Kajian tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) pada masa itu sebenarnya belum dilakukan secara benar-benar mendalam, terutama jika kita melihat dari perspektif yang lebih luas terkait tren neoliberalisasi kampus. Padahal, fenomena ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sejak lama, neoliberalisme telah merambah dunia pendidikan tinggi, bukan hanya sekadar dalam konteks mencari keuntungan lewat peningkatan uang kuliah mahasiswa (student intake), tetapi juga dalam pembentukan pola pikir dan struktur kelembagaan yang kompatibel dengan politik ekonomi global.
Neoliberalisasi pendidikan tinggi tidak bisa dipahami hanya sebagai upaya kampus mencari sumber pembiayaan alternatif di luar subsidi negara. Lebih jauh dari itu, ia merupakan bagian dari arus besar restrukturisasi global, di mana universitas diposisikan layaknya korporasi. Kampus didorong untuk beroperasi dengan prinsip-prinsip manajerialisme, efisiensi, kompetisi, dan orientasi pasar. Hal ini tentu saja sesuai dengan logika ekonomi global yang menekankan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Universitas yang sebelumnya dipandang sebagai benteng nalar kritis masyarakat, perlahan berubah menjadi entitas bisnis yang harus mampu menghasilkan “produk” berupa lulusan dan riset yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Dalam konteks itulah, kebijakan menjadikan perguruan tinggi berstatus badan hukum seharusnya dibaca sebagai bagian dari pergeseran ini, bukan semata-mata soal kemandirian keuangan atau peningkatan kualitas. Sayangnya, saat kajian dilakukan, perhatian terhadap dimensi struktural ini belum cukup kuat. Diskusi lebih banyak terjebak dalam soal teknis administratif dan aspek pragmatis, seperti besarnya biaya kuliah dan otonomi pengelolaan keuangan, tanpa menggali lebih dalam tentang bagaimana transformasi ini merefleksikan penyesuaian terhadap skema globalisasi ekonomi yang lebih luas.
Pada kenyataannya, tidak mungkin kampus-kampus kita mampu sepenuhnya menghindar dari arus besar tren global tersebut. Dalam dinamika globalisasi, pendidikan tinggi di seluruh dunia perlahan-lahan diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip neoliberalisme. Beberapa kolega di sini, tanpa benar-benar memahami konteks besar saat itu, secara kebetulan pernah terlibat dalam program IMHERE yang digagas oleh World Bank. Program ini, jika ditilik lebih dalam, memang secara khusus didesain untuk membentuk model perguruan tinggi dengan karakteristik neo-liberalistik.

Ciri utama dari pendekatan ini sangat jelas: kampus didorong untuk membangun tata kelola yang dinilai “baik” menurut standar internasional, memperluas networking secara global, menjalin kemitraan erat dengan dunia industri (industry linkage), dan yang paling krusial, bergerak menuju otonomi keuangan. Otonomi ini diharapkan tercapai bukan semata dari iuran mahasiswa, tetapi lebih jauh lagi dari kemampuan institusi menghasilkan pendapatan melalui kekayaan intelektual, kemitraan bisnis, dan berbagai aktivitas komersialisasi hasil riset.
Namun faktanya, fundamental akademik di kampus-kampus kita saat itu—dan bahkan hingga kini di banyak tempat—masih sangat lemah. Atmosfer akademik yang seharusnya menjadi jiwa universitas tidak tumbuh secara kokoh. Budaya akademik yang berbasis pada tradisi berpikir kritis, diskusi ilmiah yang mendalam, dan etos riset yang kuat belum terbangun secara merata. Akibatnya, dalam situasi seperti itu, model neoliberal yang diimpor justru lebih berpotensi memperburuk keadaan: kampus menjadi entitas administratif dan bisnis tanpa diiringi dengan kematangan intelektual yang seharusnya menjadi pondasinya.
Akhirnya, yang paling menonjol dari proses ini bukanlah lahirnya kampus yang otonom secara intelektual dan finansial sebagaimana dibayangkan dalam dokumen-dokumen idealis, melainkan dominasi aspek governability. Aturan main menjadi semakin ketat, dengan rezim administrasi dan akreditasi yang makin mendetail dan rigid. Universitas, alih-alih menjadi pusat inovasi yang mandiri, justru semakin terjerat dalam mekanisme kepatuhan administratif yang kaku. Semua proses akademik diukur dan dinilai lewat parameter-parameter birokratis, yang sering kali justru mengebiri kebebasan berpikir dan berkreasi.
Sementara itu, relasi dengan industri yang dalam rancangan awal diharapkan melahirkan ekosistem spin-off berbasis intellectual property justru bergerak ke arah lain. Dalam praktiknya, kampus lebih banyak berfungsi sebagai kepanjangan tangan kepentingan industri, terutama industri-industri ekstraktif. Universitas tidak lagi menjadi ruang kritis untuk mengkaji ulang arah pembangunan dan dampaknya bagi masyarakat, tetapi berubah menjadi penyedia tenaga kerja terampil dan solusi teknis yang sesuai kebutuhan pasar, seringkali tanpa mempertanyakan nilai-nilai yang mendasari kegiatan ekonomi tersebut. Dalam konteks ini, idealisme tentang kampus sebagai benteng peradaban dan agen perubahan sosial perlahan tergeser oleh logika pragmatis dunia industri.
Sikap antipati terhadap segala sesuatu yang berbau neo-liberalistik memang dapat dimengerti, apalagi bila melihat bagaimana implementasinya di banyak kampus kita justru memperlihatkan wajah yang kurang ideal. Namun perlu disadari, bahwa persoalannya bukan semata-mata pada gagasan neoliberalisme itu sendiri, melainkan pada kesiapan fundamental internal kampus, terutama dalam hal kekuatan atmosfer akademik.
Seandainya kampus-kampus kita memiliki basis akademik yang kokoh—budaya ilmiah yang sehat, tradisi berpikir kritis yang kuat, dan integritas kelembagaan yang terjaga—saya yakin arus neoliberalisme global itu justru bisa membawa dampak positif bagi perkembangan perguruan tinggi. Di tangan kampus yang matang, prinsip-prinsip seperti otonomi, networking global, komersialisasi hasil riset, dan kemitraan dengan industri bisa dimanfaatkan secara cerdas untuk memperkuat kemandirian akademik, memperluas pengaruh intelektual, dan tentu saja, meningkatkan kesejahteraan dosen dan sivitas akademika.
Namun, karena pondasi akademik kita masih rapuh, yang terjadi justru sebaliknya: orientasi ke pasar dan industrialisasi pendidikan membuat kampus kehilangan arah, tercerabut dari misi besarnya sebagai ruang produksi pengetahuan kritis dan transformasi sosial. Oleh karena itu, problem utamanya bukan pada ide neoliberal itu sendiri, tetapi pada ketidaksiapan kita untuk mengelola dan menempatkan arus global itu sesuai dengan jati diri dan kebutuhan kita sendiri.[]
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply