NAEYC (National Association for the Education of Young Children) pada tahun 1998 meyusun sebuah pedoman praktik yang tepat sesuai dengan tahap perkembangan anak yang sering disebut dengan Developmentally Appropriate Practice. Sementara itu hampir satu abad yang lalu, Bapak Pendidikan Indonesia – Ki Hadjar Dewantara – telah lebih dulu mencetuskan hal serupa.
Ki Hadjar menggunakan istilah tingkatan jiwa untuk membagi susunan dalam perguruan – sesuai dengan pembagian umur anak menurut ilmu jiwa. Beliau yakin apabila orangtua dan perguruan memahami dan melaksanakan pedoman praktik ini dengan baik maka anak-anak akan dapat mencapai hasil yang optimal dari proses belajar sesuai dengan jenjang perkembangannya.
“Berhubung khususnya jiwa dalam tiap periode itu, haruslah caranya mengajar atau metodenya dikhususkan …. “ (Pusara, Juni 1940).
Windu pertama 0-8 tahun disebut masa Wiraga
Masa ini merupakan periode yang amat penting bagi perkembangan badan (jasmani) dan panca indera. Dengan modal perkembangan fisik yang sedang meningkat pesat seharusnya anak-anak memiliki peluang setiap hari untuk menggunakan otot-otot besar, termasuk berlari, melompat, dan belajar keseimbangan. Kegiatan di luar ruangan harus lebih banyak dilakukan sehingga anak-anak bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya sendiri. Yang kita lihat pada banyak praktik pendidikan anak usia dini sekarang adalah peluang bagi kegiatan otot besar terbatas. Waktu berkegiatan di luar ruangan juga terbatas karena seringkali dianggap mengganggu waktu belajar dan bukan sebagai bagian yang integral dari lingkungan belajar anak-anak.
Untuk mendukung kebutuhan berkaitan dengan motorik yang berkembang pesat dan geraknya sangat banyak tersebut anak-anak seharusnya menggunakan pakaian yang nyaman, yang menyerap keringat (apalagi kita hidup di negara tropis?) yang mendukung anak-anak leluasa bergerak, seperti baju-baju nyaman berbahan kaos misalnya. Namun seringkali praktik yang terjadi adalah anak-anak usia dini kebanyakan harus berseragam, lengkap dengan rompi, dasi, topi, bersepatu, pokoknya komplit rapi seperti orang dewasa, bahkan entah seperti orang mana. Saya sendiri kadang miris, anak anak didandani seperti miniatur orang dewasa, iku jane obsesine sopo sih? Saya kok nggak yakin kalau itu murni obsesinya anak. Kembalikan anak ke kodratnya! Pakai baju kaos, pakai alas kaki yang nyaman atau kalau perlu sesekali coba tidak usah pakai alas kaki.
Salah satu isu menarik pada masa wiraga ini adalah perdebatan tentang pengenalan baca dan tulis. Jika berpedoman pada apa yang diusulkan Ki Hadjar, anak-anak seharusnya diberi peluang untuk melihat betapa membaca dan menulis itu bermanfaat sebelum mereka nenyebutkan huruf, menyuarakan, dan mengenal kata. Mereka bisa mengembangkan kemampuan bahasa dan melek huruf dengan cara mendengar dan membaca serita, aktivitas lapangan, bermain drama. Bukan dengan belajar membaca dan menulis di meja yang menekankan perkembangan keterampilan terpisah seperti mengenal huruf-huruf tunggal, membaca alphabet, menyanyikan nyanyian alphabet, atau menebalkan titik-titik yang membentuk huruf.
Kadang-kadang pamong tergesa-gesa mengajar anak membaca A I U E O, Ba Bi Bu Be Bo, yang tidak ada maknanya. Kenapa tidak diajak keluar saja, melihat pohon talok misalnya. SALAM telah mempraktekkannya, dari melihat pohon talok anak-anak melihat bagaimana susunan huruf-huruf yang membentuk kata “talok”, belajar mendeskripsikan buah talok, bentuknya, warnanya, rasanya, perbedaan buah yang matang dan belum matang, mana yang seharusnya sudah bisa dipetik dan mana yang belum, lengkap sudah! Mereka belajar sesuatu yang bermakna, yang mudah dipahami dari lingkungan, dengan cara bermain sesuai nature-nya (ya, karena bermain adalah kebutuhannya!). Dari pengalaman inilah anak-anak berkembang jiwanya, berkembang pikirannya, berkembang fungsi-fungsi tubuhnya.
Windu kedua 9-16 tahun disebut masa Wiraga Wirama
Masa ini merupakan periode perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, namun pertumbuhan perasaan masih amat kurang. Geraknya masih banyak tetapi sudah mulai berirama. Dengan karakteristik tersebut, maka praktik yang disarankan adalah pengajaran yang mempergunakan pikiran. Artinya anak-anak diberi pengertian tentang segala tingkah laku kebaikan dalam hidupnya sehari-hari. Tidak cukup bagi mereka hanya “membiasakan” saja apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh orang-orang tua di sekelilingnya. Tidak cukup pula mereka hanya “menginsyafi”, namun mereka perlu “menyadarinya”. Jangan sampai mereka melakukan hanya karena kebiasaan atau aturan, namun harus sampai pada pemahaman kenapa mereka melakukannya.
Di SALAM kami juga tidak serta merta menerapkan pembiasaan tanpa alasan. Memulainya dengan diskusi, begitulah cara kami. Anak-anak bebas mengemukakan pendapat atau idenya, fasilitatornya yang mengolah diskusinya sampai dengan mereka menemukan sendiri maksud dan tujuannya. Memang ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih besar, tetapi bukankah kita tidak ingin anak-anak memiliki perilaku-perilaku tertentu yang hanya karena terbiasa, tanpa tahu tujuan melakukannya?
Pendidikan jasmani yang dapat diterapkan pada rentang usia ini adalah olahraga yang sistematis bersama-sama dengan pengajaran dan pelajaran lain-lainnya yang ditujukan tidak hanya untuk tujuan fisik (raga) tetapi juga pada kesuburan jiwa, yakni kecepatan berpikir, kemampuan merasa, dan kegigihan (keteguhan kemauan)’. SALAM sendiri memilih olah tubuh berupa renang dan pencak silat untuk mewujudkan pertumbuhan tak hanya fisik, namun juga area lainnya—misalnya keterkaitan dengan membebaskan belenggu tubuh dan sportifitas.
Windu ketiga 17-24 tahun disebut masa Wirama
Anak-anak muda pada masa ini sudah lebih “berirama”, bisa mengatur dirinya sendiri, dan memahami potensi diri. Masa ini juga merupakan masa berolah budi dalam alam kemasyarakatan (menyesuaikan diri dengan masyarakat) di mana anak mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya.
Dengan praktik yang tepat pada masa dua windu sebelumnya seharusnya pada masa ini anak sudah sangat mengenali dirinya sendiri, mengetahui potensinya, dan menentukan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan masa depannya. SALAM yang pada tahun ajaran ini telah memberanikan diri membuka kelas jenjang SMA juga merancang proses pembelajarannya sedemikian rupa dengan tujuan utama anak-anak mengenali dirinya. Proses ini tidak terpisah dari proses belajar pada tahun-tahun sebelumnya, di mana anak-anak juga diajak untuk mengamati dan mengenali kecenderungannya, lebih-lebih dimerdekakan dalam membuat pilihan cara belajar sesuai dengan minatnya yang tertuang dalam riset individu.
Yang sering terjadi pada masa ini banyak anak yang masih kebingungan untuk mengenali dirinya sendiri, sehingga tidak bisa menentukan jalannya sendiri nanti mau (jadi) apa. Sebagai contoh, banyak yang masih bingung menentukan jurusan saat SMA atau bahkan saat kuliah. Mereka memilih berdasarkan pilihan ortulah, saran gurulah, ikut-ikutan temanlah, atau bahkan hanya untuk gengsi-gengsian. Padahal jika dasar praktik sebelumnya dilakukan, pada masa ini sebetulnya anak-anak sudah bisa memilih sesuai dengan potensi yang ada di dalam dirinya dan kegemarannya. Dengan pilihan yang punya dasar kuat ini mereka bisa mengembangkan diri dari pilihan tersebut sebaik-baiknya, menjadi optimal dan menghasilkan manfaat bagi manusia lainnya. Orangtua dan pamong hanya perlu memberi motivasi dan teladan, bagaimana bertanggungjawab sepenuhnya pada pilihan tersebut. Berapa banyak dari kita yang pernah menjadi orang dewasa yang tidak merdeka, akibat obsesi orangtua, obsesi pamong, ikut-ikutan trend atau gengsi-gengsian? Sudah lulus, bekerja, tapi tetap tidak mengenali siapa diri yang sebenarnya.
Relawan SALAM Yogyakarta
Leave a Reply