Pembelajaran dengan prinsip dan metode baru di SALAM awalnya membuat anak saya tampak gagap. Enam tahun belajar di Sekolah Dasar formal sudah mewarnai kehidupan sehari-harinya. Bangun pagi, berangkat sekolah, pulang jelang sore, istirahat sebentar atau langsung bermain (sepakbola, sepeda, layang-layang, dll). Setelah hari gelap beringsut menyiapkan diri untuk keesokan harinya. Enam tahun seperti ini. Jadwal dibuatkan sekolah. Mata pelajaran banyak. Buku latihan dan tugas menumpuk. Ujian demi ujian berlangsung rutin. Jadi, ketika kebiasaan panjang ini bertemu dengan dinamika baru yang berbeda, boleh jadi perlu cukup waktu untuk anak saya agar lebih mengenal dan memahaminya sebaik mungkin.
Berbeda bagaimana? Ya. Anak saya masuk ke dalam lingkungan proses, yang menurut saya wilayah andragogi. Ini proses belajar yang lazim dilakukan orang dewasa. Semoga saya tidak keliru. Kesepakatan di awal dilakukan dengan bantuan fasilitator, kemudian dijalani bersama dengan konsekwen. Setiap pembelajar mengatur dirinya sendiri, kemudian beraksi mencoba menyesuaikan dengan dinamika proses, dan pada akhirnya melakukan refleksi diri. Setiap proses akan ada capaian-capaian. Sebelumnya, anak saya tampaknya belum mengalami proses seperti ini. Atau, kalau sudah, boleh jadi belum dijadikan tradisi-kebiasaan. Ruang untuk mengelaborasi proses sebelumnya terbatas. Di SALAM, ruang ini terbuka seluas-luasnya.
Setelah memasuki lingkungan belajar di SALAM, dengan bantuan fasilitator dan teman-temannya, termasuk juga kami sebagai orang tua, Cahya memilih riset perdananya tentang layang-layang. Ia tampak bersemangat karena memang sebelumnya sudah menyukai layang-layang, dan di lingkungan rumah juga sedang marak permainan layang-layang. Selain dengan fasilitator, kami sebagai orang tua berusaha mendampingi semaksimal mungkin. Diskusi awal dilakukan, memetakan proses apa saja yang sekiranya perlu dan penting dikerjakan. Kemudian juga membayangkan hasilnya. Harapannya di tiap tahap proses akan berjalan lancar dan baik.
Empat papan tulis kecil khusus disiapkan untuk membuat rancangan riset bersama di rumah. Kami berdiskusi dan menuliskan rencana proses yang akan dilakukan. Setiap tahap didiskusikan dengan harapan bisa dipahami Cahya, juga kami tentu saja. Proses diusahakan terukur, masuk akal. Paling tidak menurut Cahya dan kami, orangtuanya. Setelah rancangan jadi, maka proses selanjutnya adalah pelaksanaan. Cahya juga terus mencoba berkomunikasi dan minta saran-saran fasilitator maupun temannya. Kami orang tua juga mencoba berinteraksi selama proses. Secara umum proses mengasyikkan. Cahya tampak menikmati proses, walau sesekali terlihat kebingungan (khususnya kalau konsentrasinya pecah, berbenturan dengan keasyikan main telepon seluler). Saya sendiri mendorongnya untuk mencoba mencari solusi sendiri ketika menemukan masalah, baik yang konseptual maupun teknis. Maksud saya konseptual adalah berkaitan dengan rancangan dan bayangannya tentang proses yang akan dilakukan. Sedangkan teknis adalah pelaksanaan, aksi lapangan, ketika kerja riset dijalani.
Mulus? Jelas tidak. Saya, walau tidak terlalu rutin menemani Cahya, sempat beberapa kali menemukan ia kalau sudah asyik dengan yang dilakukan, hal lain akan dilupakan/diabaikan. Misalnya ketika proses pembuatan layang-layang. Keasyikan membuatnya lupa untuk melakukan pencatatan proses secara rapi. Bahannya apa saja, misalkan bambu, ia tidak mencatat didapatkan di mana, ukurannya dimensinya berapa, beratnya berapa, dst. Kemudian juga ukuran kerangka, panjang lebarnya. Benang/tali juga cenderung asal pakai dan kurang menggali kecocokan penggunaannya dengan layang-layang jenis tertentu. Belum lagi mengenai harga bahan, alternatif bahan. Selain itu, secara umum kesepakatan yang sudah ditulis bersama di papan tulis juga sebagian tidak dilakukan. Beberapa kali kami orang tuanya coba mengingatkan. Tetapi masih belum maksimal dikerjakan. Di sini saya merasa, bahwa Cahya belum memaksimalkan diri untuk belajar menghargai kesepakatan dan disiplin proses. Ini tantangan ke depan yang perlu diperhatikan sungguh-sungguh oleh Cahya, juga kami sebagai orang tua.
Ini sebagai pengingat bersama. Mundur sedikit ke belakang. Pilihan untuk ikut belajar di SALAM dari Cahya sendiri. Beberapa tempat belajar sebelumnya kami perkenalkan untuknya melalui hasil liputan/tayangan di internet. Selain melalui internet, kami juga menyambangi langsung ke setiap lokasi. SALAM salah satu yang kami perkenalkan selain pondok pesantren, sekolah negeri, dan sekolah swasta reguler. Cahya memilih SALAM. Sebelum bergabung, Cahya sempat terdaftar di sebuah SMP di Yogyakarta. Kami membuat kesepakatan, kalau di SALAM kuotanya mencukupi, kapan pun, Cahya boleh langsung bergabung dengan SALAM. Ia tampak mau belajar sungguh-sungguh di SALAM walau belum tau seperti apa prosesnya. Ketika kuota di SALAM memungkinkan Cahya untuk masuk, maka kami segera menariknya dari sekolah sebelumnya.
Saya berharap Cahya bisa lebih menghargai kesepakatan, juga disiplin dalam berproses. Hal ini tidak mengurangi keasyikannya untuk tetap bereksperimen sesuai minatnya. Ia memilih SALAM tanpa paksaan. Harapan saya Cahya belajar konsekwen dengan pilihannya. Saya membebaskannya untuk berproses dengan kesepakatan di awal. Pelan tapi pasti, saya akan terus mendukungnya untuk menjadi dirinya sendiri dan menikmati proses-proses yang diinginkannya. Tentu saja tantangannya itu tadi, harus lebih bisa menghargai kesepakatan dan belajar berproses secara disiplin. Juga, akan lebih baik lagi membiasakan bangun pagi dan mengurangi aktivitas permainan telepon seluler maupun komputer. Saya mengharapkan Cahya lebih banyak memiliki waktu untuk bermain dengan teman-temannya, baik di lingkungan rumah, tempat belajarnya di SALAM, juga beragam ruang lainnya yang memantik perkembangannya dari berbagai sisi.
Bangunjiwo, 3 Desember 2020
Tomy Widiyatno Taslim, Ayah Cahya Aji Ahimsa

Orangtua SALAM
Leave a Reply