Penghapusan Ujian Nasional (UN) di Indonesia menjadi isu yang kompleks karena melibatkan berbagai faktor. Berikut beberapa alasan mengapa penghapusan UN secara tuntas sulit dilakukan:
Persepsi tentang UN sebagai Tolok Ukur Nasional
Ujian Nasional (UN) selama bertahun-tahun telah menjadi simbol evaluasi pendidikan di Indonesia. Sebagai alat ukur standar kompetensi pendidikan, UN dipandang memiliki peran strategis dalam menilai sejauh mana siswa di berbagai jenjang pendidikan memahami materi yang diajarkan berdasarkan kurikulum nasional. Dengan UN, pemerintah pusat dapat mengidentifikasi tingkat keberhasilan proses pembelajaran di seluruh wilayah, mulai dari kota-kota besar hingga pelosok daerah.
Bagi sebagian besar pihak, terutama pembuat kebijakan, UN adalah instrumen penting untuk membandingkan kualitas pendidikan antarprovinsi, kabupaten, atau bahkan sekolah. Data hasil UN sering digunakan sebagai indikator pencapaian sistem pendidikan di setiap daerah. Ketika sebuah wilayah menunjukkan hasil UN yang rendah, hal itu dianggap sebagai tanda adanya masalah yang perlu diatasi, seperti kurangnya guru berkualitas, fasilitas belajar yang tidak memadai, atau metode pengajaran yang belum efektif.
Lebih jauh lagi, UN juga dipersepsikan sebagai cara untuk memastikan pemerataan kualitas pendidikan. Di negara sebesar Indonesia, yang memiliki keragaman geografis, sosial, dan ekonomi, menjaga standar yang seragam dianggap sebagai tantangan besar. Tanpa UN, banyak yang khawatir tidak akan ada tolok ukur yang jelas untuk menilai apakah siswa di wilayah terpencil memiliki akses pendidikan yang sama baiknya dengan siswa di perkotaan.
Namun, persepsi ini tidak terlepas dari kritik. Beberapa pihak menilai bahwa terlalu mengandalkan UN justru mengaburkan kenyataan bahwa kualitas pendidikan tidak dapat diukur hanya dengan angka atau nilai. Selain itu, fokus yang berlebihan pada UN sering kali membuat sekolah, guru, dan siswa hanya mengejar hasil ujian, sehingga mengabaikan aspek pendidikan lain, seperti pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan sosial.
Meski begitu, persepsi UN sebagai tolok ukur nasional tetap kuat karena dianggap memberikan kejelasan dalam mengevaluasi sistem pendidikan. Bagi banyak pihak, terutama di kalangan birokrasi, UN menjadi simbol “standar nasional” yang sulit digantikan, meskipun wacana penghapusan UN terus bergulir. Untuk mengubah pandangan ini, diperlukan sistem penilaian yang lebih komprehensif, yang tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga memperhitungkan proses pembelajaran dan potensi siswa secara keseluruhan.
Kultur Evaluasi Berbasis Tes
Sistem pendidikan di Indonesia telah lama mengadopsi budaya evaluasi berbasis tes sebagai metode utama untuk menilai pencapaian siswa. Dalam budaya ini, kemampuan siswa diukur melalui serangkaian ujian tertulis yang menguji penguasaan materi berdasarkan kurikulum nasional. Ujian Nasional (UN), sebagai salah satu puncak dari sistem evaluasi ini, dianggap sebagai bentuk tertinggi dari penilaian yang bersifat terstandar dan seragam di seluruh Indonesia.
Budaya ini memiliki akar yang dalam, karena ujian tertulis dipandang sebagai cara yang mudah, cepat, dan objektif untuk menilai prestasi siswa. Dalam praktiknya, keberhasilan siswa sering kali didefinisikan oleh angka-angka atau nilai yang mereka capai, yang kemudian menjadi tolok ukur untuk naik kelas, lulus, atau bahkan diterima di jenjang pendidikan berikutnya. Sistem ini memengaruhi cara guru mengajar, di mana mereka lebih cenderung berfokus pada materi yang kemungkinan besar akan diujikan, sementara siswa dan orang tua cenderung menitikberatkan usaha mereka pada persiapan ujian.
Namun, ketergantungan pada ujian sebagai alat evaluasi utama membawa sejumlah konsekuensi. Fokus berlebihan pada hasil tes cenderung mengabaikan aspek lain dari pendidikan, seperti pengembangan kreativitas, pemikiran kritis, kemampuan kerja sama, dan nilai-nilai karakter. Sistem ini juga sering menciptakan tekanan yang besar, tidak hanya bagi siswa tetapi juga bagi guru dan orang tua, karena keberhasilan siswa sering kali dianggap sebagai cerminan kualitas pengajaran atau dukungan keluarga.
Mengubah paradigma ini bukanlah tugas yang mudah. Banyak pendidik, orang tua, dan siswa telah terbiasa dengan mekanisme ini selama bertahun-tahun. Dalam pikiran mereka, ujian adalah cara paling jelas untuk membuktikan kemampuan akademik, meskipun tidak selalu mencerminkan potensi siswa secara keseluruhan. Perubahan ke arah evaluasi yang lebih holistik, seperti penilaian berbasis proyek, portofolio, atau asesmen kualitatif, membutuhkan waktu, sumber daya, dan perubahan pola pikir secara menyeluruh.
Selain itu, evaluasi berbasis tes sering kali dianggap memberikan rasa keadilan karena sifatnya yang seragam dan terstandar. Dalam sistem ini, semua siswa menghadapi soal yang sama, sehingga hasilnya terlihat lebih objektif. Namun, sistem ini juga mengabaikan perbedaan individu, seperti gaya belajar, latar belakang budaya, dan kondisi psikologis siswa.
Untuk keluar dari kultur evaluasi berbasis tes, dibutuhkan reformasi sistem pendidikan yang mengedepankan pendekatan penilaian yang lebih inklusif dan beragam. Perubahan ini tidak hanya mencakup revisi kurikulum, tetapi juga pelatihan guru, edukasi kepada orang tua, serta dukungan kebijakan dari pemerintah. Dengan begitu, evaluasi pendidikan tidak lagi hanya fokus pada angka, tetapi juga pada pengembangan potensi siswa secara menyeluruh.
Kepentingan Politik dan Birokrasi
Ujian Nasional (UN) tidak hanya menjadi isu pendidikan, tetapi juga memiliki dimensi politik yang signifikan. Kebijakan terkait UN sering kali melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga lembaga pendidikan, yang semuanya memiliki kepentingan masing-masing. Sebagai kebijakan nasional yang berdampak luas, UN sering kali dianggap sebagai salah satu pencapaian besar dari pemerintah yang sedang berkuasa.
Di tingkat pusat, UN menjadi alat untuk menunjukkan komitmen pemerintah terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Hasil UN yang baik sering kali digunakan sebagai indikator keberhasilan program-program pendidikan nasional, meskipun kualitas pendidikan sebenarnya mencakup aspek yang jauh lebih kompleks daripada sekadar hasil ujian. Hal ini menyebabkan kebijakan UN cenderung dipertahankan sebagai bagian dari warisan politik pemerintahan yang sedang berkuasa, sekaligus sebagai bukti “kerja nyata” dalam membangun sektor pendidikan.
Di sisi lain, di tingkat daerah, UN juga menjadi alat ukur kinerja pemerintah daerah dan institusi pendidikan lokal. Kepala daerah, dinas pendidikan, dan kepala sekolah sering merasa bertanggung jawab untuk menunjukkan hasil UN yang tinggi sebagai bukti keberhasilan mereka dalam mengelola pendidikan. Tekanan ini menciptakan berbagai upaya untuk meningkatkan hasil UN, mulai dari pelatihan intensif hingga praktik-praktik yang kurang etis, seperti memberikan bocoran soal atau memanipulasi data.
Resistensi politik terhadap penghapusan UN juga muncul karena UN telah menjadi bagian dari sistem birokrasi yang mapan. Banyak kebijakan pendidikan, termasuk alokasi anggaran, akreditasi sekolah, dan promosi guru, sering kali terkait langsung atau tidak langsung dengan hasil UN. Menghapus UN berarti merombak sistem birokrasi ini secara menyeluruh, yang dapat menimbulkan ketidakstabilan dan resistensi dari mereka yang merasa dirugikan.
Selain itu, dalam dinamika politik nasional, kebijakan terkait UN sering digunakan sebagai alat politik. Pihak oposisi, misalnya, mungkin menggunakan isu ini untuk menyerang pemerintah dengan argumen bahwa UN hanya menciptakan tekanan bagi siswa dan guru tanpa benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan. Sebaliknya, pemerintah sering kali menggunakan retorika bahwa UN adalah alat penting untuk mencapai pemerataan pendidikan dan menilai keberhasilan pembangunan nasional.
Dalam konteks ini, penghapusan UN tidak hanya menjadi persoalan teknis, tetapi juga persoalan politis yang melibatkan kepentingan berbagai pihak. Untuk mengatasi resistensi ini, diperlukan pendekatan yang strategis, seperti dialog yang inklusif dengan semua pemangku kepentingan, edukasi publik mengenai kelemahan UN, serta pengembangan sistem alternatif yang lebih kredibel dan diterima secara luas. Dengan begitu, perubahan kebijakan ini dapat diterapkan tanpa menimbulkan konflik yang signifikan di ranah politik maupun birokrasi.
Kurangnya Infrastruktur Penilaian Alternatif
Salah satu tantangan utama dalam menghapus Ujian Nasional (UN) adalah kurangnya infrastruktur yang memadai untuk menggantikan sistem penilaian berbasis ujian dengan alternatif yang lebih holistik dan beragam. Sistem evaluasi yang menggantikan UN harus dapat diimplementasikan secara kredibel, adil, dan merata di seluruh Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpencil. Sayangnya, pengembangan dan penerapan sistem alternatif ini menghadapi berbagai kendala, baik dari segi infrastruktur, sumber daya manusia, maupun dukungan teknologi.
- Keterbatasan Infrastruktur Teknologi
Di banyak daerah, terutama di wilayah pedesaan atau terpencil, keterbatasan akses terhadap teknologi dan internet menjadi hambatan besar. Sistem penilaian alternatif yang lebih modern, seperti asesmen berbasis digital, portofolio elektronik, atau penilaian berbasis proyek, membutuhkan akses yang luas terhadap perangkat keras (seperti komputer atau tablet) dan jaringan internet yang stabil. Tanpa infrastruktur teknologi yang memadai, penerapan sistem penilaian alternatif akan sangat terbatas, bahkan dapat memperburuk kesenjangan antara daerah perkotaan dan daerah terpencil.
- Keterbatasan Sumber Daya Manusia
Untuk menggantikan UN dengan penilaian alternatif, diperlukan sumber daya manusia yang terlatih dan memiliki pemahaman yang baik tentang metode penilaian yang lebih holistik. Di banyak daerah, terutama di sekolah-sekolah kecil atau daerah yang lebih terpencil, banyak guru yang belum terbiasa dengan model penilaian selain ujian tertulis. Selain itu, pelatihan guru untuk mengimplementasikan sistem penilaian alternatif memerlukan waktu, dana, dan upaya yang tidak sedikit. Di sisi lain, masih banyak pendidik yang cenderung mengandalkan ujian sebagai satu-satunya cara yang dianggap objektif untuk mengukur pencapaian siswa.
- Kendala Administrasi dan Birokrasi
Penerapan sistem penilaian alternatif membutuhkan perubahan dalam struktur administrasi pendidikan. Di banyak daerah, birokrasi pendidikan yang ada masih terfokus pada ujian sebagai alat penilaian utama. Misalnya, dalam pengelolaan data, penerapan sistem penilaian alternatif memerlukan mekanisme baru untuk mendokumentasikan dan menilai hasil penilaian yang lebih kompleks, seperti proyek atau portofolio. Tanpa perubahan pada sistem administrasi ini, sulit untuk memastikan bahwa penilaian alternatif dapat diterapkan secara konsisten dan adil di seluruh Indonesia.
- Kurangnya Standar Nasional yang Jelas
Salah satu tantangan lain adalah pengembangan standar penilaian yang dapat diterapkan secara nasional. Sistem penilaian berbasis proyek, portofolio, atau penilaian berbasis kinerja harus memiliki kriteria yang jelas, sehingga dapat diukur secara objektif dan adil di seluruh Indonesia. Tanpa adanya standar yang jelas, penilaian alternatif dapat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam menentukan kelulusan atau penerimaan di jenjang pendidikan selanjutnya.
- Biaya Implementasi yang Tinggi
Mengembangkan dan menerapkan sistem penilaian alternatif memerlukan investasi yang besar, baik dalam hal pengadaan infrastruktur teknologi, pelatihan guru, maupun pengembangan bahan ajar yang sesuai. Di daerah-daerah yang memiliki anggaran pendidikan terbatas, implementasi sistem ini menjadi sangat sulit. Selain itu, sekolah-sekolah yang kekurangan dana sering kali kesulitan dalam menyediakan fasilitas yang mendukung proses penilaian alternatif yang efektif.
- Keterbatasan Pemahaman dan Penerimaan Masyarakat
Masyarakat, terutama orang tua dan siswa, telah terbiasa dengan sistem ujian yang sudah mapan. Banyak yang merasa bahwa ujian adalah cara paling objektif untuk menilai kemampuan siswa. Oleh karena itu, ada resistensi terhadap ide mengganti UN dengan sistem penilaian alternatif. Tanpa edukasi yang menyeluruh kepada masyarakat tentang manfaat dan keadilan sistem baru ini, penerimaan terhadap sistem penilaian alternatif bisa sangat terbatas.
- Kesenjangan Kualitas Pendidikan
Penerapan sistem penilaian alternatif juga menghadapi tantangan besar dalam hal kesenjangan kualitas pendidikan. Beberapa daerah, terutama di wilayah terpencil atau kurang berkembang, masih menghadapi kekurangan dalam kualitas pengajaran dan fasilitas pendidikan. Hal ini membuat penerapan sistem penilaian alternatif yang lebih kompleks menjadi semakin sulit, karena siswa di daerah-daerah tersebut mungkin tidak memiliki akses yang setara dengan siswa di daerah perkotaan dalam hal fasilitas, sumber daya belajar, atau dukungan dari guru.
Ketergantungan pada Data UN untuk Evaluasi
Ujian Nasional (UN) telah lama berfungsi sebagai sumber utama data pendidikan yang digunakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi kualitas pendidikan di Indonesia. Data yang diperoleh dari hasil UN memberikan gambaran menyeluruh tentang capaian akademik siswa di berbagai daerah, serta memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi perbedaan kualitas pendidikan antarprovinsi atau antarwilayah. Ketergantungan pada data ini menjadi salah satu alasan mengapa UN masih dipertahankan, meskipun ada berbagai kritik terhadap cara penilaiannya.
Peran Data UN dalam Evaluasi Kualitas Pendidikan
Data hasil UN memberikan indikator kuantitatif yang jelas tentang tingkat pencapaian kompetensi siswa di seluruh Indonesia. Pemerintah menggunakan data ini untuk mengevaluasi efektivitas kurikulum, strategi pembelajaran, dan kebijakan pendidikan yang telah diterapkan. Selain itu, data UN juga digunakan untuk melihat distribusi kualitas pendidikan di berbagai wilayah, sehingga dapat mengidentifikasi daerah yang membutuhkan perhatian khusus atau intervensi lebih lanjut.
Misalnya, jika ada provinsi atau kabupaten dengan hasil UN yang jauh di bawah rata-rata nasional, pemerintah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tersebut, seperti dengan mengalokasikan lebih banyak dana, mengirimkan tenaga pengajar yang lebih berkompeten, atau menyediakan pelatihan khusus. Data ini menjadi dasar untuk keputusan-keputusan penting terkait pemerataan pendidikan dan pengalokasian sumber daya.
- Keterbatasan dalam Mengganti Fungsi Data UN
Jika UN dihapus, salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menggantikan fungsi data besar yang dihasilkan oleh UN. Tanpa UN, sulit untuk mengumpulkan data yang seragam dan terstandarisasi di seluruh Indonesia. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah asesmen berbasis portofolio atau proyek, namun jenis data ini lebih bersifat kualitatif dan memerlukan sistem evaluasi yang lebih kompleks dan terperinci. Meskipun ada potensi untuk mengembangkan metode penilaian berbasis observasi atau penilaian diri siswa, data semacam ini akan sangat bergantung pada profesionalisme guru dan kualitas instrumen evaluasi yang digunakan.
- Tantangan Pengumpulan Data yang Merata
Salah satu keunggulan UN adalah kemampuan untuk mengumpulkan data yang luas secara serempak dan seragam di seluruh Indonesia. Mengganti sistem ini dengan alternatif yang lebih beragam dan holistik memerlukan infrastruktur yang kuat untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyebarkan data secara merata di seluruh pelosok negeri. Ini akan membutuhkan pengembangan sistem informasi pendidikan yang lebih maju, yang tidak hanya dapat mengakses data secara real-time, tetapi juga dapat mengolah dan memanfaatkan data untuk kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Di sisi lain, sistem alternatif seperti penilaian berbasis proyek atau portofolio akan mengakibatkan variabilitas dalam cara data dikumpulkan, karena kualitas dan format penilaian bisa sangat berbeda antar sekolah atau daerah. Hal ini bisa menambah kesulitan dalam memperoleh data yang dapat dibandingkan antar wilayah dengan adil dan akurat.
- Kesulitan dalam Menilai Pemerataan Pendidikan
Tanpa UN, memantau pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia menjadi lebih sulit. Salah satu fungsi utama UN adalah memberikan gambaran tentang kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Dengan data UN, pemerintah dapat melihat dengan jelas daerah mana yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya pendidikan, yang kemudian mendorong kebijakan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Sistem penilaian alternatif mungkin tidak bisa memberikan data yang seragam atau komprehensif untuk mengukur pemerataan kualitas pendidikan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan UN.
- Alternatif Data dan Evaluasi Pendidikan
Untuk menggantikan data besar yang dihasilkan oleh UN, diperlukan sistem evaluasi alternatif yang dapat menghasilkan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu solusi adalah pengembangan sistem evaluasi berbasis asesmen berkala yang dilakukan oleh sekolah dan dipantau secara terpusat oleh pemerintah. Asesmen ini bisa mencakup berbagai jenis ujian atau proyek yang berfokus pada pengembangan keterampilan siswa, seperti kemampuan kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah.
Namun, pengumpulan dan analisis data ini akan lebih rumit, karena tidak semua sekolah memiliki kemampuan dan infrastruktur untuk melakukan penilaian secara seragam. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan pelatihan kepada pendidik, menyediakan teknologi yang mendukung, serta mengembangkan perangkat evaluasi yang dapat diadaptasi secara lokal untuk memastikan kualitas data yang dihasilkan tetap dapat diandalkan.
- Peran Sistem Informasi Pendidikan yang Lebih Baik
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu memperkuat sistem informasi pendidikan yang lebih baik dan terintegrasi. Sistem ini harus memungkinkan pengumpulan data yang lebih komprehensif mengenai hasil belajar siswa di seluruh Indonesia, yang mencakup berbagai aspek perkembangan siswa, mulai dari pengetahuan akademik hingga keterampilan non-kognitif. Dengan adanya platform digital yang lebih canggih, data pendidikan dapat dikelola dengan lebih efisien, memungkinkan penilaian yang lebih beragam namun tetap terukur.
Resistensi dari Masyarakat dan Institusi Pendidikan
Sebagian besar masyarakat dan institusi pendidikan di Indonesia masih memiliki pandangan kuat bahwa Ujian Nasional (UN) adalah cara yang objektif dan terbukti efektif dalam menilai kemampuan siswa. Pandangan ini tidak hanya berlaku pada kalangan orang tua dan siswa, tetapi juga melibatkan banyak pendidik dan pihak-pihak terkait dalam sistem pendidikan. UN dianggap sebagai tolok ukur yang telah diterima secara luas dan menjadi standar evaluasi di tingkat nasional. Oleh karena itu, ketika dibicarakan mengenai kemungkinan penghapusan UN, banyak pihak yang merasa khawatir tentang ketidakpastian yang mungkin timbul.
Kekhawatiran ini muncul karena perubahan dalam sistem evaluasi tentu akan berdampak pada banyak aspek, mulai dari proses belajar mengajar hingga cara penilaian terhadap prestasi siswa. Bagi banyak sekolah, terutama yang sudah terbiasa dengan pola ujian berbasis UN, mengganti sistem penilaian berarti harus merombak banyak hal, termasuk kurikulum, metode pengajaran, hingga pelatihan bagi guru. Oleh karena itu, resistensi terhadap penghapusan UN lebih banyak dipicu oleh ketidakpastian terhadap alternatif yang belum jelas, yang berpotensi menambah beban pada pihak sekolah dan orang tua. Tanpa adanya penjelasan yang cukup mengenai sistem pengganti yang kredibel dan mudah diimplementasikan, resistensi ini diprediksi akan terus berkembang.
Dampak pada Kebiasaan dan Sistem Rekrutmen
UN juga memiliki dampak yang sangat besar pada proses seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, baik itu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun perguruan tinggi. Sebagian besar sistem seleksi penerimaan siswa saat ini masih sangat bergantung pada hasil UN sebagai parameter utama dalam menentukan kelulusan dan penerimaan. Misalnya, hasil UN seringkali menjadi penentu utama dalam proses seleksi masuk SMA/SMK, di mana siswa dengan nilai UN tinggi lebih memiliki peluang untuk diterima di sekolah favorit.
Jika UN dihapuskan, sistem seleksi yang ada saat ini akan terganggu, karena tidak ada lagi patokan yang digunakan secara nasional untuk menilai kemampuan akademik siswa. Oleh karena itu, perubahan besar dalam kebijakan penerimaan siswa harus dipertimbangkan. Salah satu alternatif yang mungkin diambil adalah penggantian UN dengan ujian berbasis seleksi masuk yang lebih menyeluruh, seperti tes berbasis portofolio, wawancara, atau asesmen berbasis proyek. Meski demikian, peralihan ini tentu akan menimbulkan tantangan tersendiri, karena memerlukan pembaruan sistem yang sangat besar, baik dari segi kebijakan pendidikan maupun infrastruktur pendukung yang ada di seluruh Indonesia.
Minimnya Pemahaman terhadap Penilaian Holistik
Salah satu alasan mengapa UN masih dipertahankan adalah karena kurangnya pemahaman dan penerimaan terhadap konsep penilaian yang lebih holistik, seperti penilaian berbasis portofolio atau proyek. Sistem penilaian semacam ini mengharuskan guru untuk lebih memperhatikan perkembangan siswa dalam jangka panjang, dan melibatkan asesmen yang tidak hanya terfokus pada hasil ujian semata. Namun, konsep ini belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh banyak pihak, termasuk guru, orang tua, dan pembuat kebijakan.
Banyak pendidik yang terbiasa dengan sistem evaluasi berbasis ujian dan mungkin merasa bahwa penilaian holistik terlalu kompleks atau memerlukan lebih banyak waktu dan sumber daya. Begitu pula dengan orang tua yang terbiasa dengan indikator yang jelas seperti nilai ujian, dan cenderung merasa tidak yakin dengan sistem penilaian yang lebih berbasis pada pengamatan atau penilaian terus-menerus. Tanpa adanya edukasi yang memadai tentang keunggulan penilaian holistik dan bagaimana cara menerapkannya, sistem ini sulit untuk diterima secara luas.
Proses Transisi yang Matang
Untuk menghapus UN secara efektif, diperlukan proses transisi yang matang, dengan pendekatan yang hati-hati terhadap semua pemangku kepentingan. Hal ini mencakup edukasi yang mendalam terhadap masyarakat, guru, dan pembuat kebijakan mengenai pentingnya penilaian yang lebih relevan dengan kebutuhan pendidikan modern. Proses ini tidak hanya melibatkan perubahan pada sistem penilaian, tetapi juga pada kurikulum, infrastruktur pendidikan, dan sistem seleksi yang ada saat ini.
Edukasi kepada guru dan orang tua mengenai penilaian berbasis portofolio atau asesmen proyek perlu dilakukan secara berkelanjutan agar mereka memahami bahwa proses ini lebih mencerminkan kemampuan siswa secara menyeluruh, termasuk keterampilan kritis, kreatif, dan analitis. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan pelatihan dan sumber daya yang cukup agar guru dapat beradaptasi dengan perubahan sistem ini. Tanpa adanya dukungan yang memadai, transisi ini berisiko tidak berjalan dengan lancar dan bisa menimbulkan kebingungannya sendiri di kalangan masyarakat.
Secara keseluruhan, meskipun terdapat kebutuhan untuk mengubah sistem evaluasi pendidikan di Indonesia, penghapusan UN memerlukan waktu, kebijakan yang matang, serta keterlibatan aktif dari seluruh pihak untuk mencapainya. Jika semua pemangku kepentingan dapat bekerja sama dalam merancang sistem penilaian yang lebih relevan dan adaptif, maka pendidikan Indonesia dapat menuju arah yang lebih baik.[]
pembelajar, pejalan sunyi
Leave a Reply