makin tinggi penghasilan (pribadi maupun usaha), maka semakin tinggi pula besaran prosentase pajak yang harus dibayarkan. Saya jadi teringat pelajaran dari pengalaman mengurus pajak di awal merintis usaha. Rupanya begitu yang dimaksud progresif.

Pada slide-slide selanjutnya, Pak Roem menyajikan tabel Nota Keuangan Negara yang beliau akses dari website resmi BPS. Aktivis kalau gabut tuh gitu ya, baca-baca data BPS. Saya kalau gabut nonton drakor. Dari rilis tersebut, dapat kita lihat bersama bahwa Penerimaan Perpajakan di negeri kita jauh lebih tinggi (77,35%) dari Penerimaan Bukan Pajak (32,63%). Apa saja item Penerimaan Bukan Pajak dalam nota keuangan negara? Dalam tabel tertera: Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA), Pendapatan dari Kekayaan Negara yang Dipisahkan, Pendapatan Bukan Pajak Lainnya, dan Pendapatan Badan Layanan Umum.

Dari tabel tersebut juga bisa kita lihat bahwa Penerimaan SDA prosentasenya terus menurun. Padahal, melansir dari Kompas di Oktober 2024, Jokowi dinilai berhasil melakukan hilirisasi dan meningkatkan devisa negara dari 3 menjadi 34 milliar dollar AS lewat pelarangan ekspor biji nikel. Lalu angka fantastis itu dicatat di mana?

Salah satu alasan pemerintah Indonesia menaikkan tarif PPN adalah untuk menggenjot penerimaan negara. Sementara penerimaan negara tidak semata-mata lewat pajak. Banyak pihak juga mempertanyakan, jika negara mengejar penerimaan, mengapa tidak segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset?

Begitulah. Pak Roem menutup presentasinya dengan mengajak audiens berpikir kritis (sekaligus merasa putus asa) sebagai rakyat jelata. Selanjutnya saya membuka sesi respon dari audiens. Cukup banyak audiens yang merespon sore itu. Namun, lebih banyak keprihatinan daripada pertanyaan yang muncul. Seperti yang dikisahkan Pak Aris, salah satu orang tua murid SALAM, yang melihat sendiri kawannya yang berhasil merintis usaha. Saat usaha masih mikro, tidak ada bantuan apa pun dari pemerintah. Namun, saat usaha kawannya makin besar, tagihan pajaknya menggunung. “Saat masih kecil dibiarin, begitu sudah besar dibeleh,” keluhnya.

Pak Yogo, salah satu orang tua murid, juga mengeluhkan tentang pembiaran yang terjadi di daerah tempat tinggalnya saat fasilitas umum digunakan sebagai lahan parkir. Sementara Pak Aji, fasilitator SMA, prihatin dengan kurangnya edukasi di tingkat desa tentang pajak. Biaya dan pelaksanaan perbaikan jalan, misalnya, yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah tingkat desa, selalu saja menjadi objek kerja bakti tingkat RT yang menguras kas RT. Bahkan, bagi warga yang berhalangan mengikuti kerja bakti justru dikenakan pungutan denda.

Mbak Butet, orang tua murid yang juga kerap menulis tentang suka (banyak) dukanya berurusan dengan kantor pajak, sore itu bercerita tentang pengalamannya saat berjumpa dengan para pelaku usaha kecil yang ia temui di kantor pajak. Dengan pengetahuan yang sangat minim, ditambah layanan petugas pajak yang gagal menjelaskan soal-soal pajak yang rumit dengan bahasa sederhana, kerap membuat para pelaku usaha kebingungan dan bahkan sampai menangis. “Pertanyaan saya, ke mana masyarakat bisa minta perlindungan terkait urusan pajak?”

Mas Dony  yang lebih banyak merespon pertanyaan seputar pajak. Dengan pengalaman pribadi yang pernah berurusan hukum karena pajak, Mas Dony bertekad untuk belajar lebih jauh tentang pajak hingga menguasai keterampilan teknis terkait perpajakan. Hal ini membuatnya banyak menangani kasus-kasus hukum terkait pajak.

Seperti kita ketahui bersama, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment, artinya pemerintah memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung sendiri, melapor, dan membayar dengan sistem SPT. Hal ini membuat setiap WP harus secara pro-aktif belajar tentang pajak. Preseden buruk, terutama yang dialami pelaku usaha saat berurusan dengan kewajiban pajak, banyak terjadi karena minimnya pengetahuan tentang perpajakan.

Banyak sekali pengetahuan yang dibagikan Mas Dony, seperti bagaimana hak-hak seseorang dapat dikunci karena tidak menyelesaikan tanggung jawabnya menyetor pajak, kapan saja Indonesia melakukan reformasi perpajakan, Undang-Undang dan Peraturan Presiden terbaru yang mengatur soal pendapatan negara, dan sebagainya.

Mas Dony juga memberi tips terkait pertanyaan-pertanyaan teknis seputar perpajakan, seperti yang diajukan Mbak Bekti, salah satu orang tua dan fasilitator di SALAM. Tapi mohon dimaklumi, kecepatan tangan saya dalam mencatat dan kapasitas otak saya dalam memproses informasi membuat saya tidak bisa menyajikan pengetahuan teknis terkait pajak yang saya serap dari Mas Dony secara rinci dalam tulisan ini.

Ada satu ungkapan dari Mas Dony yang cukup bisa saya ingat dengan baik, “Untuk urusan pajak, pilihannya ada dua: tahu sebanyak-banyaknya, atau tidak tahu sama sekali.” Hati saya berbinar. Tentu saja saya cenderung memilih yang kedua.

Namun, seperti yang diungkapkan Pak Roem di awal presentasinya tentang mengapa kita perlu berdiskusi soal pajak, “Pajak adalah simpul hubungan kita yang paling dekat dengan negara.” Memilih untuk tidak tahu sama sekali soal pajak menjadi bukan pilihan bijak.

Semua keprihatinan yang disampaikan audiens dalam diskusi sore itu juga bisa diurai jika pendidikan soal pajak lewat diskusi-diskusi ringan sesuai dengan kebutuhan, seperti yang terjadi hari itu, terus dilakukan. Paling tidak, meski tata kelola negara kita masih begitu-begitu saja, dan koruptor nampaknya masih akan terus dibudidaya, lewat pendidikan kita masih bisa berharap akan lahirnya warga negara yang peduli dan generasi baru yang malu korupsi. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *