Blog

Tiga Serangkai: Bermain, Belajar, dan Bekerja

‘Kenapa ya anak-anak itu main terus? Belajar kek, atau kerja kek.’

Dari keluhan yang sering terdengar dari orang dewasa kebanyakan ketika melihat anaknya bermain itu menyiratkan cara pikir bahwa bermain, belajar, dan bekerja adalah tiga hal yang dipisahkan tembok yang sangat tinggi. Misalnya, kita mengasosiasikan belajar dengan kegiatan seperti latihan, membaca, atau lainnya; bekerja diasosiasikan dengan kegiatan ‘cari cuan’ atau hal-hal yang wajib dilakukan; lalu bermain diasosiasikan dengan kegiatan refreshing seperti bermain game atau nonton film. Padahal, menurutku dalam sebuah kegiatan yang bermakna, ketiga hal tersebut akan muncul dalam satu kegiatan tersebut. Aku akan mengilustrasikannya melalui cerita tentang membuat permainan bersama dengan anak-anak sewaktu itu.

Cerita ini berawal ketika anak-anak kelas 4 menyukai permainan kartu dari kardus yang aku contek dari sebuah permainan yang sudah ada. Lalu, Lita menanyakan kepadaku apakah ada permainan yang temanya adalah masak-masakan? Karena aku sedang dilanda rasa optimis saat mereka merespon baik permainan yang aku bawa, aku beranikan saja untuk menjawab, “Bentar ya, nanti aku bisa bikin mainannya!” Aku menjanjikan dalam 1 minggu, permainan tersebut sudah akan siap.

Ternyata, aku tidak berhasil memenuhi janji tersebut. Meskipun aku sudah membuat desain permainan dan hitung-hitungannya, aku mengalami hambatan dalam membuat perangkatnya seperti kartu dan papan permainan serta hiasannya. Rencananya, aku ingin mengajak mereka main ketika semuanya sudah ‘selesai’, ketika aku sudah mencari gambar makanan dan menyiapkan papan dari kardus, dan lainnya. Akan tetapi, beberapa minggu pun berlalu dan Lita kerap menagih janjiku dan aku terus menjawab bahwa permainannya belum siap. Pada akhirnya, aku mengatakan pada Lita, “Sebenarnya aku sudah menyiapkan tulisan dan lainnya, hanya kurang gambar dan memotong-motong kardusnya saja. Bagaimana kalau kalian ikut membantu aku menyelesaikan permainan ini?” Tawaran itu pun disetujui oleh Lita dan kita mengajak Ayya, Ganis, dan Ella yang juga bersedia untuk membantu.

Hal pertama yang aku mintakan tolong adalah membuat daftar pesanan dengan cara memotong kertas A4 menjadi 8 dan menuliskan jenis makanan dan jumlahnya di setiap kertas dan lalu menggambarnya. Tugas itu langsung diambil oleh Ayya dan Ganis yang dengan gercep menanyakan apa yang perlu mereka tulis kepadaku dan kemudian menghiasnya dengan gambar. Lita memilih untuk menyobek-nyobek kertas yang akan ditulisi oleh Ganis dan Ayya serta membuat uang-uangan dengan kertas warna. Ella juga akhirnya ikut membantu membuat uang-uangan yang berwarna merah. Dengan bantuan mereka, akhirnya pemainan itu pun jadi dan bahkan lebih lucu karena artwork-nya digambar tangan oleh mereka sendiri, bukannya dari gambar di internet! Sayangnya, hari itu sudah terlalu larut untuk kita bermain, karena itu kita berjanji akan bermain di keesokan harinya.

Esoknya aku, Ayya, Lita pun memainkan permainan tersebut dan… mereka menyatakan bahwa mereka menikmatinya! Keesokan harinya, mereka mengajak teman-teman yang lain untuk bermain bersama. Lalu, ada sebuah kejadian dimana Aleta menyampaikan kemalasannya untuk menghitung karena terlalu ribet, Ayya pun dengan observannya mengatakan kalau, “Ya kan emang salah satu tujuan dari game ini tuh juga buat latihan ngitung! Kita aja kemarin pas main kemarin malah ngitungnya tuh udah sampai ratusan ribu!” Akhirnya dengan bantuan uang-uangan yang sudah kita sobek-sobek, lebih mudah untuk menunjukkan cara menghitung jumlah uang tersebut tanpa harus mengeluarkan jurus perhitungan bersusun.

Yang ingin kuperlihatkan dari cerita ini adalah adanya momen-momen bermain, belajar, dan bekerja di kegiatan tersebut. Bahkan dari hal sesimpel memotong kertas dan menulis, ketiga aspek itu ada. Mereka bisa dibilang bekerja karena mereka melakukan kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang nyata dan dilakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, mereka dengan sukarela membantu dan tidak mengeluh ketika bekerja karena mungkin untuk mereka, kegiatan yang mereka lakukan adalah bermain menulis dan memotong kertas. Selain itu, ada momen mereka belajar, atau mendapat pengetahuan baru, ketika mereka memotong kertas tersebut tanpa gunting dan kertas karena alat-alat tersebut sedang tidak dibawa. Ada yang menggunakan alat bantu lain untuk menahan kertas, ada juga yang menggunakan teknik melipat berkali-kali agar kertas tersebut dapat dirobek dengan rapi.

Buat mereka, bermain, belajar, dan bekerja belum terkotak-kotakkan. Dengan membuat pemisahan palsu bahwa bermain merupakan hal yang konotasinya adalah kesenangan belaka yang tidak ada gunanya, lalu bekerja merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mendapatkan imbalan tertentu, serta belajar merupakan kegiatan untuk menambahkan pengetahuan secara serius, makna ketiganya menjadi terlalu ekstrim. Siapa yang suka ada di konteks yang ‘terlalu serius’ dan mencekam? Bahkan orang dewasa sekalipun tentu enggan untuk melakukannya. Terlebih lagi, dunia ini sekarang menggambarkan bahwa bekerja dan belajar sebagai hal yang positif walaupun membosankan, sementara bermain merupakan hal yang negatif walaupun mengasyikan.

Dari contoh ini, aku ingin membela anak-anak dari tuduhan bahwa mereka tidak mau melakukan kegiatan belajar dan bekerja yang produktif karena mereka malas. Menurutku, mereka tidak mau melakukan hal-hal tersebut karena mereka tidak melihat ada maknanya untuk mereka pribadi. Di sisi lain, aku juga ingin menunjukkan sesuatu bagi mereka yang takut untuk melibatkan anaknya untuk ‘bekerja’ dengan dalih belum waktunya mereka bekerja. Sebenarnya mereka sudah bisa diajak untuk ikut melakukan sesuatu, terutama tanpa paksaan, karena mungkin mereka menganggapnya sebagai permainan atau sebagai sesuatu menurut mereka menarik. Yang penting adalah bagaimana kita mengemas kegiatan tersebut agar tidak menjadi kegiatan yang menakutkan dan justru menjadi sesuatu yang bermakna untuk mereka.

Semoga saja cara berpikir kita yang kaku tersebut tidak akan tertular kepada mereka. Cara pandang kita yang terkotak-kotak itu beresiko diikuti oleh mereka sehingga mereka menjadi orang yang pemilih dalam berkegiatan dan kehilangan rasa ketertarikan dan keseruannya dalam melakukan sebuah kegiatan. Mungkin justru kita yang perlu belajar dari anak-anak untuk memaknai ulang ketiga kata tersebut dan asosiasinya dengan kegiatan-kegiatan tertentu. Harapan akhirnya, agar kita tidak perlu memaksakan mereka untuk ‘belajar’ dan ‘bekerja’, melainkan mencari dan merancang kegiatan bermakna yang melibatkan ketiga konsep tersebut. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *