Hari Air Sedunia 2018 jatuh pada tanggal 22 Maret 2018, dan pada tahun ini temanya adalah “Alam untuk Air”, sebagaimana dilaporkan Newsweek, 21 Maret 2018.
“Bagaimana kita bisa mengurangi banjir, kekeringan dan polusi air?” Demikian pertanyaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyelenggarakan Hari Air Sedunia setiap tahunnya.
“Dengan menggunakan solusi yang sudah kita temukan di alam. Solusi berbasis alam memiliki potensi untuk memecahkan banyak tantangan air kita,” kata situs World Water Day.
Pada tahun 2015, PBB menyetujui 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang akan dicapai pada tahun 2030 yang akan memperbaiki dunia tempat kita tinggal. Salah satunya, negara berkomitmen untuk memastikan akses terhadap air dan sanitasi untuk semua orang.
Untuk menandai Hari Air Sedunia 2018, berikut beberapa fakta yang mengejutkan.
- Sekitar 71 persen permukaan bumi tertutup air, menurut The United States Geological Survey Water Science School.
- Pasokan air total dunia setara dengan 332,5 juta mil kubik.
- Lautan merupakan sekitar 97 persen dari seluruh air Bumi, yang berarti hanya 3 persen air yang tidak mengandung garam.
- Dari total air tawar dunia, 69 persen dibekukan di es dan gletser dan 30 persen lainnya ada di tanah.
- Hanya 0,26 persen air dunia ada di danau air tawar.
- Dan hanya 0,001 persen dari seluruh air kita yang ada di atmosfer.
- Pada tahun 2050, populasi dunia akan tumbuh oleh sekitar 2 miliar orang — hampir 10 miliar — meningkatkan permintaan air hingga 30 persen, prediksi PBB.
- Lebih dari 80 persen limbah kotor masyarakat mengalir kembali ke lingkungan tanpa pengolahan atau penggunaan kembali.
- Sebanyak 71 persen lahan basah alami dunia telah hilang sejak tahun 1900, dan ini adalah kesalahan manusia.
- Menurut PBB, 2,1 miliar orang tidak memiliki air minum yang aman di rumah. Dari jumlah tersebut, 844 juta tidak memiliki akses terhadap layanan air minum dasar, termasuk 263 juta orang yang melakukan perjalanan selama lebih dari 30 menit per perjalanan untuk mengumpulkan air.
- Dan 159 juta orang masih minum air yang belum terolah dan memiliki risiko kesehatan yang serius dari sumber air permukaan, seperti sungai atau danau.
Dampak Krisis Air Bersih: Satu dari Lima Bayi Meninggal
Laporan yang dirilis WaterAid, lembaga nirlaba Inggris, saat memperingati Hari Air Sedunia pada 22 Maret lalu, menyebutkan sulitnya mendapat air bersih yang layak dan murah. Hal ini, menurut mereka, menjadi masalah utama untuk mengentaskan kemiskinan dan wabah penyakit.
Akibat tak tersedianya air bersih, risiko gangguan kesehatan hingga potensi kelahiran prematur dapat meningkat. The Independent memperkirakan satu dari lima bayi meninggal dalam bulan pertama kehidupan mereka karena sepsis atau infeksi—masalah kesehatan yang sebenarnya bisa dicegah dengan air bersih dan pola hidup higienis. Diperkirakan 42 persen dari semua rumah sakit di wilayah Sub-Sahara Afrika tak memiliki akses air bersih.
Secara global, penyakit diare akibat mengkonsumsi air kotor dan sanitasi buruk adalah pembunuh anak-anak terbesar kedua setelah pneumonia. Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pada 2015 menyebutkan diare membunuh 315 ribu anak setiap tahun. Pekan lalu, UNICEF menyebutkan masalah akses air bersih semakin parah di lokasi konflik bersenjata, seperti Suriah dan Afganistan.
Krisis air bersih paling mencekik kaum miskin. Banyak yang beranggapan kemiskinan membuat mereka tak sanggup membeli air. Ironisnya, dalam kondisi absolut, orang miskin justru membayar jauh lebih mahal ketimbang orang kaya untuk menikmati air. “Jika Anda hidup di daerah kumuh di Nairobi, Kenya, Anda harus membayar satu meter kubik air lebih mahal ketimbang mereka yang tinggal di Manhattan,” kata Henry Northover, pembuat kebijakan di WaterAid.
WaterAid menyebutkan lebih dari 40 persen penduduk di 16 negara tidak memiliki akses terhadap fasilitas air, bahkan sumur sekalipun. Komunitas marginal harus mengumpulkan air dari kolam dan sungai serta menghabiskan sebagian besar pendapatan harian mereka untuk membeli air bersih. “Meski hamil sembilan bulan, saya harus mengambil air sangat jauh dari desa untuk kebutuhan keluarga,” kata Zosy, perempuan 35 tahun yang tinggal di Analamanga, Madagaskar.
Studi WaterAid juga menunjukkan Papua Nugini memiliki persentase penduduk tanpa air bersih tertinggi. Ada 4,5 juta orang atau 60 persen warga negara tetangga Indonesia itu yang terpaksa hidup tanpa akses air bersih, seperti keran publik, sumur, penampungan air hujan, atau saluran air dalam pipa ke permukiman.
Orang miskin di Papua Nugini menghabiskan 1,84 pound sterling atau lebih dari separuh pendapatan harian mereka untuk menikmati air dengan jumlah sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Adapun orang-orang miskin di Madagaskar menghabiskan hampir separuh pendapatan harian mereka untuk mendapat air bersih dalam jumlah cukup.
India menjadi negara dengan penduduk terbanyak yang tak bisa mengakses air bersih. WaterAid menyebutkan hampir 76 juta warga India hidup dengan pasokan air seadanya. Indonesia ternyata juga masuk daftar tersebut di peringkat ke-6 dari 10 negara. Ada sekitar 32 juta orang di Indonesia hidup tanpa air bersih.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan ketersediaan dan distribusi air yang cukup bisa mengubah hidup seseorang. Air berpengaruh besar terhadap perkembangan manusia, lingkungan, dan perekonomian. Menurut Ban, orang-orang yang sulit memperoleh air dan sanitasi biasanya tidak memiliki akses layanan kesehatan dan pekerjaan yang stabil.
“Pemenuhan dasar atas air, sanitasi, dan layanan yang bersih di rumah, sekolah, dan tempat kerja membuat ekonomi menguat karena ditopang oleh populasi dan tenaga kerja yang sehat dan produktif,”
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply