Seorang menteri mengumumkan bahwa balai latihan kerja (BLK) sedang bersolek. Tahun ini, pilot project baru digulirkan. Kata kuncinya: project-based learning, dengan tema-tema futuristik seperti smart operation, agroforestry, dan green jobs. Disampaikan dengan bahasa yang tampak progresif, penuh istilah yang bisa saja membuat kita berpikir sejenak bahwa negeri ini benar-benar sedang bergerak menuju masa depan.

Namun seperti biasa, hal yang tampak bukan selalu hal yang sesungguhnya. Di bawah gemerlap kosakata manajemen dan teknologi, ada sesuatu yang tak berubah dari sejak zaman Suharto—yakni semangat pembangunan sebagai praktik belanja, bukan pembebasan.
Dalam sistem ini, pembangunan bukan dirancang dari kebutuhan riil masyarakat, melainkan dari perintah dan imajinasi para konsultan lembaga donor. Kita membelanjakan utang seperti anak muda baru dapat kartu kredit—semakin besar tagihannya, semakin merasa berhasil. Maka tak heran jika jaringan BLK yang dibangun sejak masa Orde Baru sejatinya adalah proyek titipan dari dokumen-dokumen Bank Dunia, ADB, dan kroni-kroninya.
BLK, dalam semangat itu, bukanlah tempat pengolahan manusia menjadi subjek merdeka, melainkan menjadi komoditas siap pakai. SDM—singkatan yang terlalu teknokratis untuk menyebut manusia—harus siap kerja, siap digaji murah, siap mendukung arus investasi asing. Negara ikut menyubsidi pelatihan, memberi pangan murah, hingga menanggung biaya kesehatan buruh. Petani dikorbankan, tanah dipinggirkan, dan pasar domestik dilupakan.
Inilah kolonialisme 2.0: ketika investasi menjadi wajah baru dari pendudukan, dan pembangunan menjadi nama lain dari pengabdian.
Kita bisa mengkhayalkan lain. Bahwa BLK bisa menjadi ruang pembelajaran produktif bagi penguatan industri rakyat—UKM berbasis wilayah, klaster-klaster kecil yang menanam, memproses, dan menjual hasilnya sendiri. Tetapi negara tampaknya tak pernah serius menyelesaikan akar persoalan UKM: perizinan yang rumit, pembiayaan yang sempit, pemasaran yang tidak dibantu.
Pemerintah lebih percaya pada teori keunggulan komparatif ketimbang keberanian berdikari. Para akademisi yang mendampingi pembangunan BLK, umumnya jebolan sekolah teknik bergengsi, dididik bukan untuk berpikir sosial, melainkan untuk menyusun detailed engineering design. Desain yang rinci, tetapi tanpa makna.
Di sinilah kita menemui kegagalan yang lebih dalam: cara berpikir yang masih terjajah. Mindset birokrasi yang diwarisi dari kolonialisme lama, yang menganggap rakyatnya sendiri sebagai beban atau ancaman. Maka negara tak membangun dari bawah, tetapi dari laporan; tak menyusun masa depan dari kenyataan, tetapi dari dokumen-dokumen utang luar negeri.
Apa yang bisa diharapkan dari BLK, jika isi kepalanya masih berisi file doktrin tua? Balai latihan kerja menjadi balai reproduksi manusia setengah merdeka. Maka sebelum membangun instruktur smart creative IT skills, mungkin sebaiknya negara melatih diri sendiri untuk belajar dari rakyatnya. Sebab jika tidak, nama lain dari project-based learning adalah: kita mengulangi proyek yang sama dengan hasil yang sama—yakni, kegagalan.
Dan begitulah ironi terbesar dari sebuah negara yang sibuk melatih rakyatnya untuk siap kerja, tapi lupa bekerja untuk rakyatnya sendiri. BLK dibangun megah, dilengkapi alat canggih, tapi sering kali hanya jadi museum niat baik yang gagal diwujudkan. Kita bukan kekurangan pelatihan, tapi kekurangan keberpihakan. Bukan minim skill, tapi minim keadilan. Maka sebelum sibuk mencetak tenaga kerja unggul bagi dunia, barangkali negara perlu lebih dulu belajar satu hal yang paling mendasar—yakni cara menjadi rumah yang tak mengusir anaknya sendiri. []
Panaruban, 4 Juli 2025
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply