Sejatinya, kemah ini sudah dilaksanakan lama sekali. Pada kisaran tanggal 7-9 Agustus 2019. Namun, baru sempat saya dokumentasikan prosesnya di bulan Oktober 2019 karena satu dan lain hal yang merenggut konsentrasi saya. Tidak ada pengalaman yang kadaluwarsa, toh ini bukan berita.
Tak sampai sebulan sejak kami memulai pembelajaran di semester 1, kami, warga belajar SMA, bersepakat untuk berkemah. Kemah kami tak bertema ‘coklat’ seperti kebanyakan kemah yang biasanya dilaksanakan. Kami tak seserius, atau secanggih itu. Tak ada pula ujian ketrampilan pramuka. Kami berangkat dari kenyataan bahwa anak-anak SMA adalah pribadi yang sedang mengalami kebingungan berpikir. Akan jadi apa mereka ke depan? Apa yang akan aku kerjakan nanti? Untuk apa kami mempelajari ini itu? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi alasan yang mendasari pencarian kami.
Pertanyaan seserius itu, tak bisa kami jawab dengan hanya pada jam sekolah. Maka, kami membutuhkan ruang yang lebih intim, dekat dan tenang. Kami bersepakat untuk membicarakan ini lebih jauh di ruang yang berbeda. Kami memilih untuk menyelenggarakan kemah di pinggiran Waduk Sermo. Kami ingin berbicara secara dekat entah itu di pagi, siang, sore atau malam menjelang tidur. Entah itu sambil berdiri, duduk atau sambil mengaduk makanan yang akan kami santap. Dengan dana pribadi, kami melaksanakan niat kami.
Kami memilih lokasi, benar-benar di pinggiran waduk. Lapang dan dekat dengan air. Sejuk jika di sore hari namun teriknya naudzubillah jika siang hari. Tapi syukur puji Tuhan alam raya semesta, jutaan tahun manusia hidup di bumi, Tuhan berikan kita kemampuan adaptasi dengan segala cuaca, termasuk panas semacam itu.
Dibandingkan dengan latihan fisik semacam baris-berbaris, kemah kami lebih didominasi dengan acara sesi ngobrol bersama. Kami membagi sesi ngobrol dengan 3 garis masa; masa lalu, masa kini dan masa depan. Sesi ngobrol dipimpin oleh Pak Gemak, Fasilitator di kelas X SMA. Di malam pertama kami berkemah, Pak Gemak membuka sesi obrolan dengan menjelaskan maksud dan tujuan kemah :
“Teman-teman, selama kemah ini, kita akan menggali 3 fase dalam hidup kita; masa lalu kita, masa sekarang, dan masa depan. Masa lalu kita ungkap, kita terima sehingga kita bisa ringan jalannya. Kemudian kita lihat, sekarang ini, kita sedang melakukan apa? Dan ke depan, kita mau ngapain. Apakah yang kita lakukan sekarang relate dengan apa yang kita pikirkan untuk masa depan”
Dalam keheningan malam itu, semua fasilitator duduk melingkar bersama anak-anak. Pak Gemak membagikan kertas. Meminta anak-anak untuk menggambar garis koordinat kartesius. Meminta mereka mengisi setiap titik berbeda dengan skala perasaan mereka ketika di umur tertentu. ‘Di umur segitu, coba ingat-ingat, apakah hal yang paling kamu rasakan’ kata Pak Gemak kepada anak-anak.
Suasana hening, anak-anak menulis kisah hidupnya di selembar kertas. Kemudian Kami, fasilitator dan anak, dibagi menjadi beberapa kelompok. Di sana kami berbincang lebih dalam tentang apa yang sudah kami tulis di kertas. Setiap titik menandakan perubahan emosi si penulis. Dari sana anak akan bercerita, apa yang ia alami di masa-masa itu.
Dalam diskusi kecil itu, saya bersama beberapa 6 murid dari berbagai jenjang SMA. Sebut saya R, S, T, X, Y dan Z. Mereka bercerita tentang masa lalu mereka. Ada yang menjadi korban bullying, ada pua yang tidak pernah diperhatikan orang tua atau di’standarkan’ dengan cara membandingkan si anak dengan saudara lain yang dianggap lebih pintar. Perlakuan-perlakuan semacam itu membawa mereka menjadi seorang pemberontak. Mencari pengakuan atas dirinya. Menunjukkan bahwa dirinya bisa, mampu dan berbeda. Pemberontakan ini ada yang mengarah ke hal positif seperti mengalihkan dengan aktivitas setumpuk, dan ada pula yang menjadi negatif dengan melakukan tindak kekerasan atau tindakan lain yang merusak diri.
Saya lihat satu persatu anak-anak. Masih ada yang belum dikeluarkan di sana. Tapi tak soal, tak semuanya harus selesai malam ini juga. Kami masih punya hari-hari ke depan. Kemah ini menjadi gerbang kami untuk saling mengenal satu sama lain.
Usai sesi pertama, kami berdiri. Melingkar kembali. Pak Gemak mengajak anak-anak untuk mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Bahwa apa yang terjadi di masa lalu, tak dapatlah berubah. Kita tak bisa jalan dengan beban masa lalu yang berat. Kita harus menerima itu. Kemudian meninggalkannya di belakang.
Kemudian, kami mendekati api unggun. Pak Gemak berkata, “Sekarang kalian pikirkan, apa yang kalian bayangkan tentang diri kalian di masa depan. Di depan kalian ada majalah bekas. Kalian cari satu foto yang mewakili masa depan kalian. Kemudian tempelkan pada kertas yang sudah disediakan”. Maka, berburulah mereka gambar yang bisa menunjukkan simbol masa depan mereka.
Itu adalah sedikit cerita tentang proses yang kami jalani. Pada kesempatan yang lain, kami juga melakukan aktivitas selayaknya orang berkemah seperti memasak, mencari petunjuk di jalan atau belajar membuat gula nira dari penduduk sekitar.
Anak-anak remaja membutuhkan teman untuk bercerita. Bukan hakim-hakim yang menyuruh mereka ini dan melarang mereka itu. Mereka sudah cukup kepayahan dengan masalah-masalah yang mereka punya. Sedang orang dewasa seringnya bukan menjadi pendengar yang baik, malah penasihat-penasihat yang cerewet. Menjadi fasilitator berarti menjadi teman mereka. Mendengar mereka, berperspektif seperti mereka dan berbicara dengan bahasa mereka. Kemah bukan wadah untuk menunjukkan kekuasaan/penguasaan yang lebih dewasa atas yang lebih muda. Namun, orang dewasa duduk bersama, mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi masalah si muda. Menuntun mereka menemukan, menganalisa dan memecahkan masalahnya secara mandiri dan jernih.
Fasilitator SMA Eksperimental SALAM
Leave a Reply