Hampir semua orang kini merasa tidak asing mendengar kata partisipasi, bahkan partisipasi telah memasuki kosa kata mainstream pembangunan, sekalipun dalam prakteknya tak seindah retorika. Di sisi lain ternyata juga ada banyak kelompok-kelompok sosial yang diidentifikasikan sebagai marjinal atau tersingkirkan, namun merekalah orang-orang yang justru lebih mampu memandang partisipasi secara terbuka sebagai hal yang penting dan prioritas. Mereka adalah para perempuan, orang-orang miskin, etnis maupun agama minoritas, orang cacat (orang yang beda kemampuannya) dan mereka yang sudah sangat uzur. Demikian pula anak-anak, sampai saat ini mereka masih dipandang sebagai semacam kategori lain dari bangsa manusia. Memang, kesehatan, gizi, dan pendidikan anak telah sejak lama menjadi perhatian, tetapi fokus partisipasi aktif mereka sebagai mitra dalam perubahan sosial nyaris tak pernah diperhitungkan.
Di dunia ini, sebagian besar para guru dan “orang dewasa” yang bersentuhan langsung dengan anak-anak dan remaja masih menganggap bahwa kelompok usia belia ini bodoh maka perlu diajar; tidak bertanggung jawab maka perlu didisiplinkan; belum matang maka perlu dididik; tidak mampu maka perlu dilindungi; menyusahkan maka “tidak usah didengarkan”; namun ironisnya sebagai sumber daya mereka sering dimanfaatkan. Ketidakberdayaan anak-anak terus berlanjut dan memperkokoh pandangan di atas, terutama anak-anak perempuan dan anak-anak yang berasal dari kelompok sosial bawah yang dipinggirkan dan dipandang rendah.
Bagaimana upaya membalik semua pandangan yang telah lama tertanam dalam pikiran di kepala kita selama ini?—Bukti sangat kuat dan nyata, bahwa dalam berbagai kultur dan dalam konteks macam apapun baik itu sekolah, komunitas, ataupun keluarga, entah itu selaku murid, anak jalanan, buruh maupun, mereka tidak begitu dihargai dan dipandang rendah. Namun bukti-bukti tersebut sekaligus memaparkan betapa anak anak sesungguhnya mampu tampil sebagai aktor sosial.
Untuk mengapresiasi potensi anak-anak memang memakan banyak waktu. Proses evolusi metode pendekatan partisipatory selama dekade silam sesungguhnya bisa dipakai sebagai contoh. Pada awalnya, anak-anak dan remaja tidak diperhatikan, bahkan dianggap menyusahkan. Kadang-kadang mereka hanya dijadikan pelengkap penderita, dengan diberi sesuatu untuk dikerjakan-–misalnya mereka disuruh untuk memungut daun-daun dari pohon yang berbeda, atau rumput yang berlainan, atau menggambar dengan kapur atau pena agar mereka menjadi sibuk dan berguna. Cara ini juga dimaksudkan untuk membuat mereka tetap diam atau sekadar untuk kesenangan belaka. Tetapi sekejap kemudian mereka menunjukkan bahwa mereka sanggup mengerjakan lebih dari apa yang diduga oleh orang dewasa.
Seperti orang-orang yang lebih tua, mereka juga dapat membuat peta, matriks, dan diagram. Lebih dari itu mereka bahkan menunjukkan bahwa pengetahuan, realitas, preferensi, dan prioritas mereka lebih sahih adanya, serta berbeda dari yang dimiliki perempuan dan laki-laki dewasa pada umumnya. Sama seperti golongan “rendahan” lainnya mereka juga bisa diberdayakan untuk mengekspresikan dan menganalisis realitas mereka dan mempresentasikannya kepada golongan “atas.”
Banyak ilustrasi, pengalaman yang mampu menguak dunia baru dan sangat menakjubkan di mana orang dewasa membantu lebih dari sekadar mengajar, dan kanak-kanak menunjukkan bahwa mereka mampu melakukan lebih banyak hal daripada yang dikira orang dewasa. Sehingga partisipasi anak-anak dengan kita tidak cuma dalam kelompok sosial mereka sendiri tetapi juga dalam berbagai pertemuan dengan institusi pemerintah dan masyarakat; dalam proses perencanaan dan analisis yang dikerjakan anak-anak misalnya dengan menggunakan teknik-teknik pemetaan, penyusunan diagram dan peneraan matriks. Anak-anak ternyata sanggup menjadi peneliti. Mereka piawai mengambil gambar dan video untuk mendokumentasikan kehidupan mereka sendiri. Mereka juga mampu merancang dan mempergelarkan drama mereka sendiri, demikian juga acara-acara dalam siaran radio dan program-program audio visual.
Bagi kebanyakan orang dewasa seperti kita, metode, pendekatan partisipatory lebih merupakan sebuah undangan untuk melihat dan berhubungan dengan anak-anak melalui cara-cara baru. Perubahan cara pandang terhadap anak-anak bisa disetarakan dengan bangkitnya kesadaran terhadap peranan dan sikap gender. Hal ini menunjukkan betapa pola pikir kita tentang anak-anak, seperti halnya tentang peran gender, sesungguhnya dikonstruksikan dan direproduksi secara sosial melalui relasi-relasi kekuasaan.
Meski demikian, perbedaan tetap ada. Berkat kesadaran gender banyak orang dewasa, teristimewa para perempuan, mampu dan mau berbicara bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain. Sebaliknya bagi anak-anak, kesempatan semacam itu jarang-jarang datangnya. Dalam kultur kekuasaan orang-orang dewasa, sangat sulit bagi anak untuk menyatakan diri, entah itu karena mereka kecil, lebih lemah, lebih tergantung, lebih tidak mampu berartikulasi, atau karena kurang mampu bertemu dan berorganisasi.
Sehingga, posisi dan keadaan mereka diakui dan diperhitungkan, mereka hanya bisa mengandalkan sensitivitas dan kesempatan yang diberikan oleh orang dewasa. Kualitas semacam itu dalam diri orang dewasa, sungguhpun bukan kelaziman.
Pengetahuan, persepsi, dan prioritas kanak-kanak seringkali berbeda dari yang disangka orang dewasa dan karenanya memberikan ruang serta dorongan bagi anak-anak untuk bertindak dan mengekspresikan diri ternyata bermanfaat ganda, bagi anak-anak itu sendiri maupun orang dewasa. Jadi dalam hal ini tidak hanya berkutat tentang partisipasi anak-anak dan kaum belia, tetapi juga tentang bentuk-bentuk baru pemuasan bagi orang dewasa, buah manis dari berbagi kekuasaan dan dari memberi kesempatan bagi mereka yang lebih muda untuk menemukan dan mengungkapkan lebih banyak potensi mereka.
Semoga ketika anak-anak kita nanti pada abad mendatang menoleh ke belakang, mereka akan menyaksikan rekam jejak mereka sebagai bagian dari sebuah batas cakrawala dalam pemahaman dan perilaku orang dewasa terhadap anak-anak dan remaja. Barangkali tidak ada cara yang lebih ampuh dalam mentransformasikan masyarakat manusia dari-pada mengubah cara orang dewasa masa kini berhubungan dengan anak-anak. Mereka adalah para “orang dewasa” di masa mendatang. Dengan membagi eksplorasi dan pengalaman mereka dengan anak-anak dan kaum remaja—pemahaman baru mereka tentang anak-anak akan merangsang banyak orang dewasa lainnya untuk berubah. Kontribusi mereka mengajak kita untuk bergabung dalam sebuah kurva pengetahuan yang menukik curam. Untuk itulah wawasan-wawasan mereka memberi kita awal pengembaraan, karena mereka menunjukkan kepada kita bagaimana kita dapat memberi peluang bagi anak-anak untuk berpartisipasi dan dilibatkan lebih dari sekedar mitra dalam sebuah program. Karena kita dapat memandang, berhubungan, dan memberdayakan mereka dalam cara-cara baru dan dapat membantu mereka menemukan potensi yang ada bagi diri mereka sendiri.
Seandainya kita, orang dewasa, dapat mengubah pandangan-pandangan dan perilaku kita, maka kita baru akan mampu mengagumi apa yang mereka perbuat, seperti apa dan akan jadi apa mereka, serta bagaimana mereka pada waktunya nanti dapat membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik. []
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply