Blog

Cerita Dream & Browney, Anjing-Anjing Adopsi Dydy

Setelah libur lebaran berakhir, kami kedatangan seorang wajah lama yang tinggi badannya sudah jauh berbeda. Awalnya, berita tentang kedatangan Dydy dirahasiakan agar menjadi kejutan bagi teman-temannya. Namun, entah bagaimana, bocoran tersebut dengan cepat tersebar di kalangan anak-anak. Karena itu, tidak ada yang kaget ketika terdengar bahwa di hari Senin, langsung setelah libur berakhir, Dydy akan melakukan presentasi tentang pengalamannya mengadopsi seekor anjing liar yang ia lihat sering berkeliaran di seberang rumahnya, bernama Browney. Browney bukanlah anjing pertama yang diadopsi oleh Dydy, bahkan sudah ada anjing lain bernama Dream yang tinggal di rumah. Perbedaan, persamaan, serta interaksi dua anjing ini yang diceritakan oleh Dydy.

Hari Senin pun tiba dan kita berkumpul di ruang Sukrosono. Sembari menunggu teman-teman berkumpul, kami menonton video-video yang sudah dikompilasi oleh Bu Ivy tentang anjing-anjing yang lucu dan hubungan yang mengharukan antara hewan dan manusia. Misalnya, ada video tentang orkestra yang dikondekturi oleh seekor anjing dari gerakan ekornya.

Setelah siap, Dydy dan Bu Ivy pun mulai melakukan presentasi. Dydy menyampaikan informasi-informasi yang ia cari, lalu Bu Ivy menambahkan penjelasan-penjelasan dan cerita yang lebih detil. Dydy bercerita tentang manfaat memelihara anjing, makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh anjing, arti dari gonggongan serta gerakan ekor anjing, serta penyakit yang biasa menyerang anjing. Untuk informasi yang terakhir ini, Dydy dapatkan dari hasil wawancaranya dengan seorang dokter hewan di Bali.

Kalimat yang dijadikan slide pembuka presentasi Dydy adalah ‘Ayo Adopsi, Jangan Membeli’. Selain karena Browney sendiri memang anjing yang tidak memiliki rumah bersama manusia, Dydy juga menceritakan proses bagaimana seekor anjing (atau peliharaan lain) bisa ada di pet shop yang dinamakan aktivitas ‘Puppy Mills’, proses pembiakan anjing yang lebih mementingkan untung dibanding kesejahteraan anjing. Selain itu, banyak juga anjing di Bali yang dibuang maupun diracun.

Sembari melakukan presentasi, ketika sedang ada jeda ketika mamanya yang menjelaskan, aku dan Dydy terlibat dalam perang kecil karena aku kerap mematikan mic yang dipegang Dydy melalui speaker yang ada di dekatku. Dydy berkali-kali meniup mic tersebut sehingga mengeluarkan suara-suara keras. Ketika kumatikan, Dydy memandangku dengan tatapan mata yang kesal dan berusaha untuk menyalakannya kembali, namun ia tidak mengetahui tombol mana yang perlu ditekan untuk menyalakan micnya. Kejadian tersebut pun berlangsung berkali-kali hingga presentasi selesai.

Sebagai respon dari presentasi Dydy, aku mengajak teman-teman untuk mengingat pertemuan kita dengan seekor anjing yang pasti pernah ditemui anak kelas 4, yaitu Appa, anjing yang dipelihara oleh Mbak Lekha. Kita juga membahas bagaimana situasi anjing di Jogja, bahkan di daerah dekat SALAM.

Setelah pertanyaan-pertanyaan dari pada hadirin terjawab dan pie susu dibagikan, Dydy segera turun ke bawah untuk melakukan hal yang sudah ia tunggu-tunggu, yaitu bermain bersama dengan temannya tanpa harus terhalang jarak. Bahkan hari itu ia sampai sulit sekali dicari ketika sudah waktunya pulang.

Selasa – Menonton Hachiko

Karena dari 2 tontonan kita sebelumnya (Coco & Sang Kiai), teman-teman ini cukup bisa fokus ketika sedang menonton film, aku pun mengajak teman-teman untuk menonton Hachiko keesokan harinya sebagai kelanjutan dari presentasi Dydy,. Film ini cukup terkenal untuk menceritakan hubungan yang indah antara manusia dengan anjing.

Namun aku sedikit berbohong sebelumnya untuk mendapat persetujuan dari beberapa anak-anak, hehe. Ketika Ayya bertanya apakah filmnya sedih, aku menjawab bahwa film tersebut itu lucu, ‘kan tentang seekor anjing. Padahal, film Hachiko ini terkenal karena ceritanya yang mengharukan. Mba Jatu yang saat itu juga mendengarkan percakapan kami pun ikut tutup mulut.

Benar saja, ketika kita menonton film Hachi tersebut, beberapa wajah yang sudah terprediksi akan menangis (Ayya, Ganis, Lita), benar-benar menangis. Aku pun dimarahi dan disebali oleh mereka di hari itu. Oh iya, Ella dan Atta yang duduk terpisah justru menonton dan meledek kita yang meneteskan air mata melihat Hachi yang terus-menerus menunggu si profesor. Namun, mereka setuju bahwa film tersebut bagus dan menarik. Untuk cowok-cowok yang lain, mereka tidak terlalu tertarik karena ada yang sudah pernah menonton sebelumnya, kecuali Ael yang memang menyukai anjing dan sering menirukan suara anjing.

Setelah menonton, kami membahas bahwa cerita ini diambil dari kisah yang benar-benar nyata. Aku juga menunjukkan patung Hachiko asli yang ada di Shibuya, Tokyo. Kita juga membahas bagaimana film tersebut kadang berusaha menunjukkan sudut pandang dari seekor anjing. Dari pengambilan di kisah nyata itu, kita juga membahas bahwa bukan hanya anjing saja yang dapat setia seperti itu. Misalnya, di video yang ditonton ketika presentasi Dydy pun menunjukkan cerita tentang reaksi hewan-hewan lain, seperti kucing, burung, ayam, bahkan hingga gorilla sekalipun tetap mengingat teman manusianya meski sudah beberapa tahun lamanya. (https://www.youtube.com/watch?v=u1sXL-39Uw0)

Rabu – Berenang

Masih dalam rangka Minggu Dydy, Dydy akan mengajari teman-teman tentang teknik melompat ke dalam air. Dydy mempelajari ini dari mengikuti klub renang yang benar-benar ditekuninya. Aku datang lebih pagi dan melihat Dydy yang sudah berenang bolak-balik sangat banyak. Ketika aku datang, ia sudah tinggal melakukan satu gerakan lagi, lalu mendinginkan badan.

Tujuan kelas hari ini adalah Dydy akan mengajari teman-teman untuk meloncat dengan lebih baik. Murid pertama Dydy di hari itu adalah aku dan Ael. Sebelum masuk ke air, aku menanyakan stretching seperti apa saja yang biasa Dydy lakukan di klub. Setelah itu, Dydy mengajari dengan cara menyuruhku membayangkan akan loncat melewati sebuah lingkaran, seperti yang ada di sirkus-sirkus. Ketika hal tersebut pun belum kulakukan dengan baik, ia menyarankan untuk mulai dari berjongkok saja dan Bu Ivy ikut memberikan saran untuk lean on the water, seperti bersandar dan biarkan saja terjatuh.

Ael belum berani untuk loncat secara utuh, sehingga Dydy memberikan saran bagi Ael untuk loncat seperti pocong, yaitu dengan dua kaki yang masuk ke dalam air terlebih dahulu. Selama beberapa menit, Ael berusaha mengumpulkan keberanian. Akhirnya ia mencobanya… dan ternyata hal itu tidak semengerikan itu! Setelah berhasil di percobaan pertama, Ael kemudian berkali-kali mencoba loncat pocong ke dalam air. Oh iya, tapi sebenarnya ada teman-teman lain yang sudah ahli juga dalam berenang, seperti Lita dan Awa. Mereka mampu untuk meloncat dengan baik ke dalam air.

Hal menarik lainnya di hari ini adalah ketika Naka menemukan dunia di bawah air. Ia meminjam kacamata renang dan sepertinya baru kali ini memakainya di tempat yang cukup dalam. Ia terpesona ketika dapat melihat dunia di bawah air dengan jernih, bahkan hingga dapat melihat kemiringan dasar kolam renang. Ia kemudian pindah ke kolam yang luas dan berjalan di pinggir-pinggirnya untuk menginvestigasi kedalaman kolam renang tersebut dan kapan dasar kolam tersebut sudah tidak miring lagi.

Kamis – Street Feeding

Setelah mendengar Dydy bercerita dan kita menonton film tentang anjing, rasanya belum lengkap apabila kita tidak benar-benar main bareng dengan hewan-hewan yang bukan hanya ada di kebun binatang, namun di tempat-tempat yang lebih random. Awalnya, aku berencana untuk mengajak teman-teman ke sebuah tempat konservasi, namun menurut informasi dari Papa-nya Ayya, tempat tersebut sudah tutup dan hampir tidak ada tempat penangkaran atau konservasi yang dapat ia rekomendasikan, justru ia mengarahkan ke sebuah komunitas bernama Peduli Kucing Pasar yang sering melakukan street feeding. Menurutku ide tersebut juga sangat cocok dengan ide presentasi Dydy soal ‘Adopsi, jangan Membeli’, yaitu ajakan untuk peduli terhadap hewan-hewan yang terlantar, bukannya sekedar mencari yang lucu saja. Dari rencana tersebut, ternyata kita mendapat kabar bahwa Umi-nya Ael yang rumahnya dekat dengan pasar Niten juga sering untuk ikut memberikan rezeki kepada kucing di pasar tersebut. Sayangnya, di hari itu, Umi berhalangan hadir, namun ia sudah memberi cukup informasi tentang situasi di pasar Niten yang akhirnya menjadi tempat tujuan kita.

Teman-teman diharapkan membawa sisa makanan atau makanan kucing dari rumah, atau bisa juga membeli makanan di pasar. Aku membawa kepala lele dari sarapanku di Bu Yanto.

Aku dan Dydy berangkat ke Pasar Niten dengan menggunakan TJ dari SMKI. Kami berjumpa dengan Gara, Mba Jatu, dan Lita di Ngabean. Sesampainya di Pasar Niten, Gara dan Dydy langsung berlari-lari melihat ikan-ikan kecil yang dijual.

Setelah Angger muncul dengan sepedanya dan Puan pun tiba, kami berjalan menuju parkiran belakang dan mulai melihat banyak sekali kucing-kucing di area sana! Terlebih lagi, tidak sedikit yang juga sengaja menyisihkan ikan yang mereka beli di pasar untuk diberikan kepada kucing-kucing. Kami juga mulai mengeluarkan makanan kucing yang sudah kami persiapkan dan mulai mencari makhluk-makhluk yang kelaparan.

Melihat apa yang kami lakukan, beberapa penghuni pasar pun menyarankan kepada kami untuk membawa kucing-kucing tersebut jika berkenan. Namun, ada juga beberapa kucing yang sepertinya sudah ‘dipelihara’ dan diberikan kalung. Kucing yang berkalung tersebut banyak duduk dengan tenang di depan lapak maupun di atas rak beberapa lapak.

Ada juga seorang ibu dan anak yang bercerita bahwa mereka sempat ikut terlibat dengan sebuah komunitas yang setiap sore datang untuk memberikan makan kepada kucing. Selain itu, ada seorang penghuni pasar yang membawakan sebuah kucing kecil kepada kami untuk diberi makan. Ganis lalu mensuwir-suwirkan ikan yang ia beli di pasar untuk diberikan kepada seekor kucing besar dan seekor kucing kecil (yang dinamai Tiny).[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *