Saya tidak paham, kenapa beberapa hari ini begitu banyak bermunculan tema ‘literasi’ di kabar berita akun media sosial saya. Entah itu status, atau artikel yang dibagi oleh kawan terkait literasi. Apakah bulan ini adalah bulan literasi? Entahlah. Namun saya menemukan banyak tulisan menarik dan sebagian besar memang menyoroti tentang rendahnya minat baca di Indonesia. Terkait hal ini, ingin rasanya untuk ikut membuat riuh dengan berkisah tentang laku literasi yang terjadi di Sanggar Anak Alam (SALAM).
Literasi memang sedang jadi topik hangat pada beberapa bulan terakhir di Salam. Sejak akhir semester lalu, SALAM juga sedang menggalakkan literasi dengan mengoptimalkan peran perpustakaan serta menyelenggarakan serangkaian diskusi dan bedah buku. Yang terbaru, SalAM juga akan menggiatkan pembacaan dongeng berkala di jam-jam istirahat. Beberapa orangtua dan fasilitator sudah menyatakan kesediaannya untuk terlibat. Bahkan beberapa anak juga ingin berperan menjadi pembaca dongeng untuk teman-temannya.
Sementara bagi saya, literasi menjadi salah satu motivasi untuk bergabung menjadi fasilitator. Dengan berada di kelas, saya menempatkan diri di salah satu tempat paling efektif untuk membangun budaya membaca dan menulis. Laku yang saya tempuh, gagasan besarnya, adalah membawa buku sebagai ‘camilan’ bagi anak-anak.
Tahun lalu, saya pernah menggugah semangat baca teman-teman kelas 5 dengan mengajak mereka membaca dari buku-buku di perpustakaan pribadi milik salah satu orangtua. Tepatnya setelah saya diminta untuk mengisi materi ‘workshop menulis’ di kelas. Dari workshop tersebut saya memperoleh kesimpulan bahwa dengan banyak membaca, tulisan seorang anak akan mudah berkembang. Membaca menjadi suplemen untuk memperkaya kosakata dan diksi.
Ajakan saya sebenarnya sederhana: Pilih satu buku, temukan hal menarik, atau sebaliknya, temukan hal yang tidak menarik, lalu kapan-kapan kita diskusi. Hasilnya? Tak ada satu anak pun yang kembali mendatangi saya. Entah untuk sekedar bertanya, “Enaknya baca apa ya, bu?” atau pertanyaan lain yang lebih bombastis seperti, “Bu, saya sudah baca nih, kapan kita diskusi?” Sama sekali tidak.
Maka, pembiasaan di kelas mungkin jadi salah satu metode yang bisa saya terapkan lewat fasilitasi kelas 10 kali ini. Namun berharap seorang anak membaca sebuah buku (hingga tuntas) dan meminta mereka menulis review atas buku tersebut, di sela kesibukan riset mandiri dan bermain, adalah setengah semu. Target ‘1 semester 2 buku’ rasanya terlalu tinggi mengingat instagram jauh lebih menarik dari buku, dan mengirim ‘jempol’ lebih mudah daripada menulis jurnal. Maka di semester ini, fasilitator hanya mengembangkan kebiasaan ‘rekreasi membaca’ sebagai sisipan kegiatan lain di kelas. Target pun tidak kami pasang tinggi-tinggi. Satu tulisan pendek untuk dibaca tiap minggu sudah cukup.
Bacaan yang kami ambil bisa dari mana saja. Minggu pertama saya memilih dua artikel dari buku “Menulis Sosok” nya Pepih Nugraha. Dari diskusi yang berkembang setelah membaca bergilir, saya melihat beberapa teman sudah memiliki referensi bacaan sesuai selera masing-masing. Maka minggu berikutnya, kami lantas membaca beberapa cerpen dari beberapa penulis yang berbeda jaman.Gaya bahasa penulis menjadi salah satu hal yang kemudian kami cermati dalam diskusi.
Karena siswa kelas 10 masih sangat sedikit dan spektrum pengetahuan dari riset mandiri belum banyak berkembang, maka kami mulai memilih esai sebagai bahan bacaan. Sebuah esai pengantar buku “Kuba Melawan Revolusi Hijau” karya pak Toto Rahardjo menjadi pilihan. Diskusi yang berkembang pada tema kemandirian pangan, sosialisme dan lain-lain menjadi pemantik berkembangnya spektrum pengetahuan sosial. Saya kemudian teringat sebuah tulisan di buku “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” karya Sigit Susanto saat berkunjung ke Kuba. Esai perjalanan ini kemudian dipilih teman-teman sebagai bacaan berikutnya. Tidak melulu buku, kami juga pernah memilih film sebagai ‘bahan bacaan’.
Sementara untuk menulis, saya mengajak teman-teman SMA untuk lebih banyak menulis bebas, tentang apa saja. Mulai dari acara jalan-jalan, pengalaman ikut pentas teater, pengalaman merancang riset mandiri hingga wawancara dengan narasumber riset, bisa menjadi bahan tulisan. Kami juga lantas menginisiasi sebuah website yang kemudian berkembang menjadi ‘blog bersama’ sebagai wadah tulisan dan jurnal hasil belajar.
Kami meyakini bahwa sesungguhnya literasi tidak sekedar ‘membaca’ dan ‘menulis’ teks. Pengetahuan dapat hadir dari pembacaan atas peristiwa dan kegiatan sehari-hari, tamu-tamu yang berkunjung ke sekolah, pribadi-pribadi yang kami wawancara dan sebagainya. Diskusi yang kemudian kami bangun dalam kelas, menjadi sebuah alat review untuk membaca ulang dan menstrukturkan hasil bacaan tersebut dalam pemikiran. Dari diskusi kemudian kami tahu, bahwa pengamatan kami harus lebih jeli, pertanyaan kami harus lebih tajam, dan jurnal yang kami tulis dapat lebih luas berkembang.
Bahkan setelah saya selami lebih dalam metode “daur belajar” di SALAM lebih mendasar bicara soal esensi literasi yang tidak hanya sekadar olah pikir, namun secara terstruktur menemukan pengetahuan yang berasal dari peristiwa nyata (membaca dan mengolah realita) sehingga melahirkan tulisan deskriptif yang genuine.
Tentu saja masih sangat dini untuk mengatakan bahwa laku literasi SALAM di kelas SMA ini berhasil. Bahkan mungkin juga ini sama sekali bukan laku literasi jika dibandingkan gerakan-gerakan literasi apapun. Namun setiap kali menerbitkan sebuah tulisan baru di website kelas, saya merasakan sebuah kegembiraan kecil yang layak untuk dirayakan dengan secangkir kopi.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply