Pengetahuan, sebagai fondasi pembentukan individu dan masyarakat, ternyata tidak bersifat netral. Lebih dari sekadar kumpulan fakta, pengetahuan dapat menjadi instrumen kekuasaan yang dimanfaatkan untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu. Salah satu medan pertempuran ideologi yang signifikan adalah kurikulum pendidikan. Keith Morrison, seorang ahli pendidikan, menyoroti kompleksitas dinamika ini dengan memperlihatkan bahwa kurikulum bukanlah sekadar serangkaian materi ajar, tetapi juga wilayah ajang pertarungan ideologi, di mana kelompok penguasa memelihara dan memperluas kekuasaannya.
Pertarungan Ideologi dalam Kurikulum: Kurikulum, sebagai panduan resmi dalam pendidikan, bukan hanya mencerminkan nilai dan kepercayaan masyarakat, tetapi juga menciptakan kerangka untuk mentransmisikan ideologi kelompok penguasa. Pemilihan dan penekanan terhadap materi ajar tertentu dapat menciptakan narasi sejarah dan identitas nasional yang mendukung kepentingan kelompok dominan. Ini memicu pertanyaan kritis mengenai objektivitas dan keadilan dalam penyusunan kurikulum.
Ketika kelompok penguasa mengontrol kurikulum, mereka secara efektif mengendalikan pembentukan pengetahuan masyarakat. Materi ajar yang diutamakan atau diabaikan menciptakan pandangan dunia yang terdistorsi, memengaruhi cara individu memahami realitas sekitarnya. Hal ini memberikan keunggulan kepada kelompok dominan untuk mempertahankan dan melegitimasi kekuasaannya.
Penting mengajukan pertanyaan kritis tentang perlunya perubahan paradigma dalam pendidikan. Apakah kurikulum harus terus menjadi instrumen kontrol kekuasaan, ataukah dapat menjadi alat untuk mendorong pemikiran kritis dan pluralitas ideologi? Mengakui kerangka ideologis dalam kurikulum adalah langkah awal untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adil.
Kurikulum bukanlah entitas netral; ia mencerminkan pertarungan ideologi yang terus-menerus. Dalam mengeksplorasi konsep ini, pentingnya kita untuk melihat kurikulum sebagai alat kekuasaan yang dapat membentuk pengetahuan masyarakat. Mengevaluasi dan memahami dampak ideologi dalam kurikulum adalah langkah penting menuju pembentukan pengetahuan yang lebih adil dan inklusif.
Keterlibatan masyarakat dalam proses penentuan kurikulum menjadi sangat penting. Ketika kelompok penguasa mendominasi proses ini, mereka secara tidak langsung mengendalikan pemahaman kolektif masyarakat terhadap sejarah, budaya, dan nilai-nilai. Masyarakat yang aktif dalam proses ini dapat memastikan representasi yang lebih adil dan mencerminkan keragaman pengalaman serta perspektif.
Meretas jalur menuju inklusivitas dan pluralitas ideologi memerlukan desentralisasi kurikulum. Keputusan tentang materi ajar dan metode pengajaran harus melibatkan partisipasi dari berbagai kelompok masyarakat, bukan hanya dominasi dari pihak tertentu. Desentralisasi ini dapat memastikan bahwa kepentingan seluruh masyarakat diakomodasi, dan bukan hanya kelompok penguasa.
Penekanan pentingnya pendidikan kritis sebagai alat untuk membekali siswa dengan kemampuan menganalisis, mempertanyakan, dan menyelidiki. Pendidikan kritis mendorong kemampuan berpikir independen dan mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi berbagai ideologi mentransmisikan tanpa kesadaran kritis. Oleh karena itu, integrasi pendekatan ini dalam sistem pendidikan dapat menjadi langkah progresif.
Penting untuk mengadakan peninjauan periodik terhadap kurikulum untuk memastikan bahwa evolusi nilai dan ideologi masyarakat tercermin secara akurat. Proses ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi pendidikan, serta perwakilan dari kelompok minoritas, untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan dalam perubahan kurikulum.
Kesadaran akan pengaruh ideologi dalam kurikulum merupakan langkah awal untuk mengubah paradigma pendidikan. Ini memerlukan edukasi masyarakat tentang pentingnya memahami bagaimana pengetahuan diproduksi, dipresentasikan, dan diwariskan. Dengan demikian, individu dapat mengembangkan keterampilan kritis yang diperlukan untuk membongkar narasi yang mungkin dipaksakan oleh kelompok penguasa.
Pada akhirnya, pemahaman bahwa pengetahuan tidak bersifat netral dan kurikulum merupakan medan pertarungan ideologi dapat memberikan dasar untuk reformasi pendidikan yang lebih inklusif dan adil. Dengan menciptakan kurikulum yang mencerminkan keberagaman dan mendorong pemikiran kritis, masyarakat dapat membentuk pengetahuan yang memajukan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.[]
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply