karya anak salam

Trans Jogja: Solusi Terhenti di Tengah Tantangan Transportasi

Kota Jogja, dengan segala pesonanya, merayakan keberagaman dan kesejukan budaya. Namun, di balik kemegahan kearifan lokalnya, ada suara dari Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan DIY, Pak Rizky Budi Utomo, yang membawa perhatian kita pada tantangan serius dalam sistem transportasi kota ini.

Pak Rizky Budi Utomo memulai kisahnya dengan fakta mencengangkan: di Kota Jogja, setiap 10 orang, terdapat 11 kendaraan pribadi. Sebuah statistik yang mencerminkan kecenderungan masyarakat untuk beralih ke transportasi pribadi, meninggalkan solusi umum seperti Trans Jogja. Namun, kenyataannya, penumpang Trans Jogja mengalami penurunan drastis sejak pandemi COVID-19, dan angkanya belum mampu pulih.

Salah satu sorotan Pak Rizky adalah tentang proyek-proyek monumental di Jogja, seperti Flyover dan Underpass. Meski didesain untuk meredakan kemacetan, ironisnya, proyek-proyek ini justru menjadi magnet bagi masyarakat untuk lebih memilih kendaraan pribadi. Seolah-olah, solusi yang dihadirkan hanyalah kain sementara untuk melapisi luka kemacetan yang semakin meradang.

Namun, fokus utama pembicaraan Pak Rizky terletak pada halte Trans Jogja. Sebagai tempat pemberhentian yang seharusnya melayani masyarakat dengan efisien, halte-halte ini seringkali justru menimbulkan tantangan baru. Jarak antar halte yang terlalu jauh, waktu tunggu yang lama, dan kondisi yang kurang terawat menjadi beban bagi para penumpang.

Pak Rizky menggarisbawahi pentingnya lokasi yang strategis dan terawat untuk halte-halte tersebut. Jarak yang dekat antar halte, informasi yang jelas, dan fasilitas yang memadai dapat menjadi kunci untuk meningkatkan minat masyarakat menggunakan Trans Jogja. Namun, saat ini, halte-halte tersebut seringkali terabaikan, kotor, dan minim pencahayaan, menciptakan pengalaman yang tidak nyaman bagi penumpang.

Salah satu Halte yang sunyi

Selain itu, ketidakjelasan informasi di sekitar halte menambah kompleksitas penggunaan Trans Jogja. Dengan waktu tunggu rata-rata 30-40 menit, penumpang membutuhkan panduan yang jelas untuk membuat perjalanan mereka lebih lancar. Komunitas yang berinisiatif memasang peta mungkin memberi kontribusi, tetapi kehadiran pemerintah dalam memberikan informasi yang terstandarisasi dan mudah diakses tetaplah krusial.

Kritik yang tajam dari Pak Rizky seolah menciptakan gambaran bahwa Trans Jogja, yang seharusnya menjadi solusi, terjebak dalam kemacetan administratif dan perawatan. Harapan kita pada pemerintah untuk mengelola transportasi umum, tidak hanya di Jogja tetapi juga di kota-kota lainnya, harus menjadi titik awal perubahan. Kota “Istimewa” ini memiliki potensi besar untuk menjadi surga transportasi umum, yang tak hanya dinikmati oleh warganya sendiri tetapi juga oleh para wisatawan yang ingin merasakan keunikan Jogja. Kita berharap bahwa pandangan dan saran dari Pak Rizky Budi Utomo akan menjadi panggilan untuk perubahan yang mendalam, menuju sistem transportasi yang sesuai dengan predikat “Istimewa” yang melekat pada kota ini. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *